Selama lebih dari setengah abad, kehidupan umat di Gereja Protestan Mahanaim dan Masjid Al-Muqarrabien, Jakarta Utara, terjalin harmonis. Kedua tempat ibadah itu bahkan hanya terpisah oleh selapis dinding.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
Keberadaan Masjid Al-Muqarrabien dan Gereja Protestan Mahanaim di Tanjung Priok, Jakarta Utara, hanya dipisahkan selapis dinding. Selama lebih dari setengah abad, kehidupan umat keduanya menjadi potret kerukunan di tengah beragam perbedaan.
Posisi kedua rumah ibadah itu terletak tepat di tepi Jalan Enggano, Jakarta Utara. Jalan raya tersebut sehari-harinya dilintasi truk dan bus berukuran besar yang menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Masjid dan gereja terletak bersebelahan dan hanya dipisahkan dinding.
Kondisi itu agak berbeda dengan rumah ibadah lain yang biasanya terletak terpisah atau bahkan berjauhan. Masjid Al-Muqarrabien dan Gereja Protestan Mahanaim telah berdampingan sejak 1958.
Wakil Ketua Jemaat Gereja Protestan Mahanaim Dikson Bawuna, Senin (16/12/2019), menuturkan, Gereja Mahanaim dibangun oleh para pelaut Kristen dari Sangihe, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, tahun 1957. Kala itu, mereka membutuhkan gereja untuk beribadah.
Mereka kemudian menyampaikan permohonan untuk membangun gereja di atas tanah milik Departemen Perhubungan (Dephub), tak jauh dari Pelabuhan Tanjung Priok. Permohonan para pelaut itu dikabulkan oleh pemerintah.
Setahun berselang, pelaut beragama Islam yang datang dari luar Jakarta juga membutuhkan masjid untuk menjalankan ibadah. Pilihan kemudian jatuh kembali kepada tanah milik Dephub yang terletak tepat di sebelah Gereja Mahanaim. Pada 1958, Masjid Djawatan Perhubungan Laut didirikan. Masjid tersebut menjadi cikal bakal Masjid Al-Muqarrabien.
”Sejak didirikan hingga saat ini, hubungan harmonis selalu terjaga. Hampir tidak pernah ada selisih paham di antara jemaat gereja dan umat Islam,” ujar Dikson yang merupakan generasi ketiga pengurus Gereja Mahanaim.
Dari generasi ke generasi, kami ditanamkan bahwa hidup berdampingan meski berbeda itu bukan sesuatu hal yang mustahil atau buruk.
Alih-alih berselisih paham, kedua umat beragama itu senantiasa hidup rukun dan saling menghargai. Pada saat perayaan Natal, misalnya, pihak masjid selalu mengizinkan jemaat untuk menggunakan halaman masjid sebagai lahan parkir jemaat yang hendak ke gereja.
Sebaliknya, ketika Idul Fitri jatuh tepat pada hari Minggu, pihak Gereja Mahanaim sengaja meniadakan misa pagi yang biasa digelar pukul 06.00. Hal itu bertujuan agar halaman gereja bisa digunakan sebagai lokasi shalat Id. Hubungan saling pengertian itu terus terjaga hingga kini.
”Dari generasi ke generasi memang kami ditanamkan bahwa hidup berdampingan meski berbeda itu bukan sesuatu hal yang mustahil atau buruk,” kata Dikson.
Hal serupa diutarakan Imam Masjid Al-Muqarrabien Endang Guna Raharja (57). Menurut dia, hidup bersama dalam perbedaan tidak harus dipermasalahkan. Agar jemaat yang sedang beribadah tak terlalu terganggu dengan suara azan, pihak masjid sengaja mengarahkan pengeras suara ke arah yang berlawanan dengan lokasi gereja. Hal-hal yang kelihatannya sepele itu sesungguhnya sarat makna toleransi dan saling menghargai.
Endang mengungkapkan, warga Muslim tidak pernah keberatan untuk membantu jemaat gereja. Ia percaya, manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan.
Saling membantu
Pengalaman itu terjadi saat banjir menerjang perkampungan di sekitar Masjid Al-Muqarrabien dan Gereja Mahanaim sekitar lima tahun lalu. Kala itu, seluruh rumah penduduk terendam.
Pihak gereja sukarela membuka pintu gereja selebar-lebarnya untuk menampung warga yang kebanjiran. Para korban mengungsi ke lantai dua gereja itu selama tiga hari hingga banjir surut.
Hal sebaliknya terjadi ketika peristiwa berdarah Tanjung Priok pada 1984. Peristiwa itu melibatkan umat Islam dan aparat pemerintahan Orde Baru. Setelah peristiwa bentrokan di Tanjung Priok, beredar isu akan ada pembakaran gereja-gereja, termasuk Gereja Mahanaim.
Pada saat-saat genting itulah umat Islam turun tangan mengamankan Gereja Mahanaim. ”Boleh dibilang, kami ini saling menjaga satu sama lain,” ujar Dikson.
Hubungan harmonis itu yang hingga saat ini terus dijaga oleh jemaat gereja dan umat Islam di sana. Bahkan, ketika ada rencana kedua rumah ibadah yang berdampingan itu akan terkena relokasi pada 2014 akibat rencana pelebaran jalan, kedua umat beragama itu menolak berpisah. Mereka menentang upaya relokasi pemerintah karena dinilai akan menghancurkan simbol kerukunan beragama yang telah terbangun selama ini.
Masjid Al-Muqarrabien dan Gereja Mahanaim menjadi saksi sejarah keberagaman di republik ini. Perbedaan justru menjadi kekuatan untuk menghadapi musibah dan kesulitan. Kedua umat beragama di tepi Jalan Enggano, Tanjung Priok, itu memang ditakdirkan untuk berbeda dalam semua, kecuali dalam berbangsa dan bernegara.