Kepekaan Keluarga dan Semua Pihak Kunci Pencegahan Bunuh Diri
Kasus SN yang meninggal setelah melompat dari lantai empat sekolahnya jadi pemelajaran bagi semua pihak, baik sekolah, keluarga, maupun masyarakat. Kepekaan semua pihak menjadi kunci untuk mencegah kasus seperti ini.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Kasus SN (14), siswi SMPN 147 Jakarta Timur, yang meninggal setelah melompat dari lantai empat sekolahnya pada Selasa (14/1/2020) petang, saat jam sekolah usai, semenjak akhir pekan lalu menjadi perbincangan yang ramai di dunia maya. Reaksi warganet bermacam-macam. Sebagian tidak percaya sekolah bisa menjadi tempat bunuh diri, tetapi sebagian juga menilai sekolah abai dalam mengawasi anak-anak.
Ada juga yang menduga SN bunuh diri karena menjadi korban perundungan di sekolah, tetapi pihak sekolah membantah. Sebaliknya, ada yang menduga SN mengalami masalah keluarga, tetapi pihak keluarga juga membantah.
Terlepas dari dugaan dan asumsi tersebut, faktanya ada siswi kelas akhir di sekolah menengah pertama melompat dari lantai empat sekolah, kemudian meninggal dua hari kemudian. Benar tidaknya dugaan-dugaan tersebut masih diselidiki pihak kepolisian.
Soal bunuh siswa di sekolah sebenarnya beberapa waktu lalu sudah ada penelitian dari Nova Riyanti Yusuf, dosen Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kesehatan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. Penelitian dilakukan terhadap 910 siswa SMAN/SMKN di DKI Jakarta dengan menggunakan empat instrumen deteksi dini faktor risiko untuk bunuh diri.
Keempat instrumen tersebut adalah perasaan tidak berdaya, merasa sendiri dan kesepian, merasa menjadi beban, dan perasaan ingin menjadi bagian dari sesuatu. ”Nah dari situ yang dideteksi punya potensi bunuh diri ada 13,9 persen,” ujar Nova, Senin (21/1/2020.
Dari penelitian itu, menurut Nova, tanpa harus mendapati anak-anak depresi atau gangguan jiwa, sudah bisa terlihat betapa kuatnya keinginan bunuh diri dari para siswa di DKI Jakarta.
”Justru depresi kalah kuat dibandingkan dengan empat dimensi tersebut,” ujar Nova, yang mengangkat penelitian tersebut dalam disertasi yang berjudul ”Deteksi Dini Faktor Risiko Ide Bunuh Diri Remaja di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas/Sederajat di DKI Jakarta” pada akhir November 2019.
Melalui disertasi tersebut, Nova menyatakan, komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kesehatan jiwa, terutama bunuh diri, penting diberikan kepada remaja. Dengan demikian, sekolah bisa menjadi pintu masuk yang efektif pencegahan bunuh diri oleh remaja.
Komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kesehatan jiwa, terutama bunuh diri, penting diberikan kepada remaja.
Tidak hanya dari penelitian, Nova mengungkapkan, dari praktik di lapangan dirinya juga sering menangani pasien anak-anak yang umumnya mengakui bahwa mereka tidak tahan dan tidak cocok dengan situasi dan lingkungan di sekolah. Ada yang akhirnya memilih homeschooling atau sekolah seni. Ada juga yang mengaku tidak suka dengan cara komunikasi guru bimbingan konseling.
”Kebanyakan pasien saya anak SD dan SMP di Jakarta punya ide bunuh diri. Ini bukan penelitian, tapi pasien saya. Rata-rata mereka memutuskan keluar sekolah,” ujar Nova, yang juga Sekretaris Jenderal Asian Federation of Psychiatric Associations, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa DKI Jakarta.
Menghadapi kondisi seperti itu, keluargalah yang menjadi benteng pertama. Orangtua harus sensitif. Ketika melihat anak mengalami perubahan sikap, orangtua harus segera membawa ke psikiater untuk konseling.
Sekolah harus berbenah
Sementara dunia pendidikan atau sekolah harus berbenah. Dari penelitian yang dilakukan, Nova yakin pintu masuk yang efektif pencegahan bunuh diri adalah di sekolah. Komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kesehatan jiwa, terutama bunuh diri, penting diberikan kepada remaja.
”Tapi sekolah justru menjadi tekanan, bahkan ada pasien saya menyakiti dirinya justru di sekolah karena merasa stres di sekolah, dia mengiris nadi, tapi dalam menyakiti diri di sekolah,” papar Nova, yang menyampaikan pesan untuk Mendikbud Nadiem Makarim, jika mau mengubah sistem pendidikan di Indonesia, gunakanlah kaidah kesehatan jiwa. Ini harus menjadi pertimbangan untuk perbaikan sekolah, dan dimulai dari guru BK.
Tapi, sekolah justru menjadi tekanan, bahkan ada pasien saya menyakiti dirinya justru di sekolah, karena merasa stres di sekolah, dia mengiris nadi, tapi dalam menyakiti diri di sekolah.
Pemerintah sebenarnya memiliki sejumlah program yang terkait perlindungan anak, seperti seperti Sekolah Ramah Anak yang dikembangkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), selain tidak boleh ada kekerasan, juga memberikan kemudahan bagi siswa untuk melakukan konsultasi.
”Apakah kemudahan itu ada? Anak-anak pasien saya mengakui dengan guru BK belum ada seperti itu,” kata Nova.
Ada juga program konselor sebaya. Namun, ini juga dipertanyakan karena anak-anak yang menjadi tempat curahan hari temannya juga memiliki beban sehingga malah bertambah beban.
Dari temuan dengan pasien anak-anak, Nova pernah membuat diskusi kelompok terbatas yang mengundang asosiasi guru bimbingan konseling (BK) di Jakarta. Ternyata, sejumlah guru BK mengakui bahwa kurikulum soal guru BK perlu direvisi karena kemampuan mereka lebih untuk bimbingan karier daripada untuk konseling untuk muridnya.
Dalam acara unjuk bincang di Kompas TV, 19 Januari 2010 lalu, pakar pendidikan Indra Charismiadji juga menyampaikan, anak-anak tidak dilatih untuk memecahkan masalah. Salah satu alasan ujian nasional diganti, sebab UN dinilai tidak memecahkan masalah karena semua ada kunci jawaban.
”Anak-anak kita harus dilatih bagaimana memecahkan masalah karena problem itu tidak ada kunci jawaban,” kaya Indra.
Semua pihak harus terlibat
Gisella Tani Pratiwi, psikolog dari Yayasan Pulih, berpendapat, permasalahan kesehatan mental remaja di Indonesia masih merupakan hal yang belum teridentifikasi dan tertangani dengan optimal. Perlu keterlibatan banyak pihak.
”Dari pengalaman penanganan kasus, memang realitas adanya remaja-remaja yang mengalami gejala depresi dan gangguan lain terkait munculnya keinginan bunuh diri sampai percobaan bunuh diri,” ujarnya.
Jika melihat kondisi tersebut, kepekaan keluarga, guru, dan pihak sekolah serta masyarakat terhadap anak dan remaja menjadi penting. Kuncinya, jadilah pendengar yang baik dan temani mereka sehingga bisa membantu mengidentifikasi masalah dan akses bantuan. Orang-orang dekat anak tersebut bisa mendampingi dan memberikan bimbingan spesifik dengan cara membangun daya tahan psikologisnya untuk bisa bertahan dan menjadi individu yang optimal.
Kepekaan keluarga, guru, dan pihak sekolah serta masyarakat terhadap anak dan remaja menjadi penting.
”Jika ditemukan anak dan remaja yang memiliki masalah perilaku, emosi, dan lainnya ketika di sekolah, perlu dianalisis apa intervensi segera yang diperlukan anak/remaja sehingga masalah kesehatan mental yang berlarut dapat dicegah,” papar Gisella.
Karena itulah, Menteri Pemberdayaan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga berharap kasus SN hendaknya menjadi peringatan untuk semua pihak, baik orangtua, guru, dan maupun lingkungan, untuk lebih memperhatikan situasi dan perkembangan anak-anak. Jangan sampai terulang lagi kasus SN...!