Kebutuhan Ruang Terbuka dan Sentra Kegiatan Ekonomi
Keberadaan ruang terbuka hijau di Jakarta masih jauh dari kebutuhan yang ideal, yaitu 30 persen luas total area. Pemenuhan ini kerap berhadapan dengan kebutuhan lain di ruang kota.
Oleh
STEFANUS ATO
·5 menit baca
Jakarta masih membutuhkan lebih banyak ruang terbuka hijau atau RTH. Salah satu nilai penting keberadaan RTH ini adalah untuk menjawab masalah polusi dan banjir yang masih terjadi. Namun, tidak mudah mempertahankan RTH yang ada saat ada kebutuhan untuk peruntukan lain. Dilema inilah yang terjadi di Muara Karang, Penjaringan, Jakarta Utara.
Saat ini Pemerintah Provinsi DKI akan menggunakan RTH di sini untuk sentra kuliner. Hasyim (40), warga Muara Karang, RW 012, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, mempertanyakan alih fungsi lahan RTH di Muara Karang menjadi sentra kuliner. Sebab, lahan itu sebelum 2014 merupakan jalur hijau yang dihuni ratusan penghuni liar.
”Waktu itu, yang kami tahu, tempat ini digusur untuk dikembalikan sebagai jalur hijau. Tetapi, habis digusur malah dibiarkan terbengkalai,” katanya, Kamis (6/2/202), di Muara Karang.
Ia menyebutkan, wilayah Penjaringan masih membutuhkan banyak ruang terbuka hijau. Sebab, kawasan itu termasuk daerah rawan banjir. Di Muara Angke, misalnya, ratusan perumahan warga sempat terendam banjir selama lebih kurang empat hari, yakni dari Jumat (31/1/2020) dan baru surut pada Rabu (5/2/2020).
Harry (40), warga lain, mengatakan, keberadaan ruang terbuka hijau cukup efektif dalam mengatasi masalah banjir. Misalnya, tepi Waduk Pluit yang kini dimanfaatkan sebagai ruang terbuka hijau. ”Sejak waduk itu dinormalisasi dan di sekitar waduk ditanami pohon, kawasan itu sudah tidak lagi banjir,” katanya.
Sesuai Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, Jakarta menargetkan luas ruang terbuka hijau mencapai 30 persen dari luas wilayah DKI pada 2030. Adapun sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, hal itu diartikan sebagai area memanjang/jalur dan atau mengelompok yang penggunaannya terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Dari data yang dihimpun Kompas, RTH di Jakarta pada 1965 mencapai 37,2 persen. Namun, angka itu terus menyusut dan tinggal 9 persen pada 2000. Ada penurunan RTH sebanyak 28,2 persen dalam 35 tahun di periode sejak 1965 hingga 2000. Angka itu naik 0,8 persen menjadi 9,8 persen 10 tahun kemudian, yaitu pada 2010 dan menjadi 9,98 persen pada 2015 (Kompas, 11/1/2019).
Pada 2018, Sekretaris Daerah DKI Saefullah menyebutkan, RTH DKI baru 9,9 persen. Artinya, jika pengadaan lahan rata-rata 40 hektar per tahun, luas RTH pada 2030 hanya akan bertambah 0,74 persen dibandingkan kondisi 2018 (Kompas, 13/6/2019). Dengan penambahan rata-rata per tahun seperti itu, jika angka penambahan itu konstan, DKI butuh lebih dari tiga abad untuk mencapai target RTH 30 persen.
Jika dihitung, luas RTH di Jakarta pada 2030 ditargetkan mencapai 19.337,15 hektar. Pada 2018, luas lahan RTH di Jakarta baru 1.914,37 hektar. Artinya, hingga 30 tahun ke depan jika Pemerintah Provinsi DKI konsisten membebaskan lahan sebesar 40 hektar per tahun, RTH baru yang berhasil dibebaskan hanya 1.200 hektar.
Target mencapai 30 persen RTH di Jakarta wajar dipertanyakan publik ketika pada awal 2020 secara mengejutkan terjadi penebangan ratusan pohon di sisi selatan Monumen Nasional dengan dalil untuk semakin memperindah kawasan Monas.
Belum selesai polemik revitalisasi Monas, lahan RTH di Muara Karang itu kini sudah ditutupi dengan pagar seng. Di dalam kawasan itu, sejumlah alat berat sibuk mengeruk dan meratakan tanah di lahan seluas sekitar 2,3 hektar itu.
Sejak 2018
Di lokasi proyek, terdapat pelang dari Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI Jakarta yang menyebutkan, lahan itu sudah ada izin mendirikan bangunan kelas B. Lahan itu akan dimanfaatkan untuk pedagang kaki lima, bazar, taman parkir, plaza, dan area premium.
Menurut, Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI Jakarta Benny Agus Chandra, izin pemanfaatan RTH itu sudah dikeluarkan sejak 2018. Lahan yang tidak terawat itu akan ditata sebagai tanaman yang terintegrasi dengan pengembangan kawasan terbuka hijau.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima Kecamatan Penjaringan Purwanto menepis tudingan alih fungsi RTH. Ia menjelaskan, penempatan PKL di RTH itu merupakan usulan asosiasi. Para PKL yang akan berjualan juga merupakan PKL binaan Dinas Usaha Mikro Kecil dan Menengah DKI.
”Lahan untuk ruang interaksi warga, seperti trek joging, lapak PKL, dan tempat ibadah, hanya 11 persen. Sisanya dijadikan taman dan ruang terbuka hijau,” ucapnya.
Jumlah PKL yang berjualan di sana sebanyak 60 PKL. Sebagian PKL itu merupakan warga yang pada 2014 digusur dari tempat itu. Para PKL yang berjualan di sana juga tidak akan dikenai biaya sewa lapak.
Tanggung jawab gubernur
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada Kamis (6/2/2020), di Balai Kota, mengatakan masih akan mengecek aturan terkait peralihan fungsi RTH itu menjadi sentra kuliner. ”Nanti saya cek aturannya,” katanya.
Sementara itu, anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta, Eneng Malianasari, dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia meminta Gubernur DKI Jakarta bertanggung jawab terkait persoalan itu. Sebab, dari informasi di pelang di lokasi proyek, kegiatan itu mendapat izin dari Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD). ”Sudah jelas bahwa gubernur yang bertangung jawab dalam masalah ini," katanya, dalam siaran pers, Rabu (5/2/2020).
Tanggung jawab gubernur sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 116 Tahun 2017 tentang Koordinasi Penataan Ruang Daerah. Aturan itu menyebutkan, gubernur memimpin BKPRD dan bertanggung jawab atas penataan ruang provinsi.
Terlepas dari pro dan kontra revitalisasi Monas dan alih fungsi lahan RTH menjadi pusat kuliner, publik Jakarta masih menanti komitmen pemerintah memenuhi target 30 persen ketersedian ruang terbuka hijau di Jakarta pada 2030.