Melirik trotoar Jakarta yang sudah lebar di banyak tempat dan legalnya pedagang kaki lima (PKL) di trotoar negara tetangga, memfasilitasi PKL mungkin bukan masalah jika ada aturan main.
Oleh
Agnes Rita Sulistyawaty
·3 menit baca
Dalam sebuah rapat, seorang kawan meluapkan keluh kesahnya. Ia menyebutkan penjaja panganan yang mulai parkir di trotoar samping kantor. Trotoar ini umurnya belum genap dua bulan setelah kelar dilebarkan menjadi sekitar 4 meter. Padahal, proses renovasi trotoar sepanjang sekitar 200 meter itu memakan waktu berbulan-bulan.
Trotoar yang lapang adalah dambaan pejalan kaki dan pemakai angkutan umum. Setelah turun dari angkutan keren semacam KRL Commuterline, bus Transjakarta, moda raya terpadu (MRT), atau kereta ringan (LRT), disambut trotoar bagus itu rasanya sesuatu banget. Banyaknya orang kantoran berjalan kaki di sepanjang Jalan Sudirman itu buah trotoar yang nyaman untuk dilalui.
Sebaliknya, jika trotoar sempit, berlubang, atau bau, rasanya terlempar dari kereta atau bus yang nyaman ke dunia nyata yang kejam. Betapa tidak kejam. Pejalan kaki mesti berjuang mati-matian melewati trotoar ala kadarnya itu untuk sampai ke tempat tujuan atau mencapai stasiun/halte selanjutnya.
Itu pun kadang kala mesti diikuti dengan sedikit akrobat manakala lewat di trotoar yang sedang digali atau dijadikan tempat tumpukan karung berisi endapan hasil kurasan saluran air. Kalau jalan tergenang atau banjir, kesialan bakal berlipat karena sudah pastilah pejalan kaki ikut-ikutan nyebur di air yang kotor. Sekalipun jalan enggak tergenang, risiko lain masih ada, yakni kecipratan air saat kendaraan melintasi genangan.
Apabila hujan tidak turun, trotoar yang ada pun kerap tidak berpihak ke pejalan kaki. Salah satunya karena tidak tersisa lagi tempat buat pejalan kaki selaku pihak yang sesungguhnya berwenang penuh menikmatinya. Trotoar yang dipenuhi kendaraan parkir atau barang jualan pedagang kaki lima memaksa pejalan kaki turun ke jalan.
Sebagai contoh di kawasan Kota Tua saat libur akhir pekan yang bertepatan dengan Imlek, Sabtu (25/1/2020). Pejalan kaki yang ramai mesti berdesakan di jalur sempit lantaran pedagang kaki lima (PKL) mengepung sisi kanan-kiri trotoar. Padahal, trotoar itu juga sudah dilebarkan menjadi lebih dari 3 meter.
Ada PKL yang menggelar barang dagangan di lantai trotoar, ada penjual makanan yang menaruh beberapa kursi plastik kecil di depan dagangannya, yang lain lagi memajang dagangan di tiang-tiang yang mudah dipindahkan. Petugas satpol PP yang menghalau PKL di tepian jalan raya mendorong pedagang berimpit-impitan di trotoar atau berpindah tempat.
Beberapa pejalan kaki yang enggak tahan lagi dengan kemacetan di trotoar ini memilih jalan di tepi jalan raya yang tengah macet. Ruwet sungguh. Padahal, Kota Tua ini salah satu ikon wisata unggulan Ibu Kota.
Apakah pedagang tidak dibutuhkan pejalan kaki?
Pemandangan di Kota Tua menunjukkan bahwa PKL punya relasi dua arah dengan pejalan kaki. Buktinya, pejalan kaki juga yang mampir beli mainan, sepatu, kaus kaki, ikat rambut, dan pernak-pernik lain. Pedestrian jugalah yang duduk-duduk menikmati kudapan yang dijual PKL. Di tengah pemandangan jalan raya yang macet oleh kendaraan, PKL adalah hiburan tersendiri bagi pejalan kaki sembari melangkahkan kaki ke tujuan.
Dua sisi mata uang PKL dan pejalan kaki ini difasilitasi di kota besar mancanegara, tetapi dengan aturan main yang ketat. Bangkok, misalnya, menjadikan makanan ala PKL sebagai bagian dari daya tarik wisata. Namun, ada aturan main seperti lokasi yang diperbolehkan, jenis barang dagangan, jam operasional, dan standar kebersihan. Yang lebih utama, tersedia ruang yang memadai bagi pejalan kaki di trotoar sehingga berjalan kaki tetap nyaman.
Pemandangan di Kota Tua menunjukkan bahwa PKL punya relasi dua arah dengan pejalan kaki.
Melirik trotoar Jakarta yang sudah lebar di banyak tempat dan legalnya PKL di trotoar negara tetangga, memfasilitasi PKL mungkin bukan masalah jika ada aturan main. Namun, aturan saja tidak cukup tanpa pengawasan dan penegakan hukum. Apabila aturan tidak bisa ditegakkan, barangkali kita memang harus mengembalikan trotoar sebagai tempat yang steril 100 persen dari kepentingan di luar pejalan kaki. Kekhawatiran akan penegakan aturan inilah yang membuat teman kantor mengeluhkan adanya satu pedagang di trotoar, di awal tulisan ini.