Kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya masih buruk. Bahkan, Bekasi dikategorikan sangat tidak sehat. Sayangnya, belum ada solusi menghadapi masalah ini.
Oleh
Stefanus Ato
·3 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Indeks Kualitas Udara atau AQI Kota Bekasi, Jawa Barat, berdasarkan pantauan Airvisual.com pada Rabu (11/9/2019) pukul 07.00 dikategorikan sangat tidak sehat atau mencapai 247. Namun, sejauh ini Pemerintah Kota Bekasi belum mengambil langkah konkret untuk mengatasi masalah polusi udara itu.
Berdasarkan data Airvisual, AQI Kota Bekasi mulai dikategorikan sangat tidak sehat sejak Rabu (11/9) pukul 04.00, yakni mencapai 212. AQI Kota Bekasi kemudian terus meningkat dan mencapai angka 247 pada pukul 07.00.
Buruknya AQI Kota Bekasi diikuti dengan polutan debu halus berukuran 2,5 mikron (PM 2,5) yang mencapai 161,4 mikron pada pukul 04.00. Angka PM 2,5 terus meningkat dan pada pukul 07.00 mencapai 197,5 mikron.
AQI Kota Bekasi baru membaik pada pukul 13.00, yakni berada di angka 122 atau masuk kategori tidak sehat bagi kelompok sensitif. Di waktu bersamaan, PM 2,5 Kota Bekasi juga terus membaik atau berada di angka 44,2.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi Yayan Yuliana mengatakan, Pemerintah Kota Bekasi masih melakukan identifikasi terkait buruknya kualitas udara di Kota Bekasi. Identifikasi itu bertujuan mencari tahu sumber polusi yang menyebabkan kualitas udara Kota Bekasi kian memburuk.
”Saat ini kami identifikasi dulu. Setelah itu dibahas dulu untuk mencari solusi penyelesaian,” kata Yayan, di Kota Bekasi, Rabu (11/9).
Yayan menambahkan, kualitas udara yang kian buruk tak hanya terjadi di Bekasi, tetapi tersebar di Jakarta dan Banten. Ia memastikan, sejauh ini belum ada koordinasi lintas daerah untuk menyelesaikan masalah polusi udara itu secara komprehensif.
Kepala Bidang Pengembangan Kehidupan Perkotaan Tim Wali Kota untuk Percepatan Penyelenggaraan Pemerintah dan Pembangunan Kota Bekasi Benny Tunggul mengatakan, kualitas udara Kota Bekasi buruk karena terdampak dari wilayah lain, termasuk dari daerah industri Kabupaten Bekasi dan daerah mobilitas lalu lintas yang tinggi, seperti DKI Jakarta.
Meski demikian, kata Benny, perpindahan konsentrasi polutan udara itu tak akan berdampak ke Kota Bekasi atau bisa dinetralkan jika ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Bekasi mencukupi. Ruang terbuka hijau yang ada di wilayah itu masih minim. ”Untuk menetralkan polutan, minimal RTH di Kota Bekasi itu harus sekitar 20 persen. Sampai hari ini RTH kami masih di bawah 10 persen atau sekitar 6 persen,” kata Benny.
Sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, luas mimimal RTH itu 30 persen dari luas wilayah perkotaan. Dari angka itu, porsi RTH publik yang perlu disediakan 20 persen. RTH tersebut bisa berfungsi ekologis, pengatur iklim mikro, peneduh, produsen oksigen, sekaligus penyerap polusi, penyerap, dan penyimpan air hujan, pelindung habitat satwa, sekaligus pelindung terhadap angin.