Minimnya mitigasi diyakini turut memicu peristiwa yang memakan korban jiwa dan kerugian materiil lain. Dampak sosial dan ekonomi masih membebani warga, juga pemerintah, hingga berbulan-bulan ke depan.
Oleh
J Galuh Bimantara/Stefanus Ato/Aguido Adri
·6 menit baca
Banjir bandang dan longsor di Kabupaten Lebak di Banten dan Kabupaten Bogor di Jawa Barat bukanlah bencana yang tidak bisa diprediksi sebelumnya. Minimnya mitigasi diyakini turut memicu peristiwa yang memakan korban jiwa dan kerugian materiil lain. Kerugian juga tak berhenti seusai bencana berakhir. Dampak sosial dan ekonomi masih membebani warga, juga pemerintah, hingga berbulan-bulan ke depan.
Di Kabupaten Lebak, misalnya, tidak hanya muncul kerugian seketika saat longsor melanda, seperti rumah dan bangunan rusak atau korban luka hingga meninggal. Namun, kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat terdampak selanjutnya menjadi tidak jelas, seperti dihadapi pengungsi di Kampung Seupang, Desa Pajagan, Kecamatan Sajira.
Koordinator sukarelawan mengajar Mathla’ul Anwar Care, Muhammad Hafidz, mengatakan, seiring dengan berakhirnya masa tanggap darurat bencana Lebak pada Selasa (28/1/2020), jumlah sukarelawan di Kampung Seupang mulai menurun. Para pengungsi penyintas banjir bandang Sungai Ciberang di sana mesti bersiap untuk semakin mandiri. ”Di sana, sebagian besar bergantung pada lahan yang hancur,” ucap Hafidz, Kamis (30/1).
Sukarelawan asal Rangkasbitung, Lebak, Kusmayadi, menambahkan, mayoritas penduduk Kampung Seupang bekerja sebagai kuli tebang bambu. Rumpun bambu memang rimbun di sekitar kampung itu. ”Menurut saya, dalam tiga bulan ke depan belum bisa normal,” katanya. Lahan yang penuh dengan bambu berada di seberang kampung, dibatasi aliran Sungai Ciberang. Kusmayadi yang akrab disapa Asep mengatakan, warga biasanya berani menyeberangi sungai menuju lahan bambu saat akan menebang karena sungai dangkal.
Namun, saat ini, sungai sedang tinggi dan arusnya deras sehingga membahayakan warga yang menyeberang. Salah satu penyintas banjir bandang di Seupang, Hidayat (46), termasuk yang biasa mencari uang dengan menjadi kuli penebang bambu. Karena bekerja sesuai pesanan, pendapatannya tidak menentu, Rp 25.000-Rp 100.000 per hari. Ia menghidupi istri dan empat anak. Saat ini, ia sudah hampir sebulan belum bekerja dan mengandalkan bantuan donatur untuk menunjang kehidupan keluarga.
Asep menyebutkan, jika ada yang bermata pencarian sebagai petani, mereka kemungkinan juga belum bisa memulai kerja karena sawah masih tertimbun lumpur. Pembersihan sawah butuh waktu. Selain itu, risiko bencana yang masih terus mengintai sepanjang musim hujan 2019-2020 belum berakhir.
Selain soal mata pencarian, ketidakjelasan nasib juga dialami anak-anak usia sekolah. Di Seupang ada satu-satunya sekolah bernama Madrasah Ibtidaiyah (setingkat sekolah dasar) Mathla’ul Anwar, yang tidak bisa digunakan lagi karena terdampak banjir bandang. Para siswa saat ini belajar diatapi tenda dan beralaskan palet kayu sehingga kegiatan belajar mengajar kurang kondusif. ”Sebenarnya, ada SD di kampung tetangga, tetapi jaraknya 2 kilometer dan jalannya tanah berbatu yang terjal menanjak. Karena itu, kami tetap mendirikan sekolah darurat ini,” ujar Hafidz.
Para sukarelawan pengajar menargetkan 11 siswa kelas VI dari total 49 murid MI Mathla’ul Anwar lulus ujian tahun ini untuk bisa berlanjut ke jenjang pendidikan berikutnya. Pengajar menerapkan metode pengajaran intensif mirip kursus bimbingan belajar (bimbel) agar mereka cepat mengatasi ketertinggalan materi di tengah situasi darurat.
Untuk sekabupaten, data BNPB per 29 Januari, jumlah penduduk Lebak yang terdampak bencana 17.860 jiwa. Sembilan orang meninggal, 9 orang luka berat/rawat inap, dan 13.780 orang luka ringan/rawat jalan. Adapun jumlah pengungsi tercatat 699 orang. Terdapat 41 tempat pendidikan rusak berat, termasuk MI Mathla’ul Anwar.
Bencana juga merusak infrastruktur transportasi. Sebanyak 27 jembatan, baik permanen maupun gantung, putus dan jalan ambles sepanjang total 40 meter. Salah satu jembatan yang putus berlokasi di Kampung Muara, untuk menyeberangi Sungai Ciberang menuju Kampung Seberang di Kecamatan Lebakgedong. Jembatan darurat pun dibangun untuk penyeberangan manusia dengan bahan kayu.
Itu pun hanya menjangkau setengah lebar sungai, sedangkan setengahnya lagi dilalui dengan berjalan kaki melewati sungai yang deras berwarna coklat pekat. Rohadi (50) bersama istri dan anaknya menggunakan jembatan darurat tersebut pada Minggu (26/1). Padahal, Rohadi baru saja pulang dari rumah sakit di Rangkasbitung karena sakit lambung dan paru-paru. Ia menjalani rawat inap 20 hari di sana.
Dari rumah sakit, Rohadi menumpang angkutan hingga Kampung Muara. Setelah itu, ia turun dari angkutan dan mengenakan sepatu bot untuk turun ke sungai. Jika salah memijak, kaki bisa terjerumus ke dalam sungai, bahkan mungkin terbawa arus. Untungnya, ia berhasil melewatinya dan di seberang sungai menumpang ojek menuju rumahnya di Desa Lebaksitu, Lebakgedong. ”Sebelum bencana, mobil bisa lewat jembatan,” kata Rohadi.
Sekretaris Daerah Lebak Dede Jaelani mengatakan, Lebak sekarang dalam masa transisi menuju pemulihan hingga empat bulan ke depan. Selama masa ini, perbaikan infrastruktur menjadi sasaran, termasuk jembatan. Pihaknya sejauh ini belum mendapat angka final terkait kerugian akibat bencana awal tahun di Lebak.
80 persen lahan rusak
Bupati Bogor Ade Yasin mengatakan, Pemerintah Kabupaten Bogor belum mendata secara keseluruhan kerugian akibat bencana di Kabupaten Bogor. Namun, yang pasti, 80 persen areal persawahan warga rusak diterjang banjir dan longsor.
Menurut Sunarno (37), warga Kampung Nyomplong, Desa Kiarapandak, Sukajaya, Bogor, yang juga korban bencana, pegunungan yang gundul memicu banjir dan longsor di kampungnya. Lahan gundul itu merupakan lahan hak guna usaha (HGU) yang pada zaman Orde Baru merupakan perkebunan cengkeh. Perusahaan itu kemudian berhenti beroperasi menjelang lengsernya kekuasaan Orde Baru. Hingga kini tidak pernah ada upaya menghijaukan kembali lahan yang kritis itu.
”Bencana hari ini dosa masa lalu yang harus dirasakan kami, anak cucu. Sebagian besar lahan di sini lahan HGU yang ditinggalkan begitu saja tanpa ada perbaikan,” katanya. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor menetapkan kawasan itu sebagai zona merah atau zona terlarang untuk kembali dihuni. Dari pengamatan, perumahan warga di tiga kampung itu berada di kaki gunung. Sementara di bagian puncak gunung gundul.
Larangan untuk kembali bermukim juga ditetapkan BPBD terhadap permukiman warga di Kampung Sinar Harapan, Desa Harkatjaya, Kecamatan Sukajaya. Longsor di kampung itu menelan 7 korban jiwa. Total untuk seluruh Kabupaten Bogor, ada 20 kecamatan dengan 29.754 warga terdampak bencana dan 11 orang meninggal. Berbagai infrastruktur kawasan, seperti jalan, rumah, dan fasilitas publik, rusak parah, bahkan hilang.
Sekitar 10.000 warga kini bermukim di tenda pengungsian dalam kondisi darurat. Warga yang selama ini bekerja sebagai buruh di Bogor dan Jakarta sudah sebulan tak bekerja. Kondisi kawasan hulu di Bogor dan di Lebak yang masuk kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak sebenarnya sudah sejak lama diketahui rusak.
Ada penggundulan hutan karena alih fungsi lahan menjadi kawasan perkebunan dan pertanian, juga ada aktivitas penambangan emas liar. Dari tahun 2015, penertiban tambang emas liar beberapa kali dilakukan. Pun upaya penghijauan dan relokasi warga di zona rawan. Namun, semua berjalan setengah-setengah dan akhirnya bencana besar pun menyapu kawasan itu.
Kini, entah berapa ratus miliar kerugian diderita warga dan juga pemerintah yang harus bersama-sama berupaya mengentaskan warga dari keterpurukan dampak bencana. Antisipasi bencana ke depan didorong lebih tuntas agar semua pihak tak terperosok ke lubang yang sama terus-menerus.