Kala Silat Betawi Masuk Warisan Budaya Tak Benda UNESCO
Seni beladiri asli Indonesia, silat, sudah diakui Unesco sebagai warisan budaya tak benda sejak akhir 2019 lalu. Silat Indonesia ini termasuk silat Betawi. Namun, agar terus lestari, silat perlu dikelola lebih baik.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
Pencak silat telah ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya tak benda (WBTb) dunia dari Indonesia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) di Kolombia, 9-14 Desember 2019. Pencak silat dianggap memiliki akar tradisi yang kuat terutama dalam dua aspek yaitu bela diri dan mental-spiritual.
Yusron Syarief, salah satu dari anggota tim yang membuat naskah akademis dan mengusulkan pencak silat sebagai warisan budaya tak benda UNESCO, mengatakan, pencak silat menjadi warisan dunia kesepuluh yang ditetapkan UNESCO dalam sidang Komite Warisan Budaya Tak Benda UNESCO di Bogota, Kolombia, 12 Desember 2019. Sebelumnya, UNESCO juga sudah menetapkan wayang, keris, batik, angklung, tari saman, noken, tiga genre tari tradisi Bali, kapal phinisi, dan pelatihan batik menjadi WBTb.
”Pencak silat dianggap memiliki semua elemen yang membentuk warisan budaya tak benda. Pencak silat tak hanya seni bela diri, tetapi juga terdiri atas tradisi lisan, seni pertunjukan, ritual dan festival, kerajinan tradisional, pengetahuan, dan praktik sosial serta kearifan lokal,” ujar Yusron.
Yusron yang menjabat sebagai Ketua Bidang Komunikasi Lembaga Kebudayaan Betawi itu menceritakan, syarat yang harus dipenuhi untuk memasukkan usulan WBTb di antaranya adalah harus ada pengampu, pelaku masyarakat, agenda kegiatan, dan harus ada literatur ataupun dokumentasi audio visualnya.
Indonesia memiliki kelemahan di literatur terkait pencak silat. Indonesia sempat kecolongan dengan negara tetangga Malaysia juga dari sisi kelengkapan dan dokumen literatur sejarah pencak silat. Malaysia memiliki catatan yang lengkap dan dapat membuktikan bahwa pencak silat berasal dari semenanjung Malaka kemudian berkembang ke Indonesia melalui Pulau Sumatera. Akhirnya, Malaysia dapat meyakinkan dunia juga bahwa pencak silat dari negara mereka juga layak masuk menjadi WBTb.
Namun, di Malaysia, pencak silat hanya menjadi kegiatan pertandingan. Sementara di Indonesia, pencak silat tidak hanya bela diri, tetapi ada unsur filosofi sekaligus kegiatan keseniannya. Di Indonesia, misalnya, pencak silat diiringi dengan musik, seperti pencak silat di Jawa Barat.
”Inilah yang menjadi kekhasan Indonesia, pencak silat tidak hanya jadi pertandingan. Namun, kuat di tradisi, dan hidup tidak hanya jadi alat bela diri tetapi juga kesenian dan kebudayaan,” kata Yusron.
Di Indonesia, sejumlah daerah mengenal pencak silat dengan nama dan sebutan masing-masing. Di wilayah Sumatera Barat, misalnya, dikenal dengan nama silek, sedangkan di Jabar bernama pencak. Kemudian, di Betawi sendiri orang mengenal dengan istilah main pukul. Di Riau dikenal dengan Silek Tigo Bulan dari Riau, serta di Banten sebagai silat Bandrong.
Dalam buku Maen Pukulan Khas Betawi karya GJ Nawi, misalnya, dituliskan ada 317 aliran main pukul (pencak silat) Betawi. Silat tersebut tersebar mulai dari Betawi Pesisir (Foreland), Betawi Tengah (Midland), Betawi Pinggir dan Udik (Hinterland). Beberapa jenis silat itu sudah terdaftar sebagai warisan budaya tak benda dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada 2019, bahkan Silat Mustika Kwitang, Silat Pusaka Djakarta, Silat Troktok, dan Silat Sabeni Tanah Abang masuk sebagai WBTb Kemendikbud.
”Dengan penetapan WBTb dari UNESCO ini, perlu ada berbagai strategi dan basis agar pencak silat menjadi lebih maju dan dikenal. Saya contohkan, karate di Jepang, atau Jujitsu di Brasil. Itu dikelola dengan manajemen dan bisnis yang modern,” kata Yusron.
Ketua Perkumpulan Betawi Kita Roni Adi mengatakan, memang ada kecenderungan saat ini pencak silat Betawi terpinggirkan dan dianggap kesenian kampung. Padahal, banyak hal positif yang terdapat dalam pencak silat, di antaranya menghargai sesama dan yang lebih tua. Di sekolah-sekolah, misalnya, seni bela diri karate dan taekwondo yang diimpor dari negara asing justru lebih terkenal dibandingkan dengan kebudayaan lokal yang dimiliki Betawi.
Peneliti yang mengambil disertasi dengan subyek silat Betawi, Gres Grasia Azmin, menuturkan, alasan mengapa dalam perkembangannya orang malu belajar silat Betawi. Kemungkinan hal itu berkaitan dengan larangan yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda bagi warga lokal untuk belajar silat. Kala itu, Belanda takut orang berilmu, berkumpul, sehingga memiliki kekuatan untuk melawan pemerintah kolonial. Akhirnya, orang berlatih dengan sembunyi-sembunyi dan lama-kelamaan silat Betawi terpinggirkan.
Sementara Yusron berpendapat, silat Betawi sebenarnya masih berkembang dan diminati oleh warga, buktinya sanggar-sanggar silat Betawi masih eksis sampai sekarang. Namun, sayangnya silat Betawi tidak dikelola dengan modern. Bahkan, ada kecenderungan satu kelompok merasa eksklusif dibandingkan dengan yang lainnya. Padahal, jika dikelola secara modern, silat Betawi dapat bernilai dan hidup secara berkelanjutan.
”Manajemen silat Betawi selama ini hanya bertumpu pada ketokohan. Setelah tokoh meninggal, akhirnya silat hilang. Seharusnya, silat Betawi dikelola dengan manajemen modern untuk menghidupkan perguruan,” kata Yusron.
Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana mengatakan, pada tahun anggaran 2020, sudah diusulkan kegiatan supaya martial arts atau seni pencak silat Betawi ini lebih dikenal masyarakat. Anggaran tidak hanya di dinas, tetapi juga di suku dinas atau sudin di setiap wilayah administrasi. Ke depan, di pusat budaya Betawi Setu Babakan juga akan dibuat semacam sekolah atau perguruan silat yang diharapkan dapat menjadi rujukan bagi orang-orang yang akan belajar mengenai seluk-beluk silat Betawi.
”Tahun 2020 akan ada kegiatan, seperti festival Pencak Silat, talkshow, seminar dan lain-lain yang bertujuan agar masyarakat mengenal, bangga, dan merasa memiliki pencak silat Betawi sebagai kekayaan budaya mereka,” kata Iwan.