Andil Mal pada Banjir Jakarta
Imbas kesalahan masa lalu menimbun ruang terbuka hijau untuk kepentingan komersial disadari kini dengan banjir yang terjadi awal tahun ini. Untuk memulihkan kesalahan itu, tidak mudah. Jakarta sudah tertutup beton.
Kesalahan masa lalu terkuak akibat banjir yang menerjang banyak wilayah di DKI Jakarta, awal tahun 2020. Ruang terbuka hijau ditimbun demi kepentingan komersial. Kini, ketika kesalahan disadari, tak mudah untuk memulihkannya. Ruang Jakarta sudah tertutup oleh beton.
Seusai banjir Jakarta awal tahun ini, publik ramai memperdebatkan penyebab banjir besar tersebut. Salah satu yang jadi sasaran adalah keberadaan sejumlah mal yang ternyata menimbun ruang terbuka hijau.
Di jagat maya, fakta bahwa beberapa mal ikut terdampak banjir lantas dianggap sebagai dosa yang ditanggung akibat kesalahan masa lalu, yaitu seenaknya menutup ruang terbuka hijau.
Selama sekitar dua pekan Mal Taman Anggrek di Jakarta Barat berhenti beroperasi karena ikut terendam banjir awal 2020. Nasib lebih naas diderita Mal Cipinang Indah di Jakarta Timur. Sejak terendam banjir, hingga kini mal belum bisa beroperasi kembali.
Baca juga : Dua Mal di Jakarta Masih Jalani Pemulihan Pascabanjir
”Mal Taman Anggrek dan Mal Cipinang Indah jadi dua mal yang paling terdampak banjir. Genangan di lantai basemen membuat saluran listrik mati sehingga butuh waktu pemulihan yang cukup lama,” kata Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia DPD DKI Jakarta Ellen Hidayat, Jumat (17/1/2020).
Di luar keduanya, mal lain, seperti Mal Kelapa Gading di Jakarta Utara dan Mal Ciputra di Jakarta Barat, ikut terimbas karena akses menuju mal tertutup banjir. Mal pun terisolasi dari pengunjung karena banjir.
Faktanya, sebagian besar mal di Ibu Kota memang melibas ruang terbuka hijau. Chairperson Department of Community and Regional Planning College of Agricultural, Life and Natural Science, Alabama A&M University Deden Rukmana menjelaskan, hal itu sudah berlangsung lama.
Baca juga : DKI Jalin Kerja Sama Perluas Ruang Terbuka Hijau
Dalam jurnal yang Deden tulis berjudul ”The Change and Transformation of Indonesian Spatial Planning after Suharto’s Ner Order Regime: The Case of Jakarta Metropolitan Area” (2015), sejumlah mal di Jakarta disebut melanggar batas kawasan yang semestinya adalah lahan hijau. Hal ini mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi DKI Jakarta 1985-2015.
Sejumlah kawasan seperti Tomang, Jakarta Barat, memiliki kawasan hutan kota seluas 172 hektar yang kini telah berubah menjadi mal. Deden juga mencontohkan kawasan Kelapa Gading seluas 3.182 hektar yang semestinya adalah wilayah tangkapan air berubah menjadi pusat bisnis, salah satunya melalui kehadiran mal.
Dalam lampiran jurnal tersebut, Deden bahkan mencatat sedikitnya 30 bangunan yang mengokupasi lahan hijau Ibu Kota. Dari jumlah itu, sepuluh di antaranya mal, sisanya apartemen dan rumah sakit.
Baca juga : Wisata Banjir
Namun, Ellen menolak jika mal disalahkan. Menurut dia, mal tidak mungkin berdiri jika tanpa dibekali izin. ”Saya, jujur, tidak bisa berkomentar lebih jauh. Namun, segala sesuatu yang sudah dibangun sekian lama tidak mungkin tanpa izin dan tanpa kajian,” katanya.
Apa pun itu, yang jelas, faktanya, ruang terbuka hijau terus tergerus, salah satunya dengan kehadiran mal. Imbasnya, areal resapan air berkurang sehingga banjir pada setiap musim hujan tak terelakkan.
Kondisi ini diperparah dengan berkurangnya area resapan air di hulu Sungai Ciliwung di Puncak, Kabupaten Bogor. Wilayah Ciliwung tengah dan Ciliwung hulu hanya mampu menerima resapan air sebesar 10-15 persen, selebihnya mengalir ke hilir, sementara wilayah DKI Jakarta berada di hilir Ciliwung.
Selain itu, berkurangnya areal resapan air berimbas pada ketersediaan air tanah. Akibatnya, setiap kali musim kemarau, tidak jarang masyarakat Jakarta kesulitan air.
Baca juga : 200 Pohon Ditebang pada 2019
Adapun untuk menambah ruang terbuka hijau, bukan perkara mudah. Pasalnya, ruang-ruang yang ada sudah tertutup bangunan.
Setiap tahun, penambahan ruang terbuka hijau tidak pernah mencapai angka yang signifikan. Gubernur DKI Jakarta periode 2007-2012, Fauzi Bowo, menyebutkan, ketersediaan ruang hijau pada 2008 hanya 9,6 persen dari total luas DKI Jakarta. Sementara pada 2019, ruang terbuka hijau di Jakarta baru mencapai 14,9 persen (Kompas, 25/9/2019). Itu artinya, setiap tahun, penambahan ruang terbuka hijau hanya sekitar 0,5 persen.
Jumlah ruang hijau pada 2019 itu masih jauh dari target 30 persen tahun 2030 sebagaimana tercantum di Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030.
Kepala UPT Pengadaan Tanah Dinas Kehutanan DKI Jakarta Dirja Kusuma mengatakan, apabila mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2018-2022, Jakarta harus menambah 7,5 hektar hutan kota per tahun.
Baca juga : Target RTH 30 Persen Sulit Terwujud di Jakarta
Seperti ditulis oleh Josaphat Tetuko Sri Sumantyo dalam artikel opini Kompas (14/1/2020), Badan Informasi Geospasial menangkap citra 80 persen wilayah Jakarta kini ditutup dengan lantai beton, aspal, dan tanah rawa. Dengan kondisi itu, dibutuhkan keseriusan Pemprov DKI Jakarta untuk mencari lahan guna ruang terbuka hijau.
Baca juga : Banjir dan Dam Bawah Tanah
Deden menilai, Pemprov DKI Jakarta ke depan perlu lebih tegas dalam mencegah alih fungsi ruang terbuka hijau (RTH).
”Ini, kan, warisan dari pemerintahan lama yang sampai saat ini masih diteruskan. Peruntukan lahan yang digunakan di kawasan mal tersebut juga masih berstatus sebagai RTH, jadi semestinya masih bisa (dibuat RTH),” ucapnya.
Deden menilai, menjaga ruang terbuka hijau sekaligus terus memperluasnya dapat mengurangi dampak kerugian kota akibat banjir. Sebab, ruang hijau berpotensi menjadi lahan resapan air saat musim hujan.
Baca juga : Sektor Usaha dan Wisata Merugi hingga Rp 1,045 Triliun
Banjir dari tahun ke tahun kerap membuat Jakarta rugi. Zaenudin HM dalam buku Banjir Jakarta (2013) mencatat kerugian total banjir pada 2007 adalah yang terparah, yakni mencapai Rp 4,3 triliun. Sementara Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) mencatat kerugian akibat banjir tahun ini mencapai Rp 1,045 triliun.
Tentunya, kita tidak ingin merugi lebih banyak lagi akibat banjir, bukan?