Ditjen Perkeretaapian Minta Trase LRT Jakarta Diubah
Direktorat Jenderal Kereta Api Kementerian Perhubungan meminta DKI mengubah trase LRT Jakarta Koridor 2 itu karena rute ini akan berimpitan dengan rute MRT koridor timur - barat.
JAKARTA, KOMPAS — DKI Jakarta berencana membangun koridor kereta api ringan rute Pulo Gadung-Kebayoran Lama. Akan tetapi, Direktorat Jenderal Kereta Api Kementerian Perhubungan meminta DKI mengubah trase LRT Jakarta Koridor 2 itu karena rute ini akan berimpitan dengan rute MRT koridor timur- barat.
Heru Wisnu Wibowo, Direktur Prasarana Perkeretaapian Ditjen Kereta Api Kementerian Perhubungan, dalam diskusi Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ), Senin (9/12/2019) sore, mengungkapkan hal itu.
Dalam kajian Kemenhub, selain pembangunan MRT koridor selatan-utara yang sebagian sudah beroperasi dan akan dilanjutkan hingga ke Kota/Ancol, juga akan diikuti koridor timur-barat. Koridor timur-barat ini terbentang dari Cikarang-Ujung Menteng-Kalideres-Balaraja.
Koridor timur-barat MRT ini akan bertemu dengan koridor MRT selatan-utara (Lebak Bulus-Ancol) di persimpangan Sarinah. Sementara trase (jalur) LRT Jakarta Koridor 2 akan melintas dari Pulo Gadung menuju Tanah Abang melewati Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Letjen Suprapto, masuk Senen, Tugu Tani, Kebon Sirih, Sarinah, hingga ke Tanah Abang. Dari Tanah Abang lalu lanjut ke Kebayoran Lama.
Baca juga: LRT Fase 1 Beroperasi Komersial Hari Ini, Selanjutnya Fokus Fase 2A
Trase MRT koridor timur-barat sejauh 87 km nanti akan berimpitan dengan trase LRT Jakarta mulai dari Sarinah hingga Jalan Perintis Kemerdekaan. ”Kalau MRT nanti dari Roxy ke Kwitang itu underground. Mulai Kwitang hingga Perintis Kemerdekaan trasenya melayang. Jadi, akan berimpitan di Jalan Suprapto-Perintis Kemerdekaan,” jelas Heru.
Ia meminta Dishub DKI Jakarta untuk mengubah trase LRT Jakarta. ”Mau elevated atau tidak, trase tidak boleh berimpitan apalagi berebut demand,” jelasnya.
Heru menilai perubahan trase LRT Jakarta yang akan dibangun dengan skema pembiayaan Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) itu akan lebih memungkinkan. Sampai saat ini belum ada pre-studi kelayakan ataupun rekomendasi trase dari Kemenhub.
Sementara untuk MRT timur-barat, saat ini Ditjen Kereta Api tengah melakukan lelang untuk mendapatkan konsultan yang akan mendetailkan rancangan dasar (BED). ”Lelang sudah dimulai 4 November lalu. Pertengahan tahun depan sudah bisa mendapatkan konsultannya,” ujarnya.
Heru menjelaskan, apabila MRT koridor timur-barat yang berubah, itu akan berdampak pada desain koridor timur-barat juga koridor selatan-utara. ”Apabila trase MRT koridor timur-barat digeser ke Sawah Besar, risikonya rute baru harus didesain ulang karena kekecilan rutenya. Yang stasiun Sarinah juga harus didesain ulang karena desain stasiun terlalu besar karena awalnya Sarinah akan menjadi pertemuan koridor selatan-utara dan koridor timur-barat. Risiko lainnya, pekerjaan akan mundur dan itu tahunan,” jelas Heru.
Heru menegaskan, butuh waktu lama untuk menentukan trase MRT. Menurut Heru mustahil memindahkan stasiun transit dari Sarinah ke titik lebih utara seperti Harmoni atau Sawah Besar. ”Kita menentukan stasiun di Monas saja pertarungannya sulit. Setneg hampir tidak setuju. Apalagi kalau ke Harmoni atau Sawah Besar yang semakin dekat dengan istana,” tegasnya.
Itu sebabnya MRT koridor timur-barat tidak bisa diubah jalurnya. Sebab, MRT timur-barat dan selatan-utara akan bertemu dan berintegrasi di Sarinah yang pembangunannya sudah dimulai Maret 2020.
Syafrin Liputo, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta yang dikonfirmasi, Selasa (10/12/2019), menyatakan, untuk LRT ini usulannya ada 27 koridor. Sekarang yang sudah dijalankan, Kelapa Gading ke Velodrome, kemudian lanjutannya adalah Kelapa Gading-JIS.
”Nah, kami akan melakukan akselerasi untuk yang koridor duanya itu dari Pulogadung ke Tanah Abang-Kebayoran Lama. Koridor 2 ini untuk mengisi kekosongan angkutan umum perkotaan berbasis rel dari timur ke barat,” jelas Syafrin.
Tentang akselerasi itu, diakui Syafrin, DKI belum memiliki izin trase untuk rute sepanjang 19,7 km itu. Semua dokumen masih dalam proses pengurusan dan tahun depan akan dilengkapi. Meski izin belum ada, ia berkeras yang harus menyesuaikan trase adalah MRT timur-barat, bukan LRT Jakarta.
”Jadi begini, untuk pembangunan jalan rel, kami perlu akselerasi perkuatan timur-barat. Untuk perkuatan timur-barat itu, ada opsi untuk LRT yang dia bisa lebih cepat dalam implementasinya. Oleh sebab itu, itu yang kami ambil untuk menutup kekurangan jaringan jalan rel di timur-barat,” katanya.
Bahwa MRT yang harus mengalah, menurut Syafrin, Dishub DKI sudah menyampaikan bahwa MRT kembali ke posisi awal karena di desain awal untuk MRT itu intersection atau persimpangannya awalnya di Sawah Besar atau Harmoni. ”Kenapa begitu? Sekarang itu di Harmoni sudah ada namanya Harmoni Central Busway. Di sana artinya begitu besar demand yang harus di-capture. Oleh sebab itu, di sana butuhnya MRT dengan kapasitas yang besar,” katanya.
Untuk perkuatan timur-barat itu, ada opsi untuk LRT yang dia bisa lebih cepat dalam implementasinya. Oleh sebab itu, itu yang kami ambil untuk menutup kekurangan jaringan jalan rel di timur-barat.
Anggaran LRT Jakarta
Terpisah, Fraksi Partai Solidaritas Indonesia DPRD DKI Jakarta menilai, tambahan anggaran Rp 68 miliar untuk pembangunan kereta ringan atau LRT di Dinas Perhubungan DKI Jakarta berpotensi melanggar aturan. Sebab, dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 154/2017, pembangunan LRT merupakan tugas PT Jakarta Propertindo.
Di dalam kegiatan Pembangunan LRT, awalnya Dinas Perhubungan DKI Jakarta mengalokasikan anggaran Rp 85,6 miliar (M) untuk pengadaan lahan. Namun, saat rapat pembahasan rancangan APBD 2020 tanggal 5 Desember 2019, diusulkan tambahan anggaran Rp 68 miliar untuk pembangunan rute LRT dari Pulogadung ke Tanah Abang.
Penambahan anggaran itu akan digunakan untuk pekerjaan konsultan manajemen konstruksi dan konsultan integrator. ”Di dalam rapat tersebut, kami mempertanyakan, mengapa Dinas Perhubungan diberi anggaran untuk konsultan manajemen konstruksi dan konsultan integrator pembangunan LRT. Padahal, menurut Pergub Nomor 154 Tahun 2017, kedua pekerjaan tersebut adalah wewenangnya PT Jakpro (Jakarta Propertindo),” kata Eneng Maliana Sari, anggota Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 154 Tahun 2017 menugaskan Jakpro untuk pembangunan prasarana, pengadaan sarana, dan pengoperasian untuk semua rute LRT. Di dalamnya juga diatur bahwa pemerintah daerah hanya berwenang melakukan pengadaan lahan.
”Kalau baca Pergub nomor 154, tidak ada celah bagi pihak lain untuk melakukan pembangunan dan pengoperasian LRT. Jika tetap dipaksakan ada tambahan anggaran Rp 68 miliar di Dinas Perhubungan DKI Jakarta, ada potensi melanggar aturan itu,” kata Eneng.
Menurut RPJMD tahun 2018-2020, Pemprov DKI Jakarta berencana membangun 7 koridor LRT dengan total panjang sekitar 110 kKilometer (km). Pada saat ini, PT Jakpro telah menyelesaikan pembangunan dan mengoperasikan rute Kelapa Gading Pegangsaan Dua–Velodrome sepanjang 5,8 km.
PT Jakpro juga telah merampungkan fasilitas perawatan kereta yang mampu memenuhi kebutuhan rute LRT sepanjang 110 km dan fasilitas sepanjang 40 km.