Keuangan Daerah, Cermin Kemajuan Kota
Besarnya pos penerimaan keuangan DKI Jakarta menyebabkan penambahan anggaran belanja untuk alokasi program pembangunan daerah. Kondisi ini akan mengakselerasi tumbuhnya Jakarta.
Keuangan daerah Provinsi DKI Jakarta terus meningkat seiring kemajuan ekonomi Ibu Kota. Produk domestik regional bruto atau PDRB yang terus bertambah mendorong peningkatan pendapatan bagi pemerintah daerah. Besarnya pos penerimaan ini menyebabkan penambahan anggaran belanja untuk alokasi program pembangunan daerah. Kondisi ini akan mengakselerasi tumbuhnya Jakarta.
Berperan ganda sebagai ibu kota provinsi sekaligus ibu kota Indonesia merupakan keunggulan absolut Jakarta. Hal ini menyebabkan arus investasi, baik dari sektor swasta, pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah, mengalir deras ke Jakarta.
Salah satu hal yang mudah diamati adalah perkembangan fisik kota yang berjalan pesat. Gedung-gedung pencakar langit, sarana perbelanjaan, pembangunan infrastruktur, dan modernisasi alat-alat transportasi publik merebak ke segala penjuru kota.
Kondisi itu mendorong wilayah Jakarta berkembang menjadi daerah dengan nilai ekonomi tinggi. Kantor-kantor pemerintah ataupun swasta serta industri-usaha jasa yang tersebar di segala penjuru kota membuat Jakarta kian dinamis dan menarik sepanjang waktu.
Investor berlomba-lomba menanamkan modalnya di Jakarta untuk mendulang keuntungan besar. Terutama untuk usaha-usaha yang bersifat jasa seperti keuangan, perhotelan, restoran dan kuliner, transportasi, serta jasa teknologi.
Pada kurun 2013-2018, PDRB DKI Jakarta mencapai Rp 2.000 triliun per tahun. Setiap tahun nilai PDRB ini meningkat sekitar 10 persen atau Rp 200 triliun sehingga pada 2018 nilai PDRB Jakarta melonjak hampir Rp 2.600 triliun.
Kontribusi PDRB Jakarta ini memberikan kontribusi sekitar 17 persen per tahun bagi produk domestik bruto (PDB) nasional. Tentu, kontribusi itu terbesar di antara 34 provinsi di Indonesia.
Hal ini berdampak positif bagi pendapatan daerah. Salah satunya, pendapatan dari sektor perpajakan. Semakin tinggi nilai ekonomi yang dihasilkan dari suatu proses produksi barang atau jasa, maka nominal kutipan pajak bagi pemerintah juga semakin besar.
Ada tiga sektor penyumbang pendapatan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yakni pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, dan pendapatan lain yang sah. Dari ketiga sumber pemasukan ini, PAD adalah penyumbang terbesar, mencapai 70 persen.
Jika diurai lebih dalam, PAD itu berasal dari pajak daerah. Sepanjang 2015-2018, rata-rata setiap tahun, sekitar 85 persen PAD senilai hampir Rp 35 triliun disumbang dari pungutan pajak daerah.
Berdasarkan laporan rekapitulasi penerimaan pajak daerah Pemprov DKI, setidaknya ada 13 sumber utama pajak daerah. Terdiri dari pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, bahan bakar kendaraan bermotor, air tanah, hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, parkir, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, pajak rokok, serta PBB perdesaan dan perkotaan.
Dari ke-13 jenis pajak ini, setidaknya ada tujuh jenis pajak berkontribusi hingga triliunan rupiah. Pajak itu adalah pajak kendaraan dan bea balik nama kendaraan yang akumulasi nilainya di 2018 hampir Rp 14 triliun; pajak hotel dan restoran sekitar Rp 4,8 triliun; serta reklame senilai Rp 1 triliun. Pajak besar lainnya dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan sekitar Rp 4,7 triliun, serta PBB perdesaan-perkotaan hampir senilai Rp 9 triliun.
Pajak dan PDRB
Besarnya kutipan sejumlah jenis pajak itu menandakan Provinsi DKI Jakarta memiliki keunggulan perekonomian di sektor jasa. Bea balik nama kendaraan bermotor mengindikasikan ada jual beli atau jasa perdagangan kendaraan roda dua, mobil, ataupun kendaraan niaga, baik baru maupun bekas.
Pajak hotel dan restoran menandakan adanya kontribusi dari sektor jasa pariwisata. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan menandakan terjadi jual beli gedung, tanah, dan bangunan. Segala transaksi ini secara otomatis turut menggerakkan lini jasa keuangan, baik untuk pembayaran, pendanaan, utang, maupun jasa finansial lainnya.
Semua kegiatan ekonomi terkait sektor jasa itu terus meningkat sehingga menambah akumulasi pungutan pajaknya. Hal ini mengindikasikan jika sektor jasa berkembang di Ibu Kota, bahkan jadi penggerak utama perekonomian.
Tahun 2013-2018, dari sembilan lapangan usaha yang berkontribusi bagi PDRB Jakarta, terlihat dominasi sektor jasa yang menyumbang sekitar 53 persen. Contohnya, perdagangan, hotel, dan restoran serta kelompok keuangan, realestat, dan jasa perumahan. Ini belum termasuk kontribusi jasa pengangkutan, komunikasi, dan konstruksi yang besaran setiap tahunnya rata-rata 22 persen.
Fenomena itu patut jadi perhatian pemangku kebijakan di Pemprov DKI. Tingginya sumbangan pajak dari sektor jasa itu harus dipertahankan dan terus ditingkatkan sambil pemerintah meningkatkan kualitas masyarakat dan menambah peranan warga Jakarta.
Pemda besar kiprahnya dalam menciptakan sumber daya manusia yang kompeten dalam membangun Jakarta. Menciptakan SDM yang unggul, baik dari segi kesehatan maupun pendidikan, agar produktif menunjang kemajuan daerah menjadi kewajiban penting pemerintah.
Jadi, pendapatan dari mayoritas kutipan pajak itu sebaiknya dibelanjakan untuk menciptakan generasi unggulan yang mampu melanjutkan estafet pembangunan. Semacam siklus berkesinambungan dalam menciptakan perkembangan perekonomian antara masyarakat- pemerintah-swasta atau industri.
Masyarakat sebagai sumber utama tenaga kerja terampil sekaligus konsumen. Pemerintah sebagai pengatur kebijakan jangka pendek dan jangka panjang sekaligus pengelola pajak-pajak dari sektor swasta dan masyarakat.
Sektor swasta-industri sebagai produsen barang dan jasa yang menyerap tenaga kerja dari masyarakat sekaligus mengimplementasikan kebijakan yang diatur oleh pemerintah. Semuanya saling terhubung dan membutuhkan.
Jika menelisik data belanja Pemprov DKI Jakarta, terlihat anggaran itu terbagi ke dalam empat kategori, yaitu urusan pemerintahan wajib, urusan pilihan, penunjang urusan pemerintah, dan kewilayahan. Nilai anggaran pada setiap kategori itu secara tidak langsung menggambarkan arah kebijakan pemda setempat. Semakin besar
APBD yang dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, maka kualitas penganggaran semakin baik. Pada APBD DKI Jakarta, belanja wajib yang menjadi perhatian Pemprov DKI Jakarta terkonsentrasi pada tiga sektor.
Tahun 2012-2018, ketiga sektor ini bahkan realisasi belanjanya bernilai masing-masing lebih dari Rp 6 triliun. Bidang pekerjaan umum Rp 6,3 triliun dan bidang kesehatan Rp 8,6 triliun. Bahkan, untuk pendidikan hingga Rp 21 triliun. Hanya saja, penyerapan anggaran pendidikan ini belum maksimal, masih 84 persen atau sekitar Rp 18,8 triliun.
Konsentrasi belanja daerah yang terfokus untuk ketiga sektor ini mengindikasikan bahwa pemda serius meningkatkan kualitas pembangunan, baik fisik maupun nonfisik. Perbaikan infrastruktur perkotaan dan ruang-ruang publik, perbaikan kualitas gedung kesehatan dan pendidikan, sekaligus meningkatkan kualitas SDM para tenaga kesehatan, pengajar, dan siswa didik di sekolah-sekolah.
Upaya ini juga adalah untuk meningkatkan kualitas SDM di masa mendatang. Dengan memiliki keterampilan, pendidikan, dan juga ditunjang dengan kesehatan yang lebih baik. Tata kota dan infrastruktur juga terus ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Jakarta sekaligus menambah daya tarik bagi investor.
Setiap tahun Jakarta mendapat kucuran investasi dari pemodal sekitar Rp 70 triliun. Terdiri dari pemodal asing sekitar Rp 41 triliun dan pemodal dalam negeri sekitar Rp 31 triliun.
Ketimpangan
Sepanjang 2012-2018, pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta rata-rata 6 persen per tahun. Angka ini lebih tinggi sekitar 1 persen dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional yang berkisar 5 persen.
Salah satu keunggulan pembangunan ekonomi Jakarta adalah besarnya pendapatan per kapita. Tahun 2013-1018, rata-rata pendapatan per kapita warga Jakarta dalam setahun sekitar Rp 202 juta atau Rp 16,85 juta sebulan. Jauh di atas pendapatan rata-rata per kapita nasional sekitar Rp 45 juta setahun atau Rp 3,7 juta per bulan.
Namun, pendapatan per kapita setinggi itu tidak menggambarkan kondisi riil masyarakat Jakarta. Ketimpangan antarpenduduk sangat tinggi. Terlihat dari koefisien gini di kisaran 0,400. Sejak 2011-2018, rasio gini di Jakarta stabil tinggi di besaran itu. Artinya, ada ketimpangan besar pendapatan antarpenduduk dalam kehidupan sehari-hari.
Fenomena itu menjadi perhatian bersama yang harus segera diatasi. Pemprov DKI memiliki peran besar menciptakan kebijakan yang mampu mendorong kualitas hidup warga kotanya. Tidak terkecuali terkait penghasilan pekerja yang diatur melalui mekanisme penentuan upah minimum kabupaten atau kota. (Litbang Kompas)