Soal Pemicu Bencana, Pemkab Lebak Menanti Hasil Pemetaan BNPB
Tambang emas ilegal di kawasan DAS Ciberang masih belum dipastikan sebagai penyebab utama bencana banjir dan longsor. Meskipun demikian, warga setempat meyakini aktivitas tambang turut memicu bencana.
Oleh
J GALUH BIMANTARA
·5 menit baca
LEBAK, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Lebak masih menanti hasil pemetaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana serta hasil pemeriksaan polisi soal rincian faktor pemicu banjir bandang dan longsor di enam kecamatan, awal tahun ini. Jika pemicu sudah diketahui secara akurat, pihak-pihak mana yang bertanggung jawab terhadap bencana bisa ditelusuri.
”Yang jelas, pertama, hujan di atas ambang. Kedua, vegetasi kurang sehingga terjadi longsor,” kata Sekretaris Daerah Kabupaten Lebak Dede Jaelani, Selasa (28/1/2020), di Kantor Bupati Lebak, Kecamatan Rangkasbitung. Namun, ia belum bisa memastikan apa dan siapa yang membuat vegetasi di hulu sungai tidak memadai untuk menahan longsor terjadi.
Berdasarkan pantauan udara BNPB, terjadi alih fungsi lahan di kawasan hutan dan lereng bukit menjadi area penanaman tanaman musiman sehingga kawasan itu kehilangan kekuatan dan pengendali alami longsor. Tim BNPB juga mendapati padatnya permukiman penduduk di sepanjang bantaran sungai dan lembah yang mengakibatkan kerentanan wilayah terhadap bencana semakin tinggi.
Selain itu, lokasi tambang emas ilegal juga ditemukan di hulu Sungai Ciberang, yakni di Gunung Julang, Kecamatan Lebakgedong. Kecamatan ini adalah satu dari enam kecamatan yang terdampak banjir bandang dan longsor bersama Kecamatan Sajira, Cipanas, Curugbitung, Maja, dan Cimarga. Atas temuan ini, Kepolisian Daerah Banten menyegel dan memasang garis polisi di area tambang ilegal. ”Apakah benar karena tambang, mereka sedang menyelidiki,” ujar Dede.
Warga Kampung Cikomara, Desa Banjar Irigasi, Lebakgedong, Halimudin, berpendapat, penambangan emas di perbukitan di hulu sungai mungkin memang memicu longsor dan banjir bandang. Namun, setahu dia, penambangan di sana resmi dan baru berjalan sekitar 10 tahun terakhir. ”Saya pribadi yakin ada (pengaruhnya pada kerentanan bencana),” katanya.
Penambangan rakyat ada di sekitar Kampung Cigobang, Desa Banjarsari, dan di sekitar Kampung Gunung Julang, Desa Lebaksitu. Sungai Ciberang berhulu di area tersebut.
Halim menceritakan, banjir diawali dengan hujan deras tanpa henti pada 1 Januari pukul 02.00-07.00. Setelah itu, sejumlah pintu air Sungai Ciberang jebol dan menyapu permukiman di bantaran sungai.
Rumah Halim aman, tetapi lima rumah milik saudara-saudara dan bibi istrinya tak bersisa karena lebih dekat dengan sungai. Selain itu, enam bangunan Pondok Pesantren Hidayat Muhajirin yang semuanya digunakan santri putri juga dihantam banjir bandang. Halim bekerja mengelola pondok pesantren ini. Untuk sementara waktu, saudara dari pihak istrinya mengungsi ke tempat saudara lain, sedangkan santri putri yang tidak kembali ke rumah keluarga mereka sementara waktu tinggal di majelis pondok pesantren.
Jembatan untuk menyeberangi Ciberang yang berlokasi sekitar 200 meter dari rumah Halim juga putus. Jembatan darurat pun dibuat di sana dengan bahan utama kayu sehingga sepeda motor dan mobil kecil bisa melintas.
Menurut Halim, daerah tempat tinggalnya tergolong aman dari bencana. Jika Sungai Ciberang meluap, air surut kurang dari satu jam. Selain itu, bukit-bukit di Lebakgedong tidak terlalu gundul, tetapi kemudian baru terlihat seperti mengelupas setelah bencana awal tahun ini. Banjir bandang dengan skala kedahsyatan seperti pada 1 Januari lalu belum pernah dialami.
Banjir bandang pada aliran Ciberang juga meluluhlantakkan Kampung Seupang di Desa Pajagan, Kecamatan Sajira. Senada dengan Halim, salah satu penyintas banjir Seupang, Hidayat (46), juga menyatakan bahwa bencana tersebut sebagai yang terdahsyat yang pernah dialami. Ayah mertuanya yang berusia sekitar 80 tahun pun mengutarakan hal serupa.
Hidayat bersama penyintas lain membuat tenda darurat di lahan sekitar 200 meter dari permukiman yang terimbas banjir bandang. Ia mendirikan tenda berukuran 7 meter x 5 meter dengan rangka bambu serta berdinding dan beratap terpal. Bambu didapatkan dari lingkungan sekitar, sedangkan terpal dari donatur. Di sana, ia tinggal bersama istri dan tiga anaknya.
Warga kaget karena tidak ada peringatan bencana dari pemerintah atau perangkat wilayah. Kemungkinan karena informasi banjir di Seupang belum tersebar, sukarelawan baru mulai berdatangan pada hari kelima bencana. ”Namun, saya bersyukur karena bantuan hingga sekarang lebih dari cukup,” ucap Hidayat.
Ia belum bisa fokus memulai kerja mengingat gotong royong untuk pembuatan infrastruktur dasar bagi warga kampung belum usai, antara lain membangun sarana mandi cuci kakus (MCK) dan sekolah darurat. Biasanya, ia bekerja serabutan, mulai dari menjadi kuli memotong bambu hingga pekerja bangunan. Pendapatan untuk keluarga Rp 25.000-Rp 100.000. Namun, kehidupan mereka saat ini tertolong dengan bantuan yang terus mengalir.
Rumah-rumah di Seupang rata-rata rusak berat hingga hilang tak bersisa terbawa arus banjir bandang Ciberang. Warga Seupang yang juga sukarelawan lokal, Wahibudin (51), menyebutkan, banjir berdampak pada 40 rumah di sana yang dihuni 290 jiwa dari 70 keluarga.
Saat ini, warga dibantu sukarelawan dengan dana dari donatur membangun hunian sementara (huntara) berukuran 4 meter x 4 meter per unit. Rangka dan atap menggunakan baja ringan, sedangkan dinding menggunakan papan glass reinforced concrete (GRC). ”Sebab, masyarakat tidak akan bisa kembali lagi ke tempat semula karena risikonya sangat tinggi, sedangkan tenda dalam beberapa bulan ke depan akan rusak,” kata Wahibudin.
Sebanyak 8 huntara sudah terbangun, 4 unit sedang dalam pembangunan, dan 8 unit tambahan sudah pasti akan dibangun lagi karena dana sudah masuk. Adapun pembangunan 20 huntara lain menunggu ada donasi lagi.
Wahibudin berpendapat, banjir bandang dipicu tutupan hutan yang berkurang di hulu sungai. Namun, selain itu, warga juga curiga proyek Bendungan Karian menambah tingkat keparahan banjir karena pembangunan baru menyelesaikan bagian dam, sedangkan saluran untuk mengalirkan air dari bendungan belum ada.
Bendungan Karian menurut rencana mampu menampung 314 juta meter kubik air dari Sungai Ciujung dan Ciberang. Air lantas bisa dimanfaatkan masyarakat di tujuh kabupaten/kota di Banten dan DKI Jakarta. Salah satu fungsinya untuk pengairan sawah.
Kampung Seupang sebenarnya masuk area proyek. Warga pun siap pindah asal sudah menerima pembayaran pembebasan lahan. Sayangnya, uang belum diterima dan bencana telanjur datang. Karena itu, lanjut Wahibudin, huntara akan menjadi hunian transisi menunggu pembayaran direalisasikan. Belum ada informasi jelas kapan uang diterima warga.
Data BNPB per 29 Januari, jumlah penduduk Lebak yang terdampak bencana 17.860 jiwa. Sebanyak 9 orang meninggal, 9 orang luka berat/rawat inap, dan 13.780 luka ringan/rawat jalan. Adapun pengungsi saat ini tercatat 699 orang.
Sebanyak 1.410 rumah rusak berat, 521 rumah rusak ringan, dan 1.110 rumah terendam. Selain itu, 3 sekolah tersapu banjir, 19 sekolah rusak, serta 2 jembatan permanen dan 26 jembatan gantung putus.