Pemerintah Daerah harus lebih pro aktif dalam penanggulangan bencana alam yang rutin terjadi setiap tahun.
Oleh
Anita Yossihara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Daerah harus lebih pro aktif dalam penanggulangan bencana alam yang rutin terjadi setiap tahun. Tak hanya dana tak terduga untuk penanganan bencana, pemerintah daerah juga perlu didorong untuk menyiapkan rencana darurat untuk menghadapi kondisi mendesak, seperti bencana alam.
Dorongan agar daerah menyusun rencana kontingensi mengemuka dalam rapat terbatas (ratas) khusus membahas bencana alam yang digelar secara tertutup di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (3/1/2020).
“Kami usulkan kepada Presiden untuk menerbitkan Inpres (Instruksi Presiden) yang mewajibkan daerah untuk menyusun contingency plan,” kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Munardo saat memberikan keterangan pers seusai ratas.
Ratas membahas penanganan bencana dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Maruf Amin. Selain Kepala BNPB Doni Munardo, hadir pula Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Sosial Juliari Batubara, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, dan Kepala Polri Jenderal Idham Azis.
Doni menjelaskan, rencana kontingensi itu penting mengingat bencana selalu mengintai setiap tahun. Pada musim kemarau, potensi bencana kekeringan dan kebakaran lahan maupun meningkat. Begitu pula saat musim penghujan, potensi banjir dan tanah longsor di sejumlah daerah pun bertambah besar.
Dalam rencana darurat itu diharapkan diatur pedoman kesiapsiagaan serta mitigasi bencana. Sehingga saat terjadi bencana, pemerintah daerah (pemda) bisa langsung bergerak sesuai dengan pedoman dalam rencana darurat yang disusun sebelumnya. Tak hanya itu dengan adanya rencana kontingensi, pejabat daerah juga bisa menetapkan status bencana sekaligus pelibatan instansi pemerintah pusat, TNI, dan juga Polri dalam penanganan bencana.
“Kenapa harus Inpres? Supaya tidak ada lagi alasan bagi daerah untuk tidak membuat contingency plan. Sekarang ini ada daerah yang sudah punya, ada juga yang belum punya,” ujar Doni menjelaskan.
Sementara dalam ratas itu Presiden Jokowi juga mengimbau seluruh gubernur, bupati, dan wali kota untuk meningkatkan kesiapsiagaan. Sebab berdasarkan prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), puncak musim penghujan akan terjadi pada Februari. Langkah antisipatif perlu dilakukan karena curah hujan masih relatif tinggi hingga beberapa bulan ke depan.
Tak hanya itu Presiden Jokowi juga meminta seluruh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPPD) di seluruh kabupaten/ kota kembali diaktifkan. Kerja sama antara instansi pemerintah pusat dan pemda pun perlu ditingkatkan, terutama dalam pencegahan serta mitigasi bencana.
Gunakan sisa anggaran
Sementara terkait anggaran penanganan bencana, Mendagri Tito Karnavian menyampaikan bahwa pemda bisa menggunakan sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA). Sebab, umumnya, belanja tak terduga yang dialokasikan oleh pemda relatif kecil.
“Kalau melihat pengalaman alokasi BTT (Biaya Tak Terduga) di DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat itu relatif kecil. Karena itu daerah bisa juga mengeluarkan SILPA untuk penanganan bencana,” katanya.
Mantan Kepala Polri itu menyebut, alokasi belanja tak terduga Pemprov DKI Jakarta sebesar Rp 233 miliar, Jawa Barat Rp 25 miliar, dan Banten Rp 45 miliar. Jumlah tersebut diperkirakan masih belum cukup untuk persiapan penanangan bencana.
Karena itulah pemda disarankan untuk menggunakan SILPA sebagai dana tambahan penanganan bencana. Tito berharap, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tidak mempersulit usulan pemda untuk menggunakan SILPA. Sebab penggunaan SILPA harus melalui persetujuan DPRD.
Pembangunan terhambat
Sebenarnya pemerintah pusat sudah menyiapkan berbagai upaya untuk mencegah banjir di sejumlah daerah, termasuk DKI Jakarta. Diantaranya, dengan membangun bendungan di kawasan hulu, yakni Bendungan Ciawi dan Sukamahi yang terletak di Kabupaten Bogor. Selain itu juga dengan melakukan normalisasi sungai dan membangun sodetan di kawasan hilir.
“Sodetan di Kali Ciliwung ini akan signifikan untuk mengurangi volume air, beban Kali Ciliwung akan semakin ringan,” kata Menteri PUPR Basuki seusai ratas.
Dijelaskan, debit air Kali Ciliwung rata-rata sebesar 570 meter kubik per detik. Jika ada sodetan, debit air bisa dikurangi menjadi 510 meter kubik per detik.
Tetapi ternyata dari rencana pembangunan sepanjang 1,2 kilometer, baru 600 meter yang terbangun. Pembangunan sodetan belum bisa dilanjutkan, karena terkendala pembebasan lahan. Basuki menegaskan, jika pembebasan lahan selesai dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta, maka pemerintah pusat hanya membutuhkan waktu enam bulan untuk menyelesaikan pembangunan sodetan.