Tilang Elektronik Dorong Pengguna Sepeda Motor Tertib Berlalu Lintas
Penerapan tilang elektronik (”electronic traffic law enforcement”/ETLE) terhadap sepeda motor sejak 1 Februari 2020 diyakini mampu mengurangi jumlah pelanggaran lalu lintas di jalan.
Oleh
AYU PRATIWI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan tilang elektronik atau (electronic traffic law enforcement/ETLE) terhadap sepeda motor sejak 1 Februari 2020 diyakini mampu mengurangi jumlah pelanggaran lalu lintas di jalan. Ke depan, diharapkan teknologi tilang elektronik itu bisa terus diperluas dan dipercanggih sistem pemantauannya.
Menurut Hengki (32), pengendara ojek daring (online), jalan yang dilengkapi sistem tilang elektronik cenderung lebih tertib pada akhir-akhir ini. Ia, yang mengaku cukup sering melanggar aturan lalu lintas (seperti melawan arah atau melintasi jalur khusus bus Transjakarta), pun terdorong untuk lebih tertib berlalu lintas.
”Enggak berani sekarang (melanggar) sejak tilang elektronik juga dikenakan kepada sepeda motor. Kalau kena tilang, lumayan juga, kan, dendanya,” kata Hengki yang ditemui di kawasan Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (3/2/2020).
Ia mengaku pernah melawan arus, melintasi jalur khusus bus, serta menerobos lampu merah karena terburu-buru. ”Itu memang bikin jalan semakin semrawut. Untuk lebih aman, seharusnya kita lebih sabar dan tertib berlalu lintas. Jangan maunya cepat-cepat saja,” kata Hengki, menambahkan.
Saat ini, sebagian besar pengendara sepeda motor tampaknya sudah tahu mengenai tilang elektronik untuk sepeda motor. Namun, masih ada beberapa pengendara, khususnya yang berasal dari Jakarta, yang belum pernah mendengar soal kebijakan itu.
”Saya pernah dengar soal itu, tetapi enggak tahu kapan dan di mana diberlakukan. Driver yang dari luar Jakarta biasanya kurang tahu soal itu,” ucap Firdi (35), pengendara ojek daring yang berasal dari Bogor.
Berdasarkan pemantauan Kompas, di sepanjang Jalan MH Thamrin (salah satu jalan yang dilengkapi sistem tilang elektornik), lalu lintas cenderung lebih tertib dibandingkan jalan lain yang belum diberlakukan tilang elektronik. Saat lampu pengatur lalu lintas berwarna merah, misalnya, kendaraan tidak berhenti di atas penyeberangan pejalan. Jarang pula ada kendaraan yang menerobos lampu pengatur lalu lintas saat berwarna merah, melawan arah lalu lintas, atau melintasi jalur bus Transjakarta.
Meskipun demikian, pelanggaran lalu lintas masih kerap terjadi. Di jalan kecil yang berdekatan dengan jalan protokol, misalnya, masih ada pengendara sepeda motor yang parkir di atas trotoar. Saat hujan, beberapa pengendara sepeda motor juga masih cenderung berlindung di bawah jalan layang, termasuk di kawasan Semanggi. Padahal tindakan itu telah diperingatkan mengganggu pengguna jalan lain dan berisiko kecelakaan.
Namun, untuk sementara, pelanggaran itu belum ditindak oleh sistem tilang elektronik. Saat ini, baru ada empat jenis pelanggaran oleh sepeda motor yang bisa dilakukan penindakan oleh sistem tilang elektronik, yakni tidak menggunakan helm, melanggar marka jalan, melintas di jalur bus Transjakarta, dan menerobos lampu pengatur lalu lintas.
Kebijakan menerapkan tilang elektronik kepada sepeda motor didukung oleh sejumlah pakar transportasi. Mereka berharap jumlah pelanggaran lalu lintas bisa berkurang berkat teknologi pengawasan itu.
Menurut Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta Iskandar Abubakar, pelanggaran yang bisa ditindak oleh sistem tilang elektronik itu merupakan perilaku yang paling membahayakan pengguna lain serta diri sendiri.
”Pelanggaran yang paling banyak dilakukan pengemudi sepeda motor ialah melawan arah lalu lintas, melanggar lampu lalu lintas, tidak menggunakan helm, dan mengangkut lebih dari satu orang. Ada juga yang menggunakan jalur Transjakarta. Itu sangat mengganggu dan berbahaya,” tutur Iskandar.
Baginya, keputusan polisi memberlakukan tilang elektronik kepada pengguna sepeda motor menjadi langkah pertama penting dalam upaya mengurangi jumlah pelanggaran lalu lintas. Iskandar pun berharap sistem tilang elektronik bisa terus dikembangkan ke depan, seperti ditambah dengan fitur yang bisa mengawasi kecepatan kendaran.
”Penurunan kecepatan sebayak 1 kilometer bisa menurunkan jumlah kecelakaan sebanyak empat persen. Sayangnya, pemerintah belum menetapkan batas kecepatan kendaraan di semua jalan,” ujar Iskandar, menambahkan.
Dihubungi secara terpisah, Direktur ITDP (Institute for Transportation and Development Policy) Asia Tenggara Faela Sufa berpendapat bahwa tilang secara elektronik lebih efektif dibandingkan tilang konvensional yang dilakukan oleh petugas kepolisian di lapangan.
”Kami menyambut baik kebijakan ini. Teknologi ini seharusnya mengurangi humanerror. Pelaksanaan dan penindakannya pun menjadi lebih akurat,” kata Faela.
Faela berharap tilang elektronik itu juga bisa melakukan penindakan terhadap pengemudi sepeda motor yang parkir di atas trotoar dan melintasi jalur sepeda. Perilaku seperti itu, baginya, mengganggu pejalan kaki serta pesepeda. Apalagi, Jakarta saat ini sedang berupaya membangun sistem transportasi ramah lingkungan, salah satunya dengan merevitalisasi trotoar serta membangun jalur sepeda.
”Pelanggaran seperti itu juga perlu ditindak karena membuat pengguna jalan lain merasa kurang nyaman,” kata Faela, menambahkan.
Ia juga berharap penggunaan sistem tilang elektronik bisa lebih dioptimalkan untuk mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi. Untuk itu, kebijakan ganjil genap seharusnya bisa juga diberlakukan kepada pengguna sepeda motor sehingga penggunaan kendaraan pribadi bisa lebih berkurang.
”Pengendalian penggunaan kendaraan pribadi bisa lebih optimal kalau kita juga mengendalikan penggunaan sepeda motor. Sekarang, sistem transportasi umum sudah bagus. Akses bus Transjakarta juga sudah cukup luas. Tidak ada alasan tidak bisa bermobilitas tanpa sepeda motor,” tutur Faela.