Mengurai Penyebab Banjir Besar Jakarta
Banjir mengiringi pergantian tahun di Ibu Kota. Hingga 7 Januari 2020, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat, setidaknya 16 orang meninggal di wilayah DKI Jakarta akibat banjir.
Banjir juga melanda wilayah di sekitar Ibu Kota. Total, jumlah korban jiwa akibat banjir di Jabodetabek dan Lebak mencapai 67 orang. Selain korban jiwa, ratusan ribu warga terdampak banjir. Pada 4 Januari 2020, jumlah pengungsi korban banjir tercatat 173.064 orang yang tersebar di 177 lokasi pengungsian.
Berdasarkan hasil pantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), curah hujan pada pergantian tahun di Jakarta dan sekitarnya terukur ekstrem, dengan intensitas tertinggi 377 milimeter per hari. Curah hujan yang melebihi 150 milimeter per hari termasuk dalam hujan kategori ekstrem.
Hujan ekstrem di Jakarta dan sekitarnya dipicu adanya pertemuan massa udara dari belahan bumi utara dan belahan bumi selatan, atau disebut sebagai Inter-tropical Convergence Zone (ITCZ) yang terjadi di atas Pulau Jawa. Kedua massa udara membawa banyak uap hujan.
Selain tingginya curah hujan dari langit Ibu Kota, terdapat lima hal yang layak dicermati mengapa wilayah tersebut terkena banjir dengan skala besar, baik dari sisi luasan terdampak, korban meninggal, maupun kerugian finansial. Lima hal tersebut adalah tren perubahan lahan terbangun, produksi sampah makin tinggi, fungsi ekologi waduk dan situ menurun, penurunan muka tanah Jakarta, dan faktor global berupa perubahan iklim.
Makin banyak bangunan
Tak dapat dimungkiri, perubahan lahan menjadi area terbangun telah mencapai tingkat yang sangat tinggi. Berdasarkan dokumen Kinerja Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta tahun 2018, luasan kawasan terbangun berkembang dari 20,34 persen pada tahun 1978 menjadi 90,85 persen pada tahun 2015.
Hingga tahun 2017, total jumlah bangunan tinggi di Jakarta adalah 1.027 unit dan diperkirakan naik hingga mencapai 1.350 unit pada 2030. Keberadaan bangunan tinggi menjadi salah satu faktor pengubah kawasan sekitar menjadi permukiman atau pusat industri.
Ekspansi area terbangun tak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga merambat ke kabupaten dan kota sekitarnya. Hasil penelitian Yuliana Arifasihati dan Kaswanto (2016) menggambarkan signifikansi perubahan lahan di area Jabodetabek dalam satuan daerah aliran sungai tahun 1978 hingga 2012.
Setidaknya ada dua daerah aliran sungai (DAS) yang mencakup wilayah Bogor dan Depok sebagai bagian hulu, serta Jakarta dan Tangerang sebagai bagian hilir, yaitu Ciliwung dan Cisadane.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dua jenis penutup lahan yang mendominasi kedua DAS adalah area terbangun dan semak-semak. Adapun area hutan primer dan tubuh air berkurang. Perubahan di DAS Ciliwung dipengaruhi pembukaan lahan untuk permukiman, sementara DAS Cisadane diubah ke lahan kering bervegetasi semak-semak dan permukiman.
Tutupan lahan yang terus berubah dengan dominasi area terbangun berdampak negatif pada keseimbangan ekologi, khususnya kemampuan daya serap limpasan air hujan. Banyaknya area terbangun menyebabkan luasan area serapan air hujan turun sehingga dengan mudah menjadi aliran permukaan dan dialirkan sebagai banjir.
Sampah melimpah
Selain desain bangunan, kemampuan saluran drainase dan sungai untuk mengalirkan air tergantung dari seberapa besar hambatan yang ada. Hambatan terbesar di saluran drainase dan sungai Jabodetabek adalah timbulan sampah yang dihasilkan aktivitas domestik ataupun non-domestik. Timbulan sampah seluruh Jakarta terbagi atas 49,3 persen sampah domestik dan 50,7 persen sampah non-domestik. Perhitungan tersebut didasarkan pada jumlah penduduk yang mencapai sedikitnya 10,5 juta jiwa
Terkait kasus banjir di Jabodetabek, salah satu penyebabnya adalah sampah yang jumlahnya tak terkendali akibat perilaku masyarakat dan efektivitas pengolahan sampah. Berdasarkan data dari dokumen Kinerja Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta 2018, masyarakat menghasilkan sampah padat sebanyak hampir 15.000 ton per hari.
Proses pengolahan sampah di Jakarta dan sekitarnya masih belum maksimal dan menggunakan sistem konvensional, yaitu kumpul-angkut-buang. Cara itu tentu tak mampu mengimbangi produksi sampah yang besar. DKI Jakarta hanya mampu mengumpulkan separuh produksi sampah harian penduduk, yaitu sekitar 7.500 ton sampah per hari, untuk dibawa ke TPA Bantargebang.
Persoalan sampah tidak hanya berada di skala domestik atau sekitar rumah, tetapi juga menyebar hingga menjadi timbunan di sungai. Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta saja setidaknya harus mengangkat 300-400 ton sampah tiap hari dari tubuh air.
Kondisi tersebut menjadi masalah besar bagi DKI Jakarta karena menyebabkan banjir saat musim penghujan. Metode bank sampah juga belum menunjukkan hasil signifikan. Cakupan timbulan sampah yang mampu ditampung hanya 35 ton per hari atau 0,5 persen total sampah harian. Kondisi tersebut sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan. Dari 10,5 juta penduduk DKI Jakarta, hanya 26.500 jiwa yang ikut program bank sampah. Jumlah bank sampah di seluruh DKI Jakarta sebanyak 674 unit.
Muka tanah turun
Waduk dan situ dapat mengurangi waktu serta besarnya puncak genangan air saat kondisi kritis. Debit air dari wilayah hulu mampu dikurangi ketika masuk ke sistem sungai di Jabodetabek. Sayangnya, banyak situ ”menghilang”.
Data Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) menunjukkan, kini hanya ada 208 situ di seluruh wilayah Jabodetabek dari semula 1.500 situ. Pengurangan luasan waduk dan situ berdampak pada penurunan fungsi penampung air hujan dan pengendalian banjir.
Ancaman banjir saat ini dan masa mendatang makin diperparah dengan kondisi sebagian tanah Jakarta yang terus mengalami penurunan. Hasil penelitian Hasanuddin Z Abidin dkk dalam jurnal Land Subsidence of Jakarta (Indonesia) and Its Relation with Urban Development (2011) menunjukkan bahwa kecepatan penurunan tanah mencapai 1-15 cm per tahun, bahkan di beberapa lokasi bisa lebih dari 20-28 cm per tahun.
Pengambilan air tanah berlebih, peningkatan beban tanah karena pembangunan, dan kondisi geologi memiliki relasi dekat dengan aktivitas pembangunan wilayah yang intensif di Jakarta dan sekitarnya. Kondisi tersebut membentuk topografi cekungan di banyak lokasi dan berkurangnya ketinggian wilayah hilir.
Apabila terjadi hujan besar di hulu, aliran limpasan air akan mengarah langsung ke wilayah hilir yang bertopografi lebih rendah. Air lebih lama menggenang di wilayah-wilayah cekung karena penurunan muka tanah.
Krisis iklim
Gangguan keseimbangan ekologi menjadi penyebab pamungkas masalah banjir Jakarta. Menghangatnya suhu lautan, lapisan es di kutub Bumi mencair, peningkatan tinggi muka air laut, dan anomali cuaca menjadi faktor mendasar tingginya risiko bencana hidrologi.
Kajian data curah hujan harian BMKG selama 150 tahun (1866-2015) memperlihatkan kesesuaian tren antara semakin seringnya kejadian banjir signifikan di Jakarta dan peningkatan intensitas curah hujan ekstrem tahunan.
Data 43 tahun terakhir yang dimiliki BMKG turut menggambarkan curah hujan harian tertinggi per tahun di Jakarta dan sekitarnya yang terus mengalami kenaikan intensitas 10-20 milimeter per satu dekade. Curah hujan ekstrem sebesar 377 milimeter per hari di Jakarta merupakan intensitas tertinggi sejak pengukuran pertama kali pada tahun 1866.
Kejadian banjir pada awal tahun 2020 menjadi bahan bagi mitigasi Jakarta menghadapi curah hujan ekstrem. Banyak pekerjaan rumah yang harus segera dikerjakan di Jakarta oleh pemerintah dan warga Ibu Kota agar banjir tak semakin parah di masa mendatang. (Litbang Kompas)