Pembahasan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta 2020 sampai pada tahap akhir. Sejumlah kesepakatan dibuat di saat-saat terakhir, sebelum disepakati bersama DPRD dan Pemrov DKI Rabu ini.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·4 menit baca
Pembahasan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta 2020 sampai pada tahap akhir. Sejumlah kesepakatan dibuat di saat-saat terakhir sebelum disepakati bersama antara DPRD dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada Rabu (11/12/2019).
Beragam drama mewarnai proses pembahasan APBD DKI Jakarta tahun ini. Dari anggaran lem Aica Aibon, berhentinya dua pejabat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di tengah kasus anggaran ganjil, hingga Badan Kehormatan DPRD DKI Jakarta yang menerbitkan rekomendasi sanksi teguran terhadap anggota DPRD DKI Jakarta, William Aditya Sarana, yang mengungkapkan anggaran ganjil ke publik.
”Bagi saya, sebenarnya pengungkapan anggaran ganjil ke publik itu tak mengganggu, justru membantu kami untuk melakukan penyisiran,” kata Ketua Komisi E DPRD DKI Iman Satria, yang menemukan anggaran-anggaran ganjil seperti lem Aica Aibon tersebut.
Rapat Badan Anggaran (Banggar) terakhir antara DPRD dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah DKI Jakarta digelar pada Senin (9/11/2019) dari siang hingga malam hari.
”Setelah pembahasan lama, ternyata masih ada anggaran yang tak perlu, yang masih ada dalam rancangan,” kata Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi membuka rapat tersebut.
Penambahan dana partai politik dari Rp 2.400 per suara menjadi Rp 5.000 per suara yang dibahas di Komisi A lolos dengan begitu mudah. Tak ada protes dari anggota dewan. Penambahan ini membuat anggaran di pos Bantuan Keuangan yang semula sekitar Rp 14 miliar naik menjadi Rp 27 miliar.
Perubahan bantuan keuangan ini memang diatur dalam Pasal 5 Ayat 3 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik.
Sekolah berasrama
Perubahan lain yang dicapai di rapat terakhir itu adalah pembangunan SMK Negeri 74 sebesar Rp 106 miliar menjadi SMK Negeri berasrama yang akhirnya disepakati ditolak tanpa banyak perdebatan.
Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Merry Hotma mengatakan, usulan ini tak kuat baik dari kajiannya maupun peruntukannya. Bahkan, perubahan usulan itu dilakukan hanya dalam waktu sehari setelah sebelumnya usulan pembangunan fasilitas di SMKN 74 itu ditolak dalam rapat Badan Anggaran.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta M Taufik mengatakan, pembuatan sekolah berasrama tak sesederhana membangun fasilitasnya. Keberadaan sekolah ini memang dibutuhkan di semua wilayah DKI Jakarta. Namun, harus dilengkapi dahulu kurikulum dan kajiannya. ”Kurikulum sekolah berasrama ini berbeda dengan sekolah biasa,” katanya.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Syaefuloh Hidayat mengatakan, usulan untuk SMKN 74 sekitar Rp 106 miliar sudah ada sejak rancangan KUA-PPAS. Pembangunan SMK berasrama dimaksudkan untuk warga pesisir dan warga tak mampu untuk mendapatkan pendidikan lebih baik.
”Ini rekomendasi dari Dewan Riset Daerah DKI Jakarta. Berdasarkan kajian itu, sekolah berasrama dibutuhkan untuk warga pesisir,” katanya.
Baik Syaefuloh maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tak mencoba berargumen saat palu Ketua DPRD DKI Jakarta memutuskan anggaran tersebut tak disepakati.
Usulan untuk SMKN 74 sekitar Rp 106 miliar sudah ada sejak rancangan KUA-PPAS. Pembangunan SMK berasrama dimaksudkan untuk warga pesisir dan warga tak mampu untuk mendapatkan pendidikan lebih baik. Ini rekomemdasi dari Dewan Riset Daerah DKI Jakarta. Berdasarkan kajian itu, sekolah berasrama dibutuhkan untuk warga pesisir.
Lagi-lagi TGUPP
Perdebatan panas kembali terulang terkait anggaran Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) seperti yang sudah terjadi selama dua tahun berturut-turut sebelumnya. Panasnya perdebatan itu membuat rapat harus diskors pukul 17.00 dan dilanjutkan kembali pukul 19.00.
Peta politik Jakarta terlihat dalam perdebatan mengenai anggaran tim gubernur tersebut. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan PDI-P keukeuh mengusulkan anggaran tersebut dikosongkan di APBD DKI Jakarta dan dialihkan ke anggaran operasional gubernur. Usulan ini pun merupakan usulan yang terus disuarakan di tiap pembahasan rancangan anggaran DKI Jakarta selama dua tahun sebelumnya.
Alasannya adalah kinerja tim ini tak disertai parameter keberhasilan yang jelas, padahal diusulkan menggunakan APBD sebesar Rp 19,8 miliar. Permasalahan lain adalah kewenangan TGUPP yang dinilai terlalu besar sehingga memengaruhi kinerja satuan kerja pemerintah daerah (SKPD).
”Penggunaan dana APBD ini perlu ada parameter dan aturan yang harus dipenuhi,” kata Pantas Nainggolan, anggota DPRD dari PDI-P. Ia memprotes kewenangan tim tersebut yang ia nilai terlalu besar sehingga berhak memanggil SKPD.
Apalagi, ditemukan anggota TGUPP Achmad Haryadi juga menjadi Dewan Pengawas Rumah Sakit, yang artinya menerima pendapatan dari sumber APBD. ”Ini bisa jadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan,” kata Edi.
Sementara PAN dan Partai Gerindra mendukung tim dibiayai APBD. Namun, persetujuan ini disertai catatan perlu adanya evaluasi. ”Keberadaan tim ini sudah terbukti sangat baik, termasuk melakukan layanan kesehatan dan bantuan kesehatan untuk warga. Polemik ini sudah berjalan dua tahun, intinya hanya perlu evaluasi,” kata Syarif dari Partai Gerindra.
Selama ini, TGUPP ataupun Gubernur DKI Jakarta tak pernah mengungkapkan dengan jelas parameter kinerja tim yang bergaji dari Rp 8 juta-Rp 51 juta per bulan itu.
Di akhir perdebatan panjang itu, DPRD dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah yang diketuai Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah sepakat pemangkasan jumlah tim dari usulan semula 67 orang menjadi 50 orang. Hingga Selasa malam, usulan anggaran atas perubahan jumlah itu belum berubah, yaitu masih di Rp 19,8 miliar.
Setelah disepakati bersama di tingkat DKI Jakarta, RAPBD DKI Jakarta 2020 itu akan diserahkan ke Kementerian Dalam Negeri yang akan menjadi wasit terakhir.