Tak ada yang dapat menghalangi Anen (54) bekerja keras, bahkan kebutaan sekalipun. Gangguan penglihatan yang ia alami sejak kecil tidak membuatnya kecil hati. Ia justru konsisten menekuni profesinya sebagai loper koran.
Oleh
Aditya Diveranta
·4 menit baca
Kamis (17/10/2019) pagi, sekitar sepuluh menit lagi jarum jam hampir menunjuk pukul 06.00. Sepagi itu pula Firmansyah, atau pria yang kerap disapa Anen, tiba di Stasiun Gondangdia, Jakarta.
Pria yang bertempat tinggal di Depok ini selalu datang sejak pagi buta, menjaja setumpukan koran yang ia bawa dari rumahnya. Ia setia menunggu di pintu keluar stasiun, menjaja koran di antara warga yang bergegas saat pergi ke kantor.
Dari hampir ratusan warga yang lewat, ia laku menjual sebagian koran walau tak sampai ludes. Sebagian koran nasional dan koran lokal hanya bisa laku sampai puluhan, sementara sisa di tasnya pun masih banyak.
”Saya sejak pagi berjualan hingga sekitar pukul 09.30 nanti. Setelah itu, saya mengantar koran ke langganan lama yang berada di Kwitang, Jakarta Pusat,” ujar pria asal Garut, Jawa Barat, tersebut.
Warga dan pedagang setempat selalu mengenali kedatangan Anen setiap pagi. Selain karena berjualan di Stasiun Gondangdia sejak 2005, Anen juga dikenal warga karena mengidap gangguan penglihatan.
Anen menjadi perhatian publik karena gangguan penglihatan tersebut. Ia tidak pernah tahu apa yang terjadi pada matanya. Sewaktu umur tiga tahun, dirinya pernah demam tinggi hingga dibawa ke dokter.
Akibat demam itu, penglihatannya berangsur menurun sampai ia sulit melihat hingga saat ini. Ia tidak buta secara total, namun sulit baginya melihat obyek berupa tulisan angka dan huruf dalam radius 1 meter.
”Yang saya lihat hanya bayang-bayang, sulit untuk membaca tulisan dan nominal uang. Sudah lama (sakit) seperti ini, saya tidak ingin banyak bahas penyakit. Saya hanya ingin bisa bekerja,” kata Anen, yang kini tinggal di Depok.
Sehari-hari, ia menjalani aktivitas berdasarkan intuisi. Ia mengenali setiap koran yang ia jual dari tekstur kertasnya. Sebagian koran nasional, seperti harian Kompas, kertasnya halus dan dapat dikenal dalam sekali sentuh. Hal ini berbeda dengan koran lokal yang tekstur kertasnya lebih kesar.
Selain itu, ia mengurutkan urutan koran tersebut dari yang paling banyak dibeli warga. ”Ada beberapa koran nasional dan lokal yang saya letakkan paling atas supaya mudah diambil saat diminta pembeli,” tuturnya.
Warga mafhum dengan kondisi Anen. Sebagian dari mereka selalu membantu Anen saat berjalan dan berjualan di sekitar stasiun. Raky (60), tukang ojek setempat, kadang membantu melihat nominal uang yang diterima dari pembeli.
”Ya, terkadang kita bantu saja walau dia tidak pernah minta. Teman-teman di sini juga membantu saat lagi luang saja,” kata Raky.
Warga menyimpan rasa simpatik kepada Anen. Sebab, Anen selalu berusaha mandiri meski dalam keterbatasan. Hal tersebut juga yang membuat Rina (33), pegawai kantoran di yang selalu melintasi Stasiun Gondangdia, kadang menitipkan uang kepada Anen meski tak membeli koran.
”Saya kadang beli koran, kadang tidak. Kalau sedang lewat stasiun, saya biasa meninggalkan uang belasan ribu untuk dia,” ucap Rina.
Loper merupakan profesi pertama yang menjadi kebanggaan Anen. Ia telah menjadi loper koran saat lulus sekolah menengah pada 1983. Profesi loper adalah pembuktian bagi Anen yang memiliki keterbatasan, tetapi dapat tetap bekerja keras. Profesi ini pula yang sempat membuatnya hidup berkecukupan pada 1993.
Ia mengingat, pada 1993, loper adalah yang paling dicari orang di stasiun kereta. Hingga awal tahun 2000-an, ia bisa mendapat uang sebanyak Rp 100.000 hingga Rp 200.000 per hari dari penjualan koran.
Dengan pendapatan senilai itu, ia dulu bisa mengumpulkan uang untuk renovasi rumah orangtuanya di Garut. Ia merasa berhasil menyejahterakan keluarganya.
”Waktu dulu, saya berhasil mengumpulkan uang sampai Rp 20 juta untuk renovasi rumah orangtua di kampung. Saat itu saya jadi merasa bangga karena berhasil membahagiakan keluarga dan dua anak saya meski sakit seperti ini,” ujarnya.
Kondisi di era awal 2000-an itu kini tak lagi sama. Anen menuturkan, kondisi penjualan koran kini banyak menurun. Pendapatan yang ia dapat pada Kamis pagi, misalnya, hanya berkisar Rp 50.000 hingga Rp 60.000, belum dengan nilai setoran yang mesti diberikan ke agen penjual. Penghasilan tersebut kini tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Sebulan terakhir, ia juga menunggak sewa rumah kontrakan selama sebulan. Sementara itu, istrinya yang membuka warung nasi tidak lagi berjualan sejak Lebaran tahun ini.
Di tengah serangkaian kondisi sulit, Anen tetap meyakini hasil dari jerih payah. Ia mengaku masih bisa mengumpulkan sedikit uang dari profesi loper. Bila memungkinkan, ia ingin membuka usaha lain sambil berjualan koran.
”Kalau saya sih, di umur sekarang ingin bisa istirahat sambil berjualan di warung. Tapi saya pun masih ingin berjualan koran karena saya tak bisa memungkiri bahwa saya berutang budi kepada koran,” ujarnya.
Meski keberadaan koran kini kian tergerus dan media digital, ia berharap agar koran tetap menjadi relevan dengan perkembangan zaman. Sebab, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dunia tanpa kehadiran koran.
”Pada sejumlah kejadian beberapa waktu lalu, koran sempat ramai dicari warga saat membutuhkan konfirmasi yang jelas. Saya sendiri tidak bisa bayangkan kalau koran sudah tidak ada lagi, tetapi saya harap koran masih bisa unggul dari media online yang kadar simpang-siur,” tuturnya.