Longsor Musnahkan Masa Depan Warga Kabupaten Bogor
Longsor tak hanya memaksa ribuan warga mengungsi, tetapi juga kehilangan kesediaan pangan, lahan pertanian, dan melumpuhkan aktivitas ekonomi. Masa depan pendidikan anak-anak korban juga dipertaruhkan.
Oleh
STEFANUS ATO/AGUIDO ADRI/J GALUH BIMANTARA
·5 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Rusaknya lingkungan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, berdampak luar biasa bagi kehidupan warga setempat. Longsor tak hanya memaksa ribuan warga mengungsi, tetapi juga kehilangan kesediaan pangan, lahan pertanian, dan melumpuhkan aktivitas ekonomi. Begitu pula dari segi pendidikan, belum semua anak-anak kembali bersekolah.
Bencana pada 1 Januari 2020, ditetapkan dengan status siaga darurat bencana selama satu bulan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor. Status siaga darurat bencana itu akan berakhir pada Jumat (31/1/2020). Siaga darurat bencana berakhir, tetapi nasib korban pengungsian diselimuti ketidakpastian. Rumah warga hilang dan rusak diterjang longsor. Bekal pangan mereka, seperti padi, jagung, dan umbi-umbian rusak tertimbun longsor dan banjir.
”Padi saya 20 karung yang baru dipanen dua bulan lalu belum sempat kami nikmati. Mungkin sudah busuk. Saya tidak lagi kembali ke sana,” kata Sunarno (37), warga Kampung Nyomplong, Desa Kiarapandak, Sukajaya, Bogor, Selasa (28/1/2020).
Bencana yang terjadi di kawasan itu tak hanya merusak permukiman Kampung Nyomplong. Perumahan di dua kampung lain, yakni Kampung Pasir Waru dan Pasir Walang I, juga rusak. Jika ditotal, rumah warga di tiga kampung itu yang rusak diperkirakan lebih dari 200 rumah.
Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten Bogor menetapkan kawasan itu sebagai zona merah atau zona terlarang untuk kembali dihuni. Dari pengamatan, perumahan warga di tiga kampung itu berada di kaki gunung. Sementara di bagian puncak gunung gundul.
Menurut Sunarno, pegunungan yang gundul itu merupakan lahan hak guna usaha (HGU) yang pada zaman Orde Baru merupakan perkebunan cengkeh. Perusahaan itu kemudian berhenti beroperasi menjelang lengsernya kekuasaan Orde Baru. Hingga kini tidak pernah ada upaya menghijaukan kembali lahan yang kritis itu.
”Bencana hari ini, dosa masa lalu yang harus dirasakan kami, anak cucu. Sebagian besar lahan di sini lahan HGU yang ditinggalkan begitu saja tanpa ada perbaikan,” katanya.
Larangan untuk kembali bermukim juga ditetapkan BPBD terhadap permukiman warga di Kampung Sinar Harapan, Desa Harkatjaya, Kecamatan Sukajaya. Longsor di kampung itu menelan 7 korban jiwa. Warga kini bermukim di tenda pengungsian dalam kondisi darurat. Rumah, sawah, dan ladang mereka rusak. Warga yang selama ini bekerja sebagai buruh di perkotaan, seperti Bogor dan Jakarta, sudah satu bulan tak bekerja.
Sulitnya akses kesehatan
Di Kampung Ciberani, Desa Pasir Madang, Kecamatan Sukajaya, dampak dari bencana itu mengakibatkan sebagian anak-anak jatuh sakit. Namun, akses ke puskesmas kecamatan tak mudah dilalui.
Mulyadi (30), warga Kampung Ciberani, saat ditemui, Selasa (28/1/2020), baru kembali setelah mengantar anaknya yang menderita demam. Perjalanan ke puskesmas harus dilalui dengan berjalan kaki sekitar dua jam ke lokasi yang bisa dilintasi kendaraan di Kampung Pasir Walang I, Desa Kiarapandak.
”Sudah dua hari anak saya demam. Sempat berobat ke posko kesehatan, tetapi karena tidak juga sembuh, dibantu sukarelawan kami periksa ke puskesmas kecamatan,” katanya. Kampung Ciberani memang sudah bisa dilalui sepeda motor, tetapi masih menyulitkan lantaran harus naik turun gunung dengan kontur kemiringan tanah yang cukup terjal. Jalanan akan semakin licin saat hujan mengguyur.
Neni (48), warga Kampung Ciberani, bahkan pasrah lantaran satu-satunya usaha warung yang digelutinya tutup sejak terjadi bencana. Padahal, dia sangat membutuhkan uang untuk keperluan cuci darah suaminya yang menderita leukimia. ”Suami saya harus cuci darah setiap tiga minggu,” katanya.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang dirilis pada Rabu (29/1/2020), akibat bencana itu, ribuan warga menderita berbagai jenis penyakit. Penyakit yang paling banyak diderita warga adalah penyakit dermatitis atau peradangan kulit 1.363 orang, nyeri otot 1.222 orang, dan peradangan lapisan dalam perut (1.153 orang).
Rindu sekolah
Ketua Karang Taruna Kecamatan Sukajaya, Ajiz Sualeman, mengatakan, aktivitas di sekolah-sekolah di Kecamatan Sukajaya sudah berangsur normal selama satu minggu. Namun, belum semua anak-anak kembali bersekolah. ”Setiap sekolah dari ratusan siswa, yang baru masuk rata-rata puluhan siswa,” katanya.
Dari penelusuran Kompas, penyebab anak-anak belum kembali bersekolah dipengaruhi banyak faktor, mulai dari akses ke lokasi sekolah yang jauh dan sulit ditempuh, trauma karena bencana, hingga tak memiliki uang jajan.
Misalnya, Gustiawan Saputra (11), siswa Sekolah Dasar Negeri Ciberani. Anak dari Kampung Ciberani Babakan ini sejak jadwal libur berakhir pada 6 Januari 2020 belum kembali bersekolah lantaran akses jalan ke sekolahnya di Ciberani masih sulit dilalui. ”Sudah pengin kembali ketemu teman-teman di sekolah, tetapi jalannya jauh,” ujarnya.
80 persen lahan rusak
Bupati Bogor Ade Yasin mengatakan, Pemerintah Kabupaten Bogor belum mendata secara keseluruhan kerugian akibat bencana di Kabupaten Bogor. Namun, yang pasti, 80 persen areal persawahan warga rusak diterjang banjir dan longsor.
”Ini rata-rata di lahan HGU, jadi sebetulnya masyarakat hanya menggarap saja, tidak memiliki, jadi apakah ini dapat dicatat sebagai kerugian atau tidak. Kami fokus membuat dan mempersiapkan hunian karena itu yang paling urgen saat ini,” kata Ade.
Pemerintah Kabupaten Bogor terus berupaya mempercepat proses administrasi relokasi agar pembangunan hunian tetap rampung sebelum bulan Ramadhan. Meski demikian, kewenangan pembangunan hunian tetap sepenuhnya menjadi tanggungj awab Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Terkait pendidikan warga terdampak, sebagian besar siswa sudah kembali bersekolah. Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor juga menyediakan paket kelengkapan alat sekolah bagi siswa-siswa terdampak bencana. ”Ada terkumpul dari donatur dan guru-guru itu sekitar Rp 500 juta, jadi minimal tercukupi kebutuhan anak-anak,” ujar Ade.
Penghijauan kembali
Berdasarkan data Badan Informasi Geospasial, pemetaan cepat lokasi longsor ditetapkan di Desa Pasir Madang, Kecamatan Sukajaya, sebagai percontohan. Desa itu dipilih lantaran daerah itu paling banyak terdapat titik longsor pada 1 Januari 2020.
Dari pemetaan itu, luasan longsor di Desa Pasir Madang sekitar 442, 3 hektar dari keseluruhan pemetaan seluas 1.660 hektar. Dari keseluruhan luas longsor itu, tanaman vetiver yang dibutuhkan untuk memulihkan daerah longsor sebanyak 5 juta bibit vetiver.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan, secara keseluruhan untuk memperbaiki lahan kritis di Jawa Barat, termasuk Kabupaten Bogor, dibutuhkan 50 juta pohon. Pemerintah provinsi akan segera meluncurkan gerakan penanaman pohon dengan melibatkan berbagai lapisan masyarakat. ”Bulan depan akan kami mulai. Jadi, nanti pohon yang kami pilih itu hijaunya sama, tangkapan airnya kuat, tetapi memiliki nilai ekonomi,” ujarnya.