Program penanganan banjir di Ibu Kota sudah saatnya digarap secara berkelanjutan dari berbagai aspek. Mengurangi ruang terbuka hijau justru menjadi kebijakan yang di sisi lain melupakan para warga yang menjadi korban banjir.
Banjir besar membawa dampak yang juga besar. Banjir pada awal tahun 2020 di wilayah DKI Jakarta membuat setidaknya 16 orang meninggal di wilayah Ibu Kota. Banjir juga berdampak pada berbagai sektor usaha dan wisata. Kerugian akibat banjir pada 1-5 Januari 2020 ditaksir Rp 1,05 triliun. Luasnya dampak banjir harus disikapi dengan kebijakan penanggulangan dalam skala besar. Hal ini diperlukan mengingat potensi warga terdampak banjir yang juga tidak sedikit jumlahnya.
Menyadur data dari Potensi Desa 2015, jumlah penduduk DKI Jakarta yang bermukim di bantaran sungai mencapai lebih dari 21.000 kepala keluarga (KK). Melihat banjir yang kerap melanda Jakarta, warga inilah yang menjadi korban pertama dari imbas sungai yang meluap. Di sisi lain, program normalisasi sungai di Jakarta untuk mengurangi banjir juga terhenti.
Berkaca dari banjir awal tahun ini, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah memberi instruksi kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk melanjutkan normalisasi sungai. Kementerian PUPR mengakui bahwa program normalisasi Sungai Ciliwung terakhir dilakukan pada 2017. Artinya, sudah tiga tahun program ini berhenti. Dari segi kewenangan, program normalisasi sungai menjadi tanggung jawab Kementerian PUPR.
Adapun Pemprov DKI Jakarta bertanggung jawab dalam ranah pembebasan lahan warga yang memiliki bangunan rumah di bantaran sungai. Normalisasi sungai, yang terhenti ini, baru mencapai 16 kilometer dari 33 kilometer panjang sungai. Normalisasi ini dilakukan dengan mengeruk endapan di sungai serta membangun sheet pile (tembok beton di kanan kiri sungai) di sepanjang tebing sungai. Menanggapi hal ini, Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta akan melakukan pembebasan 118 bidang tanah untuk normalisasi Sungai Ciliwung yang bakal dilakukan pada 2020.
Bidang tanah tersebut berada di empat kelurahan, yakni Cililitan, Tanjung Barat, Pejaten Timur, dan Balekambang. Jika merujuk ke data Potensi Desa 2015, empat kelurahan tersebut dihuni sekitar 800 KK. Padahal, beberapa wilayah yang sudah dinormalisasi sejak 2013 masih menyisakan masalah pembebasan lahan, misalnya di Bukit Duri, Manggarai, Kebon Baru, Kampung Melayu, dan Bidaracina. Di samping itu, ada pula wilayah yang dinilai sudah selesai digarap seperti di wilayah Gedong (2,3 km) dan Cikoko (380 meter).
Sayangnya, program normalisasi Sungai Ciliwung hingga kini masih menuai polemik di masyarakat, khususnya mereka yang telah menetap di bantaran sungai. Dalam konsep normalisasi, warga yang huniannya terkena imbas harus rela berpindah tempat atau direlokasi. Sebagai solusi, selama ini Pemprov DKI Jakarta menawarkan relokasi warga untuk berpindah ke rusun.
Relokasi
Litbang Kompas mencatat, relokasi karena normalisasi sungai pertama kali terjadi pada Februari 2014. Kala itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengambil langkah relokasi untuk melakukan normalisasi sungai di Kali Sentiong, Jakarta Pusat, yang panjangnya 1,5 km. Warga yang tinggal di bantaran Kali Sentiong dipindahkan ke Rusunawa Komaruddin, Jakarta Timur.
Setelah itu, langkah relokasi menjadi strategi yang diambil Pemprov DKI Jakarta dalam melakukan normalisasi sungai. Pro dan kontra bermunculan. Ada kampung-kampung di bantaran sungai yang menerima dan ada pula yang menolak. Ketegangan antara warga penggusuran dan aparat sempat terjadi ketika rencana normalisasi bantaran Sungai Ciliwung di sepanjang Jalan Jatinegara Barat hendak dilakukan pada 2015.
Relokasi berjalan alot karena banyak warga menolak dengan klaim memiliki izin legal untuk bermukim di sana. Akhirnya, pada 20 Agustus 2015, warga Kampung Pulo, Jakarta Timur, berpindah mukim meski sempat diwarnai aksi anarkistis selama dua jam. Hal ini berbeda dengan situasi masyarakat di Kampung Tongkol, Jakarta Utara, yang berhasil bernegosiasi dengan Pemprov DKI Jakarta pada tahun yang sama.
Saat itu, warga Kampung Tongkol bersedia menata permukiman, membongkar, atau ”memotong” rumah agar menyediakan tempat untuk 15 meter garis sempadan sungai. Konsensus antara warga dan Pemprov DKI Jakarta ini membuat warga tak digusur atau direlokasi. Seiring dengan berhentinya program normalisasi sungai sejak 2017, Pemprov DKI Jakarta belum lagi melakukan relokasi warga di bantaran sungai.
Sebagai gantinya, Pemprov DKI Jakarta melaksanakan strategi ”naturalisasi sungai” yang dicanangkan Gubernur Anies Baswedan. Gagasan ini merujuk pada Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi.
Dalam aturan itu, naturalisasi adalah cara mengelola prasarana sumber daya air melalui konsep pengembangan ruang terbuka hijau (RTH) dengan tetap memperhatikan kapasitas tampungan, fungsi pengendalian banjir, serta konservasi. Relokasi warga bantaran sungai memang dihentikan, tetapi warga DKI Jakarta di lokasi lainnya tetap mengalami penggusuran.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta melaporkan, sepanjang Januari hingga September 2018, terdapat 79 lokasi penggusuran di DKI Jakarta. Dalam kerangka perlindungan hak asasi manusia, LBH menilai bahwa penggusuran yang dilakukan tidak sesuai dengan prosedur. Tercatat, ada 277 kepala keluarga dan 864 unit usaha yang menjadi korban penggusuran.
Lebih dalam lagi, semua kebijakan Pemprov DKI Jakarta tersebut terbagi menjadi enam tujuan. Keenam tujuan tersebut adalah penertiban kawasan, penertiban izin mendirikan bangunan (IMB), pembuatan jalur hijau, pelebaran jalan, pembuatan taman kota, dan tujuan lainnya. Sementara itu, penggusuran untuk naturalisasi sungai belum dilakukan.
Ruang terbuka hijau
Melihat kembali strategi Pemprov DKI Jakarta, naturalisasi atau normalisasi sungai hanyalah salah satu di antara lima program upaya penanggulangan banjir. Masih ada program lainnya yang menjadi pekerjaan rumah untuk segera dilakukan, seperti penataan kali/waduk dan pembangunan drainase.
Namun, di tengah upaya penanggulangan banjir, Pemprov DKI Jakarta menyiapkan sebagian Ruang Terbuka Hijau Pluit Karang, Jakarta Utara, untuk dialihfungsikan menjadi sentra kuliner. Begitu pula dengan proyek revitalisasi kawasan Monas yang akhirnya dibenahi kembali. Kebijakan yang dapat mengurangi luas RTH di Jakarta ini tentu menjadi polemik tambahan mengingat sebulan yang lalu Ibu Kota lumpuh akibat banjir.
Masyarakat masih menantikan upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengurangi dampak banjir. Jika kebijakan relokasi atau penggusuran warga di bantaran kali tidak diambil, perlu ada langkah pengganti yang tepat untuk mengatasi banjir dari aspek lainnya. Mengupayakan perluasan RTH atau jalur hijau menjadi langkah yang ditunggu. (LITBANG KOMPAS)