Pendidikan yang Membangkitkan Anak-anak Terdampak Longsor di Lebak
Pendidikan tidak hanya tentang pelajaran formal, tetapi juga memfasilitasi tergenapinya kodrat anak sebagai makhluk bermain. Di sela suasana darurat pasca bencana di Lebak, para relawan berupaya penuhi kodrat anak itu.
Oleh
J GALUH BIMANTARA
·3 menit baca
Pendidikan boleh jadi tak bisa dilihat, diraba, atau bahkan dimakan. Namun, ada daya kebangkitan dari dalamnya. Anak-anak penyintas banjir bandang di Kampung Seupang, Lebak, melepaskan memori kengerian bencana dengan keceriaan belajar di sekolah darurat.
Di pos pengungsian Kampung Seupang yang masuk wilayah Desa Pajagan, Kecamatan Sajira, pendidikan terselenggara di bawah tenda beralaskan papan-papan kayu bagi para murid Madrasah Ibtidaiyah/MI Mathla’ul Anwar. Madrasah ini adalah satu-satunya tempat pendidikan setingkat sekolah dasar di Seupang. Kembali belajar di gedung madrasah tidak mungkin lagi karena bangunannya bersama dengan 40 rumah warga sudah diporak-porandakan banjir bandang dari Sungai Ciberang tanggal 1 Januari silam.
Namun, wajah-wajah mungil 49 siswa di sana kerap dihiasi senyum yang begitu otentik saat belajar hari Senin (27/1/2020). Tidak ada tatapan kosong yang mengibakan. Seakan yang baru saja mereka lalui hampir sebulan lalu bukanlah bencana.
“Siti Nur Sajadah ada?” tanya Muhammad Saepul Rahman saat mengabsen murid-muridnya. Sontak derai tawa mengalir dari anak-anak. Mereka paham kalau guru mereka itu sedang memelesetkan nama salah satu rekan mereka, Siti Nur Sajidah, dengan nama kain alas untuk menunaikan salat. Si empunya nama pun hanya pura-pura ngambek.
Berhasil memantik ceria anak-anak, Rahman dengan lancar memasukkan materi tentang Hadis serta pengenalan bahasa Arab. Sebagian besar murid menyimak serta mencatat huruf-huruf Arab yang dibuat Rahman di papan tulis.
Rahman sebenarnya tidak berprofesi sebagai guru. Bahkan, ia sebenarnya masih belum bekerja. Saat ini, pemuda 18 tahun itu tercatat sebagai siswa kelas 3 Madrasah Aliyah/MA (setingkat sekolah menengah atas) Mathla’ul Anwar Baros, Lebak.
Rahman dan lima kawannya merasa punya rasa tanggung jawab untuk membangkitkan semangat adik-adik mereka di Seupang, sesama pembelajar Mathla’ul Anwar. “Setiap ada bencana, sekolah jarang ada yang memikirkan, sehingga kami bergerak di pendidikan dengan kemampuan seadanya,” ujar warga Kampung Baros, Desa Kaduagung Barat, Kecamatan Cibadak itu.
Banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di berbagai titik di enam kecamatan Kabupaten Lebak tidak hanya membuat 1.410 rumah rusak berat, 521 rumah rusak ringan, 1.110 rumah terendam, serta 2 jembatan permanen dan 26 jembatan gantung putus. Bencana juga mengakibatkan 3 sekolah tersapu banjir dan 19 sekolah rusak.
Bela rasa terhadap yang berkekurangan ditanamkan oleh perguruan tempat Rahman belajar. MA Mathla’ul Anwar Baros punya program wajib bagi siswanya yang bernama amaliyah tadris atau praktik mengajar. Ia dan rekan-rekannya pernah dikirim berkeliling mengajar sejumlah MI di dua desa. Mirip dengan kuliah kerja nyata (KKN) di jenjang perguruan tinggi. Program amaliyah tadris jadi bekal dia terjun ke Kampung Seupang.
Pendidikan tidak hanya tentang pelajaran formal, tetapi juga memfasilitasi tergenapinya kodrat anak sebagai makhluk bermain. Karena itu, tim sukarelawan pendidikan di Seupang merancang bermacam lomba, seperti lomba adzan, lomba mewarnai, dan lomba hapalan surat pendek bagi anak di pengungsian. “Terakhir, akan ada fashion show busana muslim pada Jumat (31/1/2020) malam Sabtu. Insya Allah meriah,” ucap Rahman sekaligus berpromosi.
“Gara-gara” fokus menjadi sukarelawan, Rahman baru dua kali ikut pelajaran di MA. Itu pun hanya setengah hari karena ia segera kembali ke pos pengungsian Seupang guna mendampingi anak-anak didiknya. “Udah kelas tiga, mau ujian, dan di sini juga diuji. Sama-sama diuji, ha ha ha,” ujarnya.
Namun, pihak madrasah tidak mempermasalahkan. Bagaimana mau mempersoalkan jika Kepala MA Mathla’ul Anwar Baros ikut turun menjadi sukarelawan di Seupang selama berhari-hari. “Kepala sekolah kami memang kece, he he he,” puji Rahman.
Meski demikian, itu bukan alasan bagi Rahman dan kawan-kawan untuk tidak lulus sekolah. Mereka berkomitmen mengejar ketertinggalan di tengah aktivitas sosial mereka. Rahman sudah berencana akan kuliah, walau masih belum menentukan jurusan yang bakal dipilihnya. Yang jelas, pendidikan lanjutan mesti menunjang cita-citanya untuk memberi manfaat bagi lebih banyak sesama.