Jiwa kebangsaan antarumat di negeri ini agar saling terhubung. Itulah yang membawa perdamaian semakin menguat dalam rumah besar bernama Indonesia.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ruang perjumpaan antarumat beragama harus terus ditingkatkan. Ini bertujuan mengikis berbagai wasangka yang membuat antarumat saling curiga.
Hal itu disampaikan oleh inisiator Paguyuban Masyarakat Cinta Bangsa, Yudi Latif, ketika beranjangsana ke Gereja Katedral, Rabu (25/12/2019). Yudi dan rombongan diterima oleh Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo.
Kunjungan ke gereja-gereja ini, menurut Yudi, adalah upaya untuk memperluas ruang perjumpaan antarumat. Agama memainkan peran penting dalam membangun kejiwaan bangsa.
Jika jiwa kebangsaan sudah saling terhubung, perdamaian akan semakin menguat di rumah besar bernama Indonesia. ”Kita harus saling berjumpa untuk mengikis wasangka dan stigma. Ruang perjumpaan itu harus saling dikembangkan,” katanya.
Dia menekankan pentingnya komunitas untuk memperadabkan manusia. Indonesia merupakan negara luas dan majemuk. Oleh sebab itu, sangat mustahil jika hanya mengandalkan negara.
Jangan pernah memberi ruang bagi kelompok tertentu untuk menekan kelompok lainnya dalam menjalankan ibadah karena negara akan kehilangan kredibilitas. (Yudi Latif)
Negara, lanjutnya, berperan dalam hal tata kelola umat beragama. Negara harus tegak lurus di atas konstitusi yang sudah menjamin hak untuk beribadah dan beragama.
”Jangan pernah memberi ruang bagi kelompok tertentu untuk menekan kelompok lainnya dalam menjalankan ibadah karena negara akan kehilangan kredibilitas. Kalau sudah begitu, anarkisme bakal merajalela,” lanjutnya.
Sementara itu, Kardinal Ignatius Suharyo dalam khotbahnya mengingatkan umat agar membaca gejala zaman. Dalam pandangannya, ada gejala yang membesarkan hati, seperti gerakan peduli lingkungan.
Bentuk kesadaran akan lingkungan itu terwujud dalam dalam pembuatan bank-bank sampah, menanam tanaman organik, dan tidak membuang makanan.
Di bidang sosial, kegiatan makan siang Natal yang delapan tahun lalu hanya di satu tempat, sekarang bertambah menjadi 25 tempat. Keuskupan Agung Jakarta mengundang orang-orang yang sering disebut terpinggirkan.
”Mereka adalah saudara kita yang tinggal di bawah jembatan layang, emperan toko, gerobak sampah, atau di tempat pembuangan sampah. Mereka diundang dan dilayani oleh para sukarelawan, mengangkat martabat manusia,” tambahnya.
Meski demikian, dia melanjutkan, gejala zaman yang membuat prihatin juga mulai muncul. Ada beberapa kata yang 10 tahun lalu jarang terdengar atau jarang terjadi. Hal itu, antara lain, ujaran kebencian, intoleransi, dan politik identitas.