Sindikat Libatkan Pegawai Honorer Kecamatan Raup Ratusan Miliar Rupiah
Sindikat mafia tanah bermain peran sebagai pembeli dan notaris meraup miliaran rupiah dari lembaga pinjaman bermodal sertifikat tanah asli, setelah memerdayai pemilik menggunakan KTP el palsu.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Bermodus memalsukan sertifikat tanah serta kartu tanda penduduk pemilik rumah mewah, sindikat mafia tanah spesialis rumah mewah diperkirakan meraup hasil ratusan miliar rupiah. Mereka melibatkan staf honorer kantor Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan, untuk membuat KTP elektronik palsu menggunakan peralatan aset kantor.
Perbuatan sindikat ini sudah diungkap Kepolisian Daerah Metro Jaya sejak tahun lalu. Adapun oknum staf honorer Pamulang yang membantu tindak pidana tersebut bernama Dimas Okgi Saputra.
“Dengan bermodalkan KTP tersebut, para pelaku membuat kartu keluarga dan juga membuka rekening bank guna menampung hasil kejahatan,” kata Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Nana Sudjana dalam konferensi pers bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Rabu (12/2/2020), di Jakarta.
Secara total, ada sepuluh korban yang diperdaya sehingga komplotan tersebut meraup hingga ratusan miliar rupiah.
Nana menjelaskan, selain Dimas, terdapat sembilan orang lain yang ditetapkan sebagai tersangka, yaitu Diah alias Ayu, Raden Handi alias Adri, Dedi Rusmanto, Arnold, Neneng Zakiah, Denny Elza, Henry Primariady, Siti Dzubaedah alias Indah, dan Bugi Martono. Sebanyak dua orang, Diah dan Neneng, masih buron.
Pengungkapan kasus berawal dari laporan Indra Hoesein, pemilik rumah mewah di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang mendapati sertifikat hak milik (SHM) lahan rumahnya sudah dipalsukan. SHM asli miliknya dibawa para pelaku dan ditukarkan dengan sertifikat palsu pada Februari 2019. “Korban baru sadar dokumen sertifikat sudah ditukar pada September,” ujar Nana.
Jadi, Indra memang berniat menjual rumah mewahnya dan sudah memasang iklan di pagar rumah. Tersangka Diah lalu datang dan berpura-pura berminat membeli. Keduanya sepakat dengan harga Rp 65 miliar, setelah Diah menawar dari harga Rp 75 miliar.
Diah menyarankan pengecekan sertifikat dilakukan di kantor notaris dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) fiktif atas nama Dr H Idham SH Mkn di Jalan Tebet Timur Raya 4D, Jakarta Selatan. Raden Handi berperan berpura-pura sebagai Idham.
Saat di kantor notaris abal-abal tersebut, korban menyerahkan salinan SHM pada Raden untuk pengecekan. Setelah itu, Raden memberikan salinan sertifikat pada Dedi Rusmanto agar data-data di dalamnya bisa digunakan sebagai modal membuat SHM palsu.
Pada 29 Januari, Lutfi sebagai perwakilan Indra bersama Dedi yang mengaku perwakilan Diah datang ke Kantor Pertanahan Jakarta Selatan guna memastikan keaslian sertifikat. Setelah petugas kantor pertanahan menyatakan SHM asli, Dedi meminjam SHM dengan alasan perlu menyalinnya sebagai bukti pada Diah bahwa sertifikat sudah dicek.
Ternyata, Dedi pamit sebentar untuk mengeluarkan SHM palsu dari balik bajunya lantas menyembunyikan SHM asli. Lutfi kemudian tanpa curiga menerima SHM palsu dari Dedi setelah Dedi menyatakan SHM sudah selesai disalin. Sertifikat diserahkan Dedi ke Diah dan Arnold pada malam harinya serta menerima imbalan Rp 30 juta.
Para pelaku merencanakan SHM asli Indra tersebut dijadikan agunan untuk mendapatkan pinjaman hingga miliaran rupiah. Namun, rencana tidak akan berjalan lancar jika peminjam bukan Indra, seperti nama yang tertera di sertifikat. Di sinilah Dimas berperan penting.
Dimas menerima pesanan Arnold dan kawan-kawan untuk membuat KTP-el palsu dengan nama Indra Hoesein, tetapi dengan alamat tinggal di Kecamatan Ciputat Timur, Tangerang Selatan, sedangkan KTP Indra yang asli beralamat di Setiabudi, Jakarta Selatan. Foto KTP diganti dengan foto Henry, pemeran Indra.
Dimas juga membuatkan KTP palsu untuk Siti, yang berpura-pura menjadi istri Indra dengan nama Nadine. Nana mengatakan, tersangka Dimas memanfaatkan alat perekam KTP-el di kantornya. Peranti tersebut di antaranya komputer, kamera, pemindai retina mata, perekam sidik jari, serta perekam tanda tangan. Berkat Dimas, KTP palsu atas nama Indra dan Nadine dengan foto Henry dan Siti valid dan terdaftar di Tangerang Selatan.
Rupanya, Dimas sudah membuat KTP-el dengan data palsu lebih kurang untuk 80 identitas. Ia menerima upah Rp 1 juta per KTP-el.
Tanggal 14 Februari, Henry dan Siti mengurus peminjaman uang dengan membawa SHM asli Indra dan dokumen identitas palsu mereka. Mereka mengecoh pemberi pinjaman, Fendi, yang mencairkan uang Rp 11,17 miliar ke rekening bank milik Indra. Rekening itu juga dibuka dengan KTP-el palsu. Henry memindahkan uang di rekening itu ke rekening bank lain milik Bugi, yang kemudian menarik tunai di bank dan menyerahkannya ke Arnold serta Neneng.
Nana mengatakan, korban penipuan sindikat Arnold bukan hanya Indra dan Fendi. Secara total, ada sepuluh korban yang diperdaya sehingga komplotan tersebut meraup hingga ratusan miliar rupiah. Mereka beroperasi lebih kurang dua tahun sebelum akhirnya diungkap polisi.
Para tersangka dikenakan Pasal 263 dan/atau Pasal 264 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan/atau Pasal 3, 4, dan 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Mereka terancam hukuman penjara maksimal 20 tahun atau denda Rp 10 miliar.
Soal pembuatan KTP-el palsu oleh oknum staf honorer, Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Tangerang Selatan Dedi Budiawan mengatakan, pihaknya kaget mengingat jika mengikuti prosedur yang benar, seseorang yang direkam dua kali otomatis KTP-elnya bakal terblokir. Dinas menyatakan tidak tahu soal siasat Dimas membuat KTP-el dengan data palsu.
“Jangankan orang dalam. Orang luar yang disebut hacker (peretas) bisa menjebol bank. Ini barangkali kepintaran manusia yang jika disalahgunakan bisa menjadi kejahatan,” tutur Dedi.
Sementara itu, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil menyebutkan, pihaknya menargetkan digitalisasi sertifikat tanah di seluruh wilayah Indonesia guna mencegah pemalsuan sertifikat seperti dilakukan sindikat Arnold terulang. “Kami harapkan paling lambat 2024 seluruh dokumen pertanahan sudah digital. Kalau itu sudah selesai, kasus seperti ini tidak akan terjadi lagi,” ujarnya.
Selain itu, Sofyan menyarankan pada para pemilik properti mewah untuk datang ke pejabat pembuat akta tanah yang bereputasi jika ingin menjual properti mereka.