Sepeda Listrik untuk Siasati Kemacetan Lalu Lintas
Sebagian warga semakin akrab dengan moga angkutan berbasis listrik. Moda ini dipakai sebagai sarana ntuk menyiasati kepadatan lalu lintas Ibu Kota di jam sibuk.
Oleh
Ayu Pratiwi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sebagian warga Jakarta mulai menggunakan otoped listrik untuk mendukung perjalanan mereka pergi dan pulang dari kantor. Bagi mereka, penggunaan otoped listrik yang bisa dilipat dan dibawa ke dalam angkutan umum mampu mengurangi waktu perjalanan.
Hal tersebut salah satunya dikisahkan seorang ibu yang bekerja di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Safrida Juliany (40). Sehari-hari, saat pergi dan pulang kerja menggabungkan penggunaan otoped dengan bus. Dari rumahnya di Cibinong, Bogor, Jawa Barat hingga tempat pemberhentian bus terdekat, ia naik otoped.
Kemudian, ia naik bus Transjakarta hingga kawasan Kampung Melayu. Beberapa kilometer terakhir hingga tiba di kantor di Mega Kuningan ia tempuh dengan otoped lagi. “Saya sudah melakukan ini selama satu tahun empat bulan. Naik otoped lebih hemat waktu. Saya kurang suka naik ojek daring karena suka nunggu dan suka di-cancel,” ucap Safrida, di Jakarta, Selasa (15/10/2019), saat jam pulang kantor.
Saat itu, Safrida beserta segala perlengkapannya tampak siap melalui lalu lintas Jakarta yang saat itu macet dengan otopednya. Ia mengenakan helm, jaket, tas ransel, serta sarung tangan. Waktu perjalanan pergi pulang kantor Safrida sebelum ia menggunakan otoped mencapai sejam lebih untuk satu kali perjalanan. Sekarang, berkat otoped, waktu perjalanannya berkurang hingga 40 menit.
“Di Kampung Melayu macet banget. Nunggu ojek daring juga cukup lama. Dengan otoped, perjalanan saya lebih cepat karena saya bisa lewat trotoar atau jalan raya. Ini memang modal nekat, karena belum semua jalur sepeda dalam kondisi steril. Kalau enggak biasa, cukup sulit,” kata Safrida yang senang bertualang sebagai “biker” atau pesepeda.
Membawa otoped dalam kondisi terlipat ke dalam bus juga bukan masalah bagi Safrida. Otoped seharga Rp 3,5 jutaan yang ia gunakan saat itu misalnya saat dilipat sepanjang kurang lebih satu meter dan beratnya delapan kilogram.
“Harga menentukan kualitas. Otoped yang harganya Rp 5 juta misalnya bisa dua kilogram lebih ringan. Performa baterai juga lebih tinggi dan daya tahannya lebih lama,” ucap Safrida yang sudah punya empat unit otoped. Dengan waktu tempuh pergi pulang kerja yang lebih singkat, Safrida sekarang bisa menikmati lebih banyak waktu dengan anak dan keluarganya. “Paginya, saya bisa mandiin anak saya dan bikin sarapan,” tambah Safrida.
Ia mengaku, belum ada banyak orang yang nekat pergi pulang kantor dengan menggunakan otoped. Di gedung kantor di mana ia bekerja misalnya, hanya ia sendiri yang sehari-hari menggunakan otoped. “Meskipun jumlahnya belum besar, orang yang menggunakan sepeda lipat lebih banyak,” kata Safrida.
Sementara itu, bagi Siddharth Gulati, warga asal India yang tinggal dan kerja di Mega Kuningan, otoped listrik hanya ia gunakan untuk bersenang-senang mengelilingi kawasan tempat tinggalnya beserta anaknya. Sejak beberapa bulan terakhir, ia sering menggunakan layanan eScooter dari aplikasi Grab, di mana ia bisa menyewa otoped seharga Rp 5.000 per 30 menit. Di kawasan itu, sudah ada dua titik lokasi di mana otoped oleh Grab itu bisa diparkir dan diisi baterainya.
Ia tidak berani merekomendasikan otoped listrik sebagai alat transportasi yang bisa digunakan sehari-hari untuk pergi dan pulang dari kerja. Baginya, otoped, untuk saat ini, hanya digunakan untuk bersenang-senang atau “just for fun”.
“Bagi saya, otoped listrik hanya aman dan nyaman digunakan saat malam hari atau ketika jalan tidak macet. Idenya Grab bagus, tetapi menggunakan otoped untuk keperluan sehari-hari cukup susah, karena kondisi jalan yang bergelombang dan banyaknya jumlah kendaraan atau orang yang memadati jalan serta trotoar,” ucap Siddharth.
Humas Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Pitra Setiawan, menjelaskan, pemerintah memberlakukan otoped listrik sama dengan sepeda. Dengan demikian, otoped juga diperbolehkan untuk jalan di trotoar atau pun jalan raya.
“Kecepata maksimal otoped tidak sampai 40 kilometer per jam. Jadi, dikategorikan bukan sebagai kendaraan bermotor. Karena bukan kendaraan bermotor, maka boleh jalan di trotoar,” kata Pitra, ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (15/10/2019). Sementara itu, kendaraan listrik lain yang kecepatan maksimal mencapai 40 kilometer per jam atau lebih, seperti skuter listrik yang disediakan aplikasi Migo Ebike, tidak diperbolehkan jalan di trotoar dan hanya di jalan raya.
Pitra juga menyarankan para pengguna otoped ataupun skuter listrik untuk melengkapi diri dengan peralatan keselamatan, termasuk helm, lampu reflektor, dan bel. “Karena mesin kendaraan listrik tidak terdengar, bel diperlukan untuk memberi tanda peringatan terhadap pejalan kaki atau pengendara lain,” ujarnya.
Otoped listrik yang dilipat juga diperbolehkan masuk dalam angkutan umum, selama ukurannya sesuai dengan aturan yang ditentukan operator angkutan umum tersebut. PT MRT Jakarta misalnya, memperbolehkan penumpang membawa sepeda lipat ke dalam MRT yang ukurannya tidak lebih dari 70x48 sentimeter.