Masuknya musim hujan tidak membuat kualitas udara Jakarta membaik. Jika permasalahan polusi tidak teratasi oleh kebijakan tegas dari pemerintah, masyarakat akan terus menanggung kerugian kesehatan dan ekonomi.
Oleh
Aguido Adri
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dari hasil pemantauan Greenpeace sepanjang 2019 hingga Januari 2020 melalui nilai indeks kualitas udara (AQI) PM 2,5 mikrogram per meter kubik (µg/m3), kualitas udara di sejumlah wilayah Jakarta masuk dalam kategori tidak sehat. Memasuki bulan Mei hingga Desember 2019 adalah periode terburuk pada 2019 dengan kategori rata-rata merah atau tidak sehat. Musim kemarau panjang menjadi salah satu pemicu kualitas udara yang buruk. Sementara, Januari, saat memasuki musim hujan, menunjukkan kualitas udara sedang hingga tidak sehat.
”Selain musim kemarau, tetap kendaraan bermotor penyumbang pencemaran udara tertinggi, sebesar 75 persen. Meski sebagian wilayah Indonesia masuk musim hujan, termasuk di Jakarta, bukan berarti kualitas udara di kategori sehat. Ini permasalahan klasik yang harus segera ditangani, tidak bisa mengandalkan hujan karena ada permasalahan lain, yaitu banjir. Beralih ke transportasi publik salah satunya untuk mengurangi polusi,” juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, Rabu (12/2/2020), di Jakarta.
Selain itu, kata Bondan, perlu regulasi ketat oleh pemerintah pusat dan daerah untuk segera melakukan transisi ke energi terbaru, menghentikan pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batubara dan menutup pembangkit listrik tenaga uap, berinvestasi dalam sistem transportasi umum yang saling terintegrasi, hingga memberlakukan aturan ketat penggunaan kendaraan bermotor.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah punya instrumen untuk memaksa pemilik kendaraan melakukan uji emisi. Berdasarkan Pasal 19 Ayat (1) Peraturan Daerah DKI Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, kendaraan bermotor wajib memenuhi ambang batas emisi gas buang.
Bahkan, secara progresif, hasil uji emisi disebut dalam Pasal 19 Ayat (5) sebagai bagian dari persyaratan membayar pajak kendaraan. Namun, perda ini dinilai tidak diikuti dengan pelaksanaan tegas oleh pemerintah, seperti tidak mengonversi bahan bakar minyak menjadi bahan bakar gas untuk semua kendaraan pemerintah dan kendaraan umum.
Menurut peneliti dari Pusat Penelitian untuk Perubahan Iklim Universitas Indonesia, Budi Haryanto, jika tidak ada upaya pemulihan kualitas udara secara masif, kerugian ekonomi dan kesehatan masyarakat akan terus meningkat. Dari hasil penelitiannya pada tahun 2010, sebanyak 57,8 persen warga Jakarta yang terpapar polusi menderita penyakit seperti arteri koroner sebanyak 1.246.130 (13 persen), asma bronkial sebanyak 1.210.581 (12,6 persen), bronkopneumonia atau infeksi peradangan paru-paru 153,742 (1,6 persen), dan berbagai penyakit lain.
”Estimasi biaya yang harus dikeluarkan warga Jakarta yang sakit akibat kualitas udara buruk minimum mencapai Rp 697 miliar hingga maksimal Rp 38 triliun. Tahun 2010, angka penderita dan estimasi biaya ini bisa terus naik jika melihat kualitas udara Jakarta yang buruk. Dampak polusi udara bahkan bisa menyebabkan jantung, kanker, hingga kematian dini,” kata Budi.
Sementara jika merujuk pada data Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), dari sekitar 9,9 juta warga DKI pada 2016 lalu, 58,3 persen menderita penyakit yang terkait dengan polusi udara. Total biaya medis mencapai Rp 51,2 triliun.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar, pada 2018, prevalensi asma kambuh di Jakarta masih sangat tinggi, yaitu 52,7 persen. Adapun prevalensi penyakit lain yang bisa dipicu polusi udara adalah ISPA dengan prevalensi 2,7 persen, ISPA pada anak balita dengan prevalensi 5,4 persen, pneumonia (2,2 persen), pneumonia pada anak balita (2 persen), dan asma (2,6 persen).
Budi melanjutkan, hasil risetnya bersama Pramitha E pada 2019 terhadap pengaruh paparan PM 2,5 menunjukkan bahwa 38,5 persen ibu rumah tangga mengalami gangguan fungsi paru-paru. Hal ini memperlihatkan, warga yang tidak terpapar langsung oleh polusi udara juga terancam.
Ia mengatakan, upaya pemerintah untuk menekan polusi, seperti menyediakan MRT dan membangun LRT serta melakukan tujuh langkah inisiatif yang sudah ditetapkan melalui Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara, perlu diapresiasi. Namun, semua itu belum cukup untuk menekan polusi di Jakarta. Target untuk memenuhi standar kualitas udara sehat PM 2,5 di bawah 25 dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akan sulit. Sementara rata-rata tahunan PM 2,5 Jakarta masih sekitar 40.