Mencari Cara Terbaik Menindak Pelanggar Lalu Lintas di Jalanan
Tidak semua penindakan pelanggar lalu lintas berjalan lancar. Sebagian pelanggar menerima tindakan aparat, sebagian bahkan menantang aparat kepolisian setelah melanggar aturan lalu lintas.
Honda Brio yang dikemudikan Hidanti Karnila (26) melaju perlahan di Jalan Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta, beberapa waktu lalu. "Prit", seorang polisi menghentikan laju kendaraan dan mengisyaratkan untuk menepi.
Lala, begitu dia disapa, segera menepi. Kaca mobil diturunkan, lalu terjadi dialog dengan polisi. Intinya, hari itu pelat mobilnya tidak sesuai dengan pembatasan kendaraan bermotor atau ganjil genap. "Kaget ketilang. Ternyata salah ambil jalur. Damai di tempat sama bapaknya (polisi), bayar Rp 100.000," ujar Lala, Senin (10/2/2020).
Lala tidak ambil pusing dengan kejadian itu. Sebab, dia memilih untuk menyelesaikan pelanggaran dengan cepat tanpa harus mengikuti sidang tilang. Lain waktu, Ignatya Evelin (21) tengah melaju dengan sepeda motor dari arah Cakung ke Bekasi seusai berbelanja di Pasar Mester. Dia memasuki jalur Transjakarta tanpa beton pembatas karena terburu-buru menuju rumah.
Baca Juga: Anomali Pelanggar Lalu Lintas Ibu Kota
Seorang polisi yang mengendarai sepeda motor menghampirinya, lalu mengisyaratkan untuk menepi ke jalur kiri. Setelah menepi, kunci motornya diambil. Pagi itu, mereka sepakat untuk menyelesaikan pelanggaran tilang dengan cara damai di tempat. "Uangku sisa Rp 100.000. Dikasih semua ke polisinya," kata Evelin.
Damai di tempat bukanlah hal baru bagi pelanggar lalu lintas di Ibu Kota dan daerah lain di Indonesia. Polisi dan pelanggar bisa saja menjadi orang pertama yang menawarkan penyelesaian pelanggaran dengan cara itu.
Padahal, hal tersebut jelas-jelas bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan berlangsung secara berkala dan insidental di tempat dan dengan cara yang tidak mengganggu keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas.
Baca juga : Seandainya Ada Operasi Zebra Saban Hari
Polisi wajib dilengkapi surat tugas penilangan yang memuat alasan dan pola pemeriksaan kendaraan bermotor, waktu dan tempat pemeriksaan, penanggung jawab, dan daftar petugas. Kemudian wajib mengenakan seragam dan atribut.
Di tempat pemeriksaan, baik secara berkala dan insidental wajib dilengkapi dengan tanda yang menunjukkan adanya pemeriksaan kecuali tertangkap tangan melanggar. Tanda yang menunjukkan adanya pemeriksaan ditempatkan pada jarak paling sedikit 50 meter sebelum tempat pemeriksaan dan harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga mudah terlihat oleh pengguna jalan.
Rizka Nurlaily (23), misalnya, terjaring operasi polisi karena melawan arah di Jakarta Selatan. Meskipun telah melihat plang pemberitahuan, dia nekat menerobos karena terburu-buru ke kampus. "Kena tilang, dapat slip merah dan bayar," ujar Rizka.
Baca juga : Operasi Zebra untuk Kurangi Kecelakaan Digelar Selama Dua Pekan
Namun, tidak semua pelanggaran berakhir dengan damai dan tilang. Justru akhir-akhir ini ada kecenderungan pelanggar lebih galak hingga berani melawan polisi.
Jumat (7/2/2020), seorang pengemudi mobil berinisial TS menantang polisi saat ditanyai kelengkapan surat kendaraan. Saat itu petugas Patroli Jalan Raya (PJR) Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya menertibkan kendaraan yang parkir di sekitar Gerbang Tol Angke 2, Tambora, Jakarta Barat.
TS ditilang karena berhenti sembarangan di bahu jalan tol. Padahal tidak dalam keadaan darurat untuk menepi di bahu jalan. Dia juga diduga menepi untuk menghindari rute ganjil genap yang sedang berlaku hari itu.
TS yang tidak terima ditilang kemudian mendorong Brigadir Kepala Rudy Rustam. Dia mengancam dan hampir mencekik Rudy. Kejadian itu viral di media sosial. “Copot baju lo! Dirlantas mana lo? Entar gue cari lo!” ucap TS saat menantang petugas dalam rekaman video. Seusai ditangkap, TS mengaku emosi dan khilaf saat menantang polisi. “Saya menyesal dan berjanji tidak melakukan hal semacam ini lagi,” ucap TS.
Pelanggaran serupa kerap terjadi dan berujung pada penyesalan. Kita pun mengingat kasus seorang pelanggar yang nekat melawan polisi pada September 2019. Akibat hal itu, Brigadir Kepala Eka Setiawan sempat terseret sejauh 200 meter di atas kap mobil saat menghentikan kendaraan di Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
"Berdamai atau pembuaran itu mala-adminitrasi. Di sisi lain penindakan kepada pelaku cenderung lemah. Akibatnya, orang-orang yang merasa memiliki koneksi dengan kekuasaan menjadi jumawa di jalanan," kata Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh Nugroho.
Tebang pilih
Pelanggaran seperti parkir di bahu jalan dan melawan saat ditilang juga dilakukan oleh TNI/Polri, pejabat, dan orang "berduit". Belum lagi penggunaan strobo oleh mobil pelat khusus RFS dan mobil mewah.
Baca juga : Para Pelanggar Apresiasi Sidang di Tempat
Warga berani melawan polisi karena merasa adanya pembiaran atau perlakuan khusus terhadap pelanggaran oleh pihak tertentu. Padahal semua orang berlaku sama di depan hukum.
"Kelompok masyarakat bawah sering kali melihat polisi bersikap permisif terhadap para penyelenggara ketika melanggar dengan melakukan pembiaran, seperti RFS menggunakan strobo dan melanggar rambu lalu lintas," katanya.
Karena itu, polisi harus bertindak tegas agar ada efek jera dan terwujudnya budaya tertib berlalu lintas di semua kalangan. Salah satu upaya yang sedang berlangsung ialah penerapan tilang elektronik atau ETLE. Ombudsman sangat mendukung penerapan ETLE selama indikator penindakan dan tindaklanjutnya jelas.
Bahkan, Teguh menyarankan agar penggunaan bahu jalan dan strobo oleh pelat RFS bisa terkena ETLE. Selanjutnya penilangan menjadi dasar penilaian kinerja dan kepatuhan hukum penyelenggara negara serta dasar peninjauan penggunaan pelat khusus. "Hal serupa juga berlaku untuk kendaraan dinas TNI, Polri, dan PNS yang tidak dalam tugas pengawalan," ujarnya.
Menurun
Pada hari kelima penerapan ETLE, Rabu (5/2/2020) jumlah pelanggaran yang terekam terus menurun. Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya mencatat terjadi 174 pelanggaran pada Minggu, 161 pelanggaran pada Senin, dan 157 pelanggaran pada Selasa.
Anton (43), pengojek pangkalan, setuju pemberlakuan ETLE karena dapat mendorong pengendara untuk lebih tertib berberlalu lintas. Akan tetapi, dia masih sering melanggar ketika melintasi jalan tanpa ETLE. “Orang kalau sudah kena kamera, apalagi ada denda, pasti takut. Tapi di lampu lalu lintas biasa (tanpa kamera tilang), kan tidak ada denda (tilang),” kata Anton.
Sementara Darman (50), pengojek daring, sudah tahu pemberlakuan ETLE. Akan tetapi, dia masih sangsi terhadap tindak lanjut dari sistem tersebut. “Saya akui kalau lagi kosong (lalu lintas) tetap saya terobos. Tetapi kalau kamera ada di setiap ruas jalan dan sistem tilang elektronik diberlakukan dengan benar, pasti pada ikuti (tertib),” kata Darman.
Baca juga : Pelanggar yang Ditilang di Operasi Zebra Jaya Meningkat 10 Persen
Menurut pemerhati transportasi, Budiyanto, pengemudi dan warga harus diberikan pemahaman tentang ETLE agar tahu mekanisme hingga prosedur saat melanggar. Sebab, itu akan membentuk budaya tertib berlalu-lintas. "Pelanggaran sepeda motor masih masif sehingga perlu ada upaya paksa dalam sistem penegakan hukum. ETLE bisa memberikan efek jera secara bertahap sehingga budaya tertib berlalu lintas dapat terwujud," kata Budiyanto.
Efektivitasnya ETLE, kata Budiyanto, dapat dilihat beberapa indikator, yakni kamera pengawas yang merekam semua pelanggaran tanpa tebang pilih, bekerja 24 jam sehingga pengendara merasa diawasi, bukti pelanggaran tersimpan dan terverifikasi serta valid.
"Perlahan-lahan masyarakat jadi tertib karena tidak bisa kongkalikong, menjangkau banyak pelanggar sekaligus, dan dapat dipertanggungjawabkan," ujarnya.