Seorang ibu macan (manis dan cantik) dari dua remaja perempuan yang tinggal di seputaran Setiabudi, Jakarta Selatan, kini memiliki pekerjaan tambahan. “Tiap sore, gue kudu ngawasin anak-anak main grebwil (Grabwheels),” katanya.
Ya, gimana shelter “mainan baru” itu ada di deket rumah, cerocosnya. Anak-anaknya keranjingan memainkan otopet listrik itu kesana-kemari. Masalahnya, di seputar perumahannya itu lalu lintas tak pernah sepi. Belum lagi pengemudi kendaraan bermotor dan bajaj yang bisa slanang sini, slonong sini.
Jakarta dan sekitarnya, sejak beberapa waktu lalu sedang dilanda demam Grabwheels (baca: grebwil). Moda angkutan yang sangat simpel itu mirip otopet yang biasa menjadi mainan anak-anak, berupa pelat beroda. Namun alat laju itu kini dilengkapi dengan motor listrik sehingga bisa melaju ke mana saja tanpa perlu kayuhan kaki.
Perusahaan Grab meluncurkan moda yang mereka namakan e-scooter sejak dua-tiga bulan lalu yang bisa digunakan siapa saja, dengan menggunakan aplikasi Grab. Bertarif Rp 5.000 per 30 menit, otoped itu bisa melaju hingga kecepatan 15-20 kilometer/jam, mungkin lebih. Sedianya, grebwil itu disediakan untuk alat transportasi menuju lokasi tujuan seperti kantor, tempat kerja atau tempat kegiatan lain.
Kini lokasi stasiun grebwil itu bertebaran di sejumlah pusat keramaian atau shelter angkutan umum. Bukan hanya itu. Stasiun grebwil itu juga berada di sejumlah kawasan perumahan seperti di bilangan Bintaro, selatan Jakarta. Moda yang sedianya ditawarkan menjadi moda lanjutan transportasi kini malah menjadi main baru dari anak-anak, remaja hingga tante-tante atau om-om. Mereka berlalu lalang, banyak yang tanpa menggunakan helm. Tidak jarang alat yang dirancang untuk satu orang itu pun digunakan orang dewasa sembari menggendong anak balita.
Alih-alih menyediakan sepeda sewaan sejalan dengan diresmikannya sejumlah lajur sepeda oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, grebwil tampaknya akan semakin meruyak. Di sejumlah kota negara maju sebenarnya lazim terlihat warga memakai kendaraan sejenis ini untuk bergerak. Selain sepeda, warga biasanya menenteng skateboard atau papan luncur, dan otopet untuk menjangkau lokasi tujuan.
Di Jakarta, pihak pengusaha penyedia alat itu cerdas memanfaatkan masyarakat Jakarta (dan Indonesia pada umumnya) yang dikenal sebagai makluk yang paling malas berjalan kaki. Kemalasan berjalan kaki yang selama ini menjadi peluang berkembangnya ojek berbasis aplikasi atau ojek daring menjadi ladang bisnis dengan menghadirkan alat yang lebih simpel lagi yaitu otopet elektronik itu.
Entah berapa ribu grebwil yang sudah beroperasi di Jakarta maupun kawasan Bodetabek. Tetapi Pemprov DKI Jakarta sepertinya belum punya regulasi untuk penggunakan otopet listrik. Selama ini pun di jalanan terutama di kawasan permukiman lazim ditemui sepeda listrik yang lalu lalang layaknya sepeda motor biasa, tanpa kelengkapan perizinan seperti lazimnya alat tranportasi.
Belum terlihat juga potensi konflik dari para pengemudi driver ojol atas kehadiran grebwil ini. Seorang pengemudi ojol yang membawa saya ke stasiun Jurangmangu, Bintaro, Jumat (20/10/2019), hanya tertawa saat ditanya apakah grebwil “mengganggu” piring mereka. “Belum sih, Pak. Paling juga kalau di kawasan sini mah yang pakai anak-anak untuk main-main aja,” katanya.
Di sisi lain, prestasi Gubernur Anies Baswedan mempertegas lajur sepeda hendaknya juga dilanjutkan dengan langkah lainnya. Lajur sepeda jangan hanya menjadi pemantas kota seperti yang sudah tersedia di sejumlah wilayah Ibu Kota selama ini. Lajur itu harus dimanfaatkan dengan menyediakan sepeda-sepeda sewaan di sejumlah lokasi, misalnya.
Sepeda-sepeda sewaan yang juga berbasis aplikasi dan teknologi GPS untuk mencegah pencurian, sudah jamak ditemui di kota-kota maju. Saatnya juga, Gubernur, para pejabat, dan aparat memberi contoh bersepeda atau memperbanyak menggunakan angkutan umum. Setidaknya hal itu bisa melengkapi keberhasilan pemerintahannya yang ketiga tahun nanti.