Apabila melaksanakan operasi yang ditanggung BPJS Kesehatan, Herna harus menunggu sampai enam bulan. Enggan menunggu selama itu, ia pun memutuskan untuk membayar sendiri biaya operasi sebesar Rp 30 juta.
Oleh
Ayu Pratiwi
·5 menit baca
Sebagian peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengapresiasi layanan kesehatan yang disediakan rumah sakit atau puskesmas kepada mereka. Meskipun demikian, bukan berarti akses terhadap layanan kesehatan mudah mereka peroleh.
Untuk penyakit seperti kanker, misalnya, ada kasus di mana pasien harus menunggu berbulan-bulan sebelum bisa menjalankan operasi yang dibiayai BPJS Kesehatan. Tidak hanya itu, tahapan-tahapan administrasi yang perlu dilalui hingga mendapat tindakan kedokteran itu bisa lama dan melelahkan. Diperlukan mental yang sabar dan kuat untuk melalui itu semua.
Hal tersebut dialami oleh Herna (58), guru SMK yang mengidap penyakit kanker payudara, sejak didiagnostik pada awal 2015. Saat itu, ia ingin menjalani operasi pengangkatan payudara secepatnya demi mencegah penyebaran kanker.
Apabila melaksanakan operasi yang ditanggung BPJS Kesehatan, Herna harus menunggu sampai enam bulan. Enggan menunggu selama itu, ia pun memutuskan untuk membayar sendiri biaya operasi sebesar Rp 30 juta di rumah sakit swasta di Jakarta Selatan.
”Kalau tunggu jadwal giliran operasi, saya takut nanti stadium kankernya tambah naik. Oleh karena itu, saya langsung operasi seminggu setelah ketemu dokter. Dua minggu setelah itu, saya menjalani kemoterapi,” kata Herna ketika ditemui di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati, Jakarta, Selasa (5/11/2019). Ia menjalani delapan kali kemoterapi selama 2015.
Peralatan tidak lengkap
Selain lamanya waktu tunggu menjalani tindakan operasi, Herna juga mengeluhkan mengenai perlengkapan medis yang terkadang tidak lengkap. Suatu saat, ia tidak bisa menjalani pemeriksaan melalui mamogram (alat dengan teknologi radiasi untuk memantau perkembangan sel kanker payudara) di rumah sakit rujukan sistem BPJS Kesehatan karena alat itu rusak. Ia pun terpaksa menjalani pemeriksaan di tempat lain dengan membayar sedikitnya Rp 500.000.
Hal seperti itu juga dialami Yayan (57), warga Bogor, Jawa Barat, yang menderita batu ginjal. Ia menceritakan, dirinya dirujuk dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cibinong, Kabupaten Bogor, ke RSUP Fatmawati karena peralatan di RSUD Cibinong kurang lengkap.
Ia mengeluhkan perjalanan dari rumahnya di Bogor hingga RSUP Fatmawati yang jauh dan lama. Ia pun harus bangun pukul 04.00 agar bisa tiba sekitar pukul 08.00 di RSUP Fatmawati. Perjalanan itu tampaknya terpaksa ia tempuh beberapa kali selama beberapa hari ke depan. Sebelum menjalani operasi, ia harus bolak-balik ke rumah sakit untuk melakukan pendaftaran dan konsultasi dengan dokter.
”Pusing. Tetapi, apa pun itu, kita harus sabar. Apa pun itu, harus dijalani. Kita mau sembuh,” kata Yayan.
Herna juga mempertanyakan rumitnya sistem rujukan BPJS Kesehatan. Sebab, surat rujukan untuk bisa melakukan pemeriksaan kesehatan ke rumah sakit tidak berlaku seumur hidup. Akibatnya, ia harus mengunjungi puskesmas untuk memperbarui surat rujukan setiap tiga bulan agar bisa melakukan pemeriksaan sel kanker payudara.
”Padahal, sebelum ada BPJS Kesehatan, surat rujukan berlaku seumur hidup. Sekarang, harus diperbarui setiap tiga bulan. Itu pun tidak langsung ke rumah sakit, tetapi harus melalui faskes (fasilitas kesehatan) tingkat dua. Prosesnya panjang, bisa tiga hingga empat hari. Mungkin adanya defisit pada BPJS Kesehatan karena banyak tahapan yang harus dilalui pasien,” tutur Herna.
Ketersediaan obat
Meskipun obat yang dibutuhkan pasien tersedia di apotek rumah sakit, ada kala di mana stok obat tertentu habis dan pasien terpaksa membeli di tempat lain. Herna menceritakan, temannya yang mengidap kanker payudara pernah tidak mendapatkan obat Tamoxifen karena stok apotek rumah sakit habis. Untungnya, obat itu tersedia di apotek lain dan tetap dibiayai BPJS Kesehatan.
”Tidak semua obat didapat dari apotek rumah sakit. Kalau tidak ada, pasien ambil sendiri obatnya di tempat lain. Tapi, itu semua ditanggung BPJS Kesehatan,” kata Herna.
Ia mengaku, ketersediaan obat kanker saat ini lebih terbatas dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Ia menduga, pasien pengidap kanker payudara semakin banyak sehingga ada pasien yang bisa kesusahan memperoleh obat itu.
”Untungnya, kalau tidak dapat obat, pasien bisa meminjam obat dari pasien lain. Kan, ada komunitasnya (pasien pengidap kanker). Kami solid dan kekeluargaan banget karena kita merasa senasib,” kata Herna.
Ia sendiri, misalnya, tergabung dalam grup Whatsapp ”Grup Muslim Pasien Dr Yadi” dan ”Grup Pasien Dr Yadi”. Jumlah anggota grup yang diinisiasi oleh pasien sendiri itu cukup banyak dan mencapai hampir 100 orang.
Pengalaman kekurangan obat di apotek rumah sakit juga pernah dialami oleh Santoso (55), warga Kecamatan Cilandak, yang rutin menjalani pengecekan jantung di RSUP Fatmawati setelah menjalani operasi pasang ring jantung pada 2018.
”Selama jadi pasien, saya hampir selalu memperoleh obat yang diperlukan. Pernah satu kali tidak ada obat antinyeri, jadi harus cari di apotek luar. Padahal, itu obat umum, kan?” ujar Santoso.
Pengecekan jantung itu harus ia lakukan setiap bulan demi memperoleh obat yang ia butuhkan untuk menjaga kondisi darah dan jatung. Sebab, dosis obat yang diberikan itu hanya bisa untuk satu bulan.
”Saya berharap, dosis obat yang diberikan itu bisa untuk jangka waktu yang lebih lama sehingga kita tidak perlu terlalu sering ke rumah sakit. Seharusnya, kan, kita ke rumah sakit hanya saat ada keluhan,” ujar Santoso.
Ia menambahkan, pengecekan jantung yang ia jalankan sampai sekarang juga biasa-biasa saja prosesnya. ”Hanya ditanyain keluhannya apa, kemudian dicek tensi dan tekanan darah serta detak jantung,” ucap Santoso.
Lumayan puas
Meskipun proses layanan medis yang disediakan BPJS Kesehatan tidak mudah dilalui, Herna dan Yayan mengaku cukup puas secara garis besar dengan layanan kesehatan yang disediakan. Meskipun biaya iuran bulanan BPJS Kesehatan terjangkau warga luas, warga tetap harus siap-siap mengeluarkan uangnya sendiri jika membutuhkan pelayanan lebih, seperti Herna yang ingin menjalani operasi secara langsung dan tanpa mengantre.
”Saya lumayan puas dengan layanan kesehatan BPJS Kesehatan. Prosesnya masih bisa ditangani. Cuma, kita harus sabar dan harus siap-siap keluarkan uang sendiri jika layanannya tidak sesuai tuntutan kita,” tutur Herna.
Yayan berpendapat, layanan kesehatan sejak adanya BPJS Kesehatan lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. ”Dulu, saya sering dipersulit untuk dapat surat rujukan dari puskesmas. Harus berdebat dulu. Sekarang langsung dikasih oleh puskesmas. Saya berharap layanan kesehatan yang baik ini disamaratakan di seluruh Indonesia,” ujarnya.