Eksistensi ondel-ondel hidup karena gerakan masyarakat. Jangan sampai revisi perda menghilangkan eksistensi ondel-ondel. Kebudayaan betawi seperti ondel-ondel perlu dirayakan karena mengandung pesan keberagaman.
Oleh
Aguido Adri/Nikolaus Harbowo
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana merevisi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi untuk memperketat penampilan ondel-ondel. Ini karena ondel-ondel sering kali digunakan untuk sarana mengamen, tak selaras dengan peran ondel-ondel sebagai ikon dari kebudayaan Betawi.
Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana mengatakan, idealnya, ondel-ondel digunakan untuk menolak bala atau malapetaka. Kemudian jika berkaca pada sejarah, ondel-ondel seharusnya ada sepasang, perempuan dan laki-laki. Di samping itu, ada penabuh gendang, dua pemain tamborin, dan satu pemain silat atau penari.
Namun, dia menyayangkan, yang terjadi saat ini, ondel-ondel justru digunakan untuk sarana mengamen. ”Kan, kalau sekarang (ondel-ondel) dipakai di jalan-jalan, pakai gerobak, satu ondel-ondel, terus minta-minta lagi. Kan, enggak layak,” ujar Iwan, Jumat (7/2/2020).
Di Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi, ondel-ondel merupakan salah satu ikon dalam kebudayaan Betawi yang patut dilestarikan. Di dalam Pasal 4 disebutkan, Pemprov DKI bertanggung jawab melestarikan kebudayaan Betawi, seperti meningkatkan partisipasi, kreativitas, dan kesadaran masyarakat Jakarta terhadap pelestarian kebudayaan Betawi. Kemudian di Pasal 10 disebutkan, pelestarian kebudayaan Betawi bertujuan untuk meningkatkan sikap positif masyarakat terhadap kesenian Betawi melalui pendidikan dan apresiasi seni di sekolah dan di luar sekolah.
Penyalahgunaan ondel-ondel untuk sarana mengamen, menurut Iwan, disebabkan ketidaktahuan sejumlah kalangan terhadap kebudayaan Betawi tersebut. Oleh karena itu, seiring berjalan waktu, pihaknya akan menyosialisasikam kepada masyarakat agar ikut menjaga dan melestarikan ikon tersebut.
”Kalau masyarakat diberi pemahaman, fungsi, dan peran ondel-ondel pasti enggak akan dibuat seperti itu,” kata Iwan.
Rencana pengetatan aturan dalam menjaga ondel-ondel sebagai warisan budaya Betawi, menurut dia, masih akan dibahas dengan DPRD DKI. Proses ini akan memakan waktu karena masih harus melewati proses penyusunan naskah akademik. Selanjutnya, dibahas bersama Badan Legislasi Daerah DPRD DKI.
Namun bersamaan dengan rencana pengetatan ondel-ondel itu, yang juga penting dipikirkan, menurut Iwan, adalah keberlanjutan kehidupan dari para pengamen ondel-ondel. Pemerintah punya tanggung jawab untuk ikut memikirkan pekerjaan alternatif bagi mereka setelah ondel-ondel tak lagi diizinkan untuk mengamen.
Simbol pluralisme
Menurut budayawan Betawi dari Komunitas Bambu, JJ Rizal, ondel-ondel merupakan simbol keberagaman atau pluralisme. Ini karena budaya Tionghoa dan Bali menguatkan arti ondel-ondel.
”Ondel-ondel merupakan kebudayaan agraris Betawi. Ondel-ondel semakin kaya ketika kebudayaan Tionghoa datang. Orang Tionghoa mempunyai tradisi menaruh dua boneka besar bernama Yomas di depan pintu ketika salah satu anggota keluarga mereka meninggal. Boneka ini berpakaian warna cerah. Boneka Yomas memiliki konsep Yin dan Yang. Konsep keseimbangan antara baik dan buruk,” jelas Rizal.
”Lalu ada unsur budaya Bali, yaitu ogoh-ogoh. Kedua budaya ini diadopsi sehingga semakin menguatkan arti ondel-ondel sebagai tolak bala di kampung-kampung Jakarta,” katanya.
Kehadiran ondel-ondel di kampung-kampung, kata Rizal, untuk menyambut musim baru dan mengusir roh-roh jahat. Sedari awal, ondel-ondel biasa digunakan untuk mengamen. Mereka dibayar secara sukarela oleh warga sebagai tanda terima kasih sudah menjaga kampung dari hal-hal jahat.
”Seperti ronda malam yang juga jual jasa keamanan, begitu pula dengan ondel-ondel, tetapi mereka jual jasa spiritual. Mereka mengusir hal-hal jahat. Jika ondel-ondel muncul orang bersyukur, ketika mereka datang artinya kampung warga akan aman selamat dan jauh dari marabahaya,” tutur Rizal.
Pada 1970-an, Ali Sadikin mengangkat ondel-ondel sebagai budaya Betawi dan ikon Jakarta. Ondel-ondel diletakkan di depan pintu-pintu kantor pemerintahan, mulai dari kantor kelurahan, kecamatan, hingga kantor gubernur. Hal ini dilakukan agar kantor-kantor tersebut terhindar dari hal-hal buruk dan melindungi para pegawai di dalamnya.
Memasuki tahun 1980-an, ondel-ondel semakin populer. Namun, ondel-ondel perlahan tidak lagi menjadi sebuah perayaan kebudayaan. Nilai ondel-ondel semakin tak dikenal dan jauh dari nilai pluralisme dan tolak bala.
Menurut Rizal, ondel-ondel menjadi benda mati semata dan kehilangan makna meski menjadi ikon budaya Betawi dan menjadi obyek pariwisata. Hal ini karena kurangnya pemahaman nilai budaya Betawi, kurangnya perhatian, dan pembinaan dari pemerintah. Padahal, ondel-ondel akan semakin berkembang dari gerakan masyarakat.
Akibat tidak adanya perhatian dan pembinaan, banyak hal yang tidak sesuai dengan nilai ondel-ondel. Salah satunya lagu-lagu tanjidor yang mencerminkan budaya Betawi justru diganti dengan lagu dangdut atau lagu populer lainnya. Stigma negatif pun akhirnya muncul dari masyarakat yang hanya menganggap ondel-ondel sebagai obyek musik jalanan semata.
”Pemerintah seharusnya lebih serius membina para seniman sehingga ondel-ondel mendapat respons baik. Ada ruang kreasi untuk para seniman agar tidak ada stigma negatif oleh masyarakat. Pembinaan dan pengenalan konsep ondel-ondel perlu sejak dini. Jadikan ruang kebudayaan sebagai ruang pembelajaran. Pemerintah harus memasuki ruang itu, ruang akademis dan ruang masyarakat (komunitas),” terang Rizal.
Ia melanjutkan, jika ingin mengembalikan nilai-nilai keberagaman melalui ondel-ondel, masyarakat, terutama anak-anak, harus masuk ke dalam ruang kebudayaan Betawi. Pembinaan tidak hanya dari seni dan budaya ondel-ondel, tetapi lebih jauh tentang pesan di balik ondel-ondel. Kearifan lokal ini bisa digiring kebanyak hal, termasuk menjauhkan anak-anak jalan dari hal negatif.
”Jika pemprov membolehkan aktivitas dagang di ruang-ruang publik, kenapa aktivitas budaya tidak boleh. Jika ondel-ondel dilarang dan tidak ada ruang untuk hadir di publik, maka ruang kebudayaan Betawi hilang. Justru melalui ondel-ondel memupuk generasi muda untuk mencintai budayanya dan belajar dari kearifan lokalnya,” kata Rizal.
Akulturasi budaya pada ondel-ondel, kata Rizal, membentuk suatu nilai budaya yang kuat dan mengandung nilai pluralisme yang perlu dirayakan di tengah kritisnya nilai pluralisme di Jakarta.
”Jangan hanya menjadi pajangan. Budaya Betawi harus dirayakan, pluralisme perlu dirayakan, ondel-ondel perlu dirayakan,” kata Rizal.