Puluhan Pengungsi Bertahan di Halte Transjakarta Jembatan Baru
Puluhan mengungsi masih meninggalkan tempat tinggalnya ke tempat yang lebih aman. Warga Rawa Buaya, Jakarta Barat, memilih halte Transjakarta untuk mengungsi dari rumahnya.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak awal pergantian tahun 2020, puluhan pengungsi masih bertahan di Halte Transjakarta Jembatan Baru, Rawa Buaya, Cengkareng, Jakarta Barat, Sabtu (4/1/2020) sore. Rumah-rumah mereka masih digenangi air dan lumpur sisa banjir sehingga belum layak untuk ditinggali kembali.
Mereka terpaksa tinggal di halte karena rumah masih digenangi lumpur dan air setinggi sekitar 40 cm. ”Isi rumah jadi lembab dan bau. Tak sehat jika ditinggali, apalagi bawa cucu. Lampu dan air juga masih mati. Jadi, tinggal di sini (halte) saja dulu sambil rumah dibereskan,” ujar Hasbillah (51), pengungsi Rawa Buaya, Cengkareng, yang mengungsi bersama dua anak dan ketiga cucunya.
Hasbillah tinggal di Halte Jembatan Baru sejak banjir melanda rumahnya pada Rabu (1/1/2020) dini hari. Dia tak menyangka banjir kali ini lebih tinggi dibandingkan banjir pada tahun 2007. ”Banjir sekarang bisa 1,5 meter. Makanya, pas subuh itu, tiba-tiba air sudah tinggi. Dulu (2007) enggak sampai segitu, paling setengah meter,” kata Hasbillah.
Rumah Hasbillah sekitar 500 meter dari Jalan Raya Daan Mogot, lokasi Halte Jembatan Baru. Saat air semakin tinggi, Hasbillah bergegas ke jalan raya dan mendapati sekitar lima orang sudah menggelar tikar di halte. Lalu, dia pun ikut singgah bersama.
Sebenarnya, Hasbillah tidak ingin terlalu lama tinggal di halte karena bahaya debu dan asap kendaraan bermotor. Apalagi, halte itu jadi berhenti beroperasi karena dijadikan tempat pengungsian.
Dia berharap bisa kembali lagi ke rumah ketika tak ada lagi lumpur dan air. Saat ini, rumah sedang dibersihkan oleh suami dan anak-anaknya. ”Ngeri juga kalau tinggal di halte terus karena kawasan ini sering dilalui truk dan bus. Kasihan anak-anak,” kata Hasbillah.
Pengungsi lain di Halte Jembatan Baru, Susiana (43), menuturkan, sebenarnya ada pilihan lain bagi para pengungsi di kawasan Rawa Buaya, yakni di aula Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Rawa Buaya. Namun, aula di rusun tersebut sudah dipadati pengungsi sehingga dirinya lebih memilih tinggal di halte.
”Di (aula) Rusunawa (Rawa Buaya) pengap. Di halte sini, kan, terbuka. Walaupun, kami tahu, masalahnya di debu aja nih. Tetapi, kami tak punya tempat penampungan lagi. Ini sangat terpaksa,” ujar Susiana yang tinggal di Jalan Dharma Wanita RT 002 RW 002, Rawa Buaya.
Susiana mengungsi bersama tiga anaknya. Salah satu anaknya, berumur 13 tahun, mengalami demam sejak dua hari terakhir. Puskesmas setempat telah memberikan obat gratis kepada anaknya tersebut.
Saat ini, lanjut Susiana, pengungsi masih kurang mendapatkan akses air bersih. Air tak lagi menyala pascabanjir karena PLN mematikan listrik di kawasan rumah mereka.
Ditutup sementara
Direktur Utama PT Transjakarta Agung Wicaksono yang melihat kondisi pengungsi menyampaikan, untuk sementara halte akan ditutup untuk memfasilitasi para warga. Dia belum bisa memastikan kapan Halte Jembatan Baru akan beroperasi normal kembali. ”Tentunya, kami ingin layanan transportasi publik segera berjalan di halte ini. Tetapi, kami juga memahami dari aspek kemanusiaan. Ini ada warga yang masih harus memanfaatkannya,” ujar Agung.
Agung berharap, warga dapat segera membereskan rumahnya dengan dibantu pekerja penanganan prasarana dan sarana umum (PPSU) tingkat kelurahan. Dengan begitu, masyarakat Jakarta bisa menggunakan layanan transportasi publik secara normal kembali. Berdasarkan data PT Transjakarta, jumlah pengungsi di Halte Jembatan Baru sebanyak 89 orang. Sebagian besar adalah ibu-ibu, anak-anak, dan warga lansia.
Agung juga menambahkan, sejauh ini, pelayanan Transjakarta di Koridor 3 Kalideres-Pasar Baru berjalan normal. Namun, bus Transjakarta tidak berhenti di empat halte yang ada di sepanjang koridor itu, yakni Halte Taman Kota, Halte Dinas Pendapatan Daerah Samsat Barat, Halte Jembatan Gantung, dan Halte Jembatan Baru yang sedang digunakan sebagai tempat pengungsian. Tiga halte yang lain belum bisa beroperasi normal dikarenakan ada sejumlah separator yang menutupi jalur bus Transjakarta.
”Saat ini sedang dilakukan perapihan separator sepanjang jalur Koridor 3 bersama dengan Dinas Bina Marga, lalu jalur akan bisa digunakan kalau separatornya kembali. Tentunya kami targetkan hari ini (perapihan) separator bisa selesai sehingga Koridor 3 bisa lewat busway, tidak lewat jalur reguler seperti sekarang,” kata Agung.
Baca juga: Kebijakan Atasi Banjir Melemah
Banjir di Jabodetabek
Kepala Pusat Data Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo mengatakan, berdasarkan data terbaru, jumlah korban banjir dan longsor yang melanda Jakarta, Banten, dan Jawa Barat kini menjadi 53 orang dan satu orang hilang.
Adapun jumlah daerah yang terdampak banjir dan longsor di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat sebanyak 103 kecamatan dan 277 kelurahan. Total jumlah pengungsi di wilayah terdampak 39.627 keluarga atau 173.064 jiwa.
Agus menjelaskan, kawasan yang terdampak banjir masih tinggi karena lokasinya berada di cekungan, seperti danau dan masih ada aliran air sungai. Jadi, proses penyedotan air hanya mengandalkan pompa stasioner dan pompa mobile.
”Kalau sungai masih mengalir dan tambah hujan, ya, susah. Mungkin tanggul bisa ditutup dulu pakai karung berisi pasir untuk stop aliran air. Dan itu sudah dikerjakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,” ucap Agus.