Pencemaran udara di wilayah DKI Jakarta dinilai melanggar Hak Asasi Manusia karena tidak memenuhi amanat Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia dan Undang Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama, Ingki Rinaldy
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pencemaran udara di wilayah DKI Jakarta dinilai melanggar Hak Asasi Manusia karena tidak memenuhi amanat Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia dan Undang Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Warga berhak mengajukan gugatan kepada negara untuk segera memenuhi hak tersebut.
“Pencemaran udara di Jakarta adalah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. Karena ada hak hidup masyarakat akan lingkungan bersih dan sehat yang tak terwujud,” ujar anggota Perkumpulan Profesional Lingkungan Hidup Indonesia Esrom Hamonangan pada diskusi publik bertajuk, “Haze, Pencemaran Udara, dan Pelanggaran HAM”, yang diselenggarakan Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), Jakarta, Kamis (3/10/2019).
Esrom yang juga merupakan Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Komisi Nasional HAM menilai, pencemaran udara melanggar pasal 9 ayat 3 Undang-Undang (UU) nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam pasal itu berbunyi, “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”.
“Pelanggaran HAM itu bukan hanya soal seseorang yang alami tindak kekerasan saja, tapi hak hidup akan lingkungan yang bersih dan sehat. Ini merupakan amanat yang harus dipenuhi dalam UU tentang HAM,” ujar Esrom.
Selain melanggar UU tentang HAM, pencemaran udara juga melanggar UU Nomor 32 tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Semangat UU itu adalah agar negara dan segala pemangku kepentingan di bidang lingkungan harus mewujudkan pengelolaan lingkungan hidup yang sehat. Pencemaran udara, lanjut Esrom, melanggar UU tersebut.
Esrom mengatakan, karena HAM telah dilanggar, maka warga dipersilakan untuk mengajukan gugatan kepada negara untuk mendesak hak itu untuk segera dipenuhi.
Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin menilai, pencemaran udara di Jakarta sudah berlangsung kronis tanpa adanya upaya pengendalian yang efektif dan terukur. Hal ini, lanjutnya, merupakan bentuk pelanggaran HAM pada warga ibukota.
“Kami juga tengah mengumpulkan dukungan dan melakukan persiapan untuk menggugat negara,” ujar Safrudin.
Sebelumnya, gugatan kepada negara karena pencemaran udara sudah dilakukan oleh Tim Advokasi Gerakan Ibu Kota. Para penggugat adalah 31 orang warga yang mengalami kerugian akibat pencemaran udara. Adapun pihak tergugat dalam gugatan perwakilan warga (citizen lawsuit) ini adalah Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, serta Gubernur DKI Jakarta. Dua pihak menjadi turut tergugat, yaitu Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten. Kasus ini sudah menjalani sidang perdana pada Agustus lalu. (Kompas, 1 Agustus 2019).
Kualitas buruk
Berdasarkan data pemantauan kualitas udara Kedutaan Besar AS di Jakarta seperti dikutip KPBB, rata-rata kualitas udara Jakarta dengan konsentrasi debu ukuran PM 2,5 pada 1 Januari 2019 hingga 30 Juli 2019 mencapai 46,1 mikrogram/meter kubik. Nilai ini empat kali lipat di atas standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang memberi ambang batas kualitas udara baik pada angka 10 mikrogram/meter kubik.
“Ini masuk pada kategori bahaya untuk kesehatan manusia,” ujar Safrudin.
Dari survei yang dilakukan KPBB pada 2014, sumbangan polusi dari kendaraan bermotor 47 persen, dari industri 22 persen, serta kompor atau pembakaran di restoran dan rumah tangga 11 persen (Kompas, 27 Juni 2019). Ada pula sumbangan dari pembakaran sampah terbuka 5 persen, infrastruktur 4 persen, dan debu jalanan 4 persen.
Dari sekitar 9,9 juta warga DKI pada 2016, sebanyak 58,3 persen menderita penyakit yang terkait dengan polusi udara. Total biaya medis Rp 51,2 triliun. KPBB juga mengutip laporan WHO yang menyatakan, 1/8 kematian di dunia pada 2012 dipicu oleh polusi udara.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih mengatakan, pemerintah provinsi DKI Jakarta memahami dan menyadari hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hal ini menyangkut pemenuhan syarat kualitas minimal lingkungan hidup agar manusia bisa hidup dengan baik dan sehat.
“Kualitas udara minimal untuk manusia hidup dengan baik dan sehat. Kami sebagai pemerintah daerah berupaya memfasilitasi pemenuhannya,” ujar Andono saat dihubungi Kamis.
Dalam rangka percepatan pelaksanaan pengendalian kualitas udara di Provinsi DKI Jakarta, lanjut Andono, diperlukan pendekatan multisektor. Pertama adalah dengan memperketat pengendalian sumber pencemaran udara. Kedua, dengan mendorong peralihan gaya hidup masyarakat dan mengoptimalisasi fungsi penghijauan sehingga memerlukan sinergitas antar berbagai pemangku kepentingan terkait.
Khusus penanggulangan pencemaran udara di Ibukota, Gubernur DKI Jakarta telah mengeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Salah satu poin dalam Ingub Nomor 66/2019 adalah Gubernur ingin memastikan tidak ada angkutan umum yang berusia di atas 10 tahun dan tidak lulus uji emisi beroperasi di jalan dan penyelesaian peremajaan seluruh angkutan umum melalui program Jak Lingko pada 2020.
Selain itu pemerintah telah mengeluarkan kebijakan ganjil genap untuk peningkatan kualitas udara.
“Dua bulan lebih sejak diberlakukannya Ingub ini, perbaikan kualitas udara di Ibukota sudah mulai dirasakan,” ujar Andono.