Warga Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara, sudah bosan dengan banjir yang rutin terjadi setiap kali musim hujan.
Oleh
STEFANUS ATO/ADITYA DIVERANTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Banjir yang melanda permukiman warga Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara, sudah terjadi berulang. Setiap kali musim hujan, banjir merendam perumahan warga hingga setinggi lebih dari 30 sentimeter dan baru surut setelah tiga sampai empat hari.
Bagi warga, banjir itu sudah menjadi fenomena tahunan yang tak pernah ada solusi penyelesaian.
Berdasarkan pantauan Kompas pada Selasa (4/2/2020) di Muara Angke, Kelurahan Pluit, Penjaringan, ketinggian air sekitar 30 sentimeter. Banjir di permukiman itu sudah terjadi sejak Jumat (31/1/2020) malam.
”Susah surut karena hujan terus. Kemarin sore itu tinggal 10 cm, tetapi karena malamnya hujan lebat, genangan naik lagi,” kata Ryan (25), salah satu warga terdampak banjir.
Banjir yang tak kunjung surut itu menjadi wahana hiburan anak-anak Muara Angke. Mereka bermain, mandi, dan berenang sambil bersukaria di tengah genangan banjir berwarna hitam pekat dengan aroma bau busuk menyengat.
Di tempat itu, warga juga beraktivitas seperti biasa dengan berlalu lalang di sekitar permukiman itu, seperti yang terlihat di Jalan Kerapu I, Muara Angke. Sebagian warga yang memaksa menerobos banjir dengan sepeda motor terpaksa harus mendorong kendaraannya karena mati terendam air.
Warga juga beraktivitas seperti biasa, seperti berdagang, berbelanja, dan membuka warung makan. Banjir bagi warga Muara Angke sudah dianggap bukan lagi menjadi masalah lantaran terjadi berulang.
Ryan menambahkan, sejak tinggal di tempat itu pada 2017, setiap kali musim hujan, rumahnya selalu kebanjiran. Banjir itu berasal dari aliran kali yang sama, yakni Kali Gendong yang bermuara di pesisir utara Jakarta.
”Kali Adem muaranya, kan, ke laut. Kalau air laut lagi tinggi, kami pasti kebanjiran karena air dari Kali Gendong tidak bisa mengalir ke laut,” ucapnya.
Dari informasi yang dihimpun Kompas, ada tiga aliran kali yang melintasi permukiman Muara Angke, yakni Kali Adem, Kali Gendong, dan Kali Asin. Tiga aliran kali itu bermuara di Waduk Muara Angke.
”Waduk juga penuh, makanya airnya meluap ke mana-mana. Di waduk itu sebenarnya ada mesin pompa air,” kata Ryan.
Dolvin (30), warga lain, mengatakan, warga sudah bosan dengan banjir yang rutin melanda setiap musim hujan. Beraktivitas di tengah genangan banjir sudah jadi kebiasaan warga sejak lama.
”Selama ini, ya, seperti ini. Banjir biasanya baru surut setelah dua atau tiga hari. Masalah penyakit, paling hanya gatal-gatal,” katanya.
Pompa rusak
Dihubungi terpisah, Sekretaris Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Dudi Gardesi mengatakan, banjir di Muara Angke belum surut lantaran ada pompa stasioner di Waduk Muara Angke yang rusak. Dinas SDA DKI Jakarta terpaksa menggunakan pompa portabel dengan kapasitas yang lebih kecil untuk menyedot luapan banjir di Muara Angke.
”Ini perlu saya cek lagi. Sebab, yang saya dengar pompanya jebol gara-gara tersumbat sampah,” katanya.
Meski tidak menjelaskan secara detail jumlah pompa portabel yang dikerahkan di Muara Angke, secara keseluruhan, ada 180 pompa portabel yang difungsikan untuk menyedot banjir dan genangan di wilayah Jakarta. Jumlah ini bertambah dari sebelumnya yang berjumlah 122 pompa portabel.
”Jenisnya bermacam-macam, ada yang kapasitas 1.000 liter, ada yang lebih kecil lagi, bahkan 75 liter,” ucapnya.