Polisi Bebaskan Mahasiswa yang Ditangkap Seusai Demonstrasi
Mahasiswa yang ditangkap aparat usai demonstrasi peringatan hari hak asasi manusia akhirnya dibebaskan. Belum banyak keterangan yang bisa digali terkait alasan pembebasan mereka.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Daerah Metro Jaya membebaskan 14 mahasiswa yang ditangkap di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat, Selasa (10/12/2019) malam. Pembebasan itu dilakukan setelah aparat memeriksa mereka terkait dugaan tindakan melanggar hukum. Selanjutnya, polisi menyerahkan mahasiswa kepada perwakilan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andiyani membenarkan bahwa polisi membebaskan para mahasiswa yang ditangkap. Kendati demikian, dia tidak menjelaskan kondisi para mahasiswa ketika diserahkan kepada perwakilan LBH Jakarta dan Kontras.
Para mahasiswa itu ditangkap seusai mengikuti demonstrasi Hari Hak Asasi Manusia Sedunia di kawasan Istana Merdeka. Demonstrasi itu menyuarakan, antara lain, penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, tindakan represif aparat negara, dan rancangan undang-undang kontroversial. ”Sudah diserahkan ke perwakilan Kontras dan LBH Jakarta,” kata Yati Andiyani kepada Kompas di Jakarta, Rabu (11/12/2019),
Sebelumnya, aparat menangkap para mahasiswa karena diduga membuat keonaran seusai demonstrasi. Polisi menganggap mereka mengganggu ketertiban umum dengan cara menutup ruas jalan dan melakukan aksi vandalisme.
”Pembatas jalan untuk sepeda motor dilempar ke tengah jalan dan (mereka) mencoret-coret bagian depan Gedung Sarinah,” ujar Yusri. Dia tidak merinci identitas dan asal kampus para mahasiswa itu.
Mereka ditangkap petugas dari Kepolisian Resor Jakarta Pusat dan Kepolisian Sektor Menteng. Yusri menyebutkan, mereka diserahkan kepada perwakilan LBH Jakarta dan Kontras sekitar pukul 21.30 seusai diperiksa dan didata.
Sebelumnya terjadi aksi kejar-kejaran antara polisi dan mahasiswa yang belum membubarkan diri seusai demonstrasi di kawasan Istana Merdeka. Polisi membubarkan dan mengejar mahasiswa karena telah melewati ketentuan penyampaian pendapat di muka umum. Sesuai undang-undang, penyampaian pendapat di tempat terbuka diperbolehkan pada pukul 06.00 sampai pukul 18.00.
Dalam memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia, mahasiswa dan buruh melakukan long march dari Patung Arjuna Wijaya menuju depan Istana Merdeka. Mereka menyuarakan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang menjadi salah satu pekerjaan rumah bagi pemerintah saat ini.
Sementara itu, peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia diwarnai sikap skeptis publik terhadap kemauan dan kemampuan pemerintah menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Skeptisisme publik itu tergambar dari jajak pendapat Litbang Kompas pada 4-5 Desember 2019 terhadap 512 responden di 17 kota besar di Indonesia. Sebanyak 61,1 persen responden menyatakan tidak yakin pemerintah akan mampu mengungkap tuntas pelanggaran HAM berat di masa lalu, seperti kerusuhan Mei serta peristiwa Semanggi I dan II.
Selain itu, Setara Institute, lembaga nirlaba yang berfokus meneliti dan mengadvokasi masalah demokrasi, kebebasan politik, dan hak asasi manusia merilis Indeks Kota Toleran tahun 2018.
Sebanyak 94 kota diberi peringkat berdasarkan sembilan indikator yang ditetapkan. Indikator itu di antaranya regulasi pemerintah kota, tindakan pemerintah, regulasi sosial, dan demografi agama.
Tentang regulasi pemerintah kota, misalnya, indikator yang digunakan adalah sejauh mana Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) mengakomodasi kepentingan kelompok minoritas. Selain itu juga pembentukan produk hukum dan pendukung lain serta ada tidaknya kebijakan yang diskriminatif yang dikeluarkan kota tersebut.
Jakarta berada pada peringkat ketiga terbawah setelah Tanjung Balai dan Banda Aceh. Jakarta mendapatkan poin 2.880, Banda Aceh 2.817, dan Tanjung Balai di posisi terbawah dengan 2.817.
Hal itu berbeda dengan Indeks Demokrasi Indonesia 2018 yang dibuat Badan Pusat Statistik (BPS). DKI Jakarta menempati posisi tertinggi di antara provinsi-provinsi di seluruh Indonesia dengan nilai 85,08. DKI mengalahkan Bali (82,37) serta Nusa Tenggara Timur (82,32). Skor Jakarta naik 0,35 poin dibandingkan skor dalam indeks serupa tahun 2017, yang saat itu sebesar 84,73. Aspek kebebasan sipil naik 7,36 poin dan aspek lembaga demokrasi naik 87,82 poin.