Susu Kental Manis Sudah Jadi ”Sahabat” sejak Kanak-kanak
Meski kandungannya didominasi glukosa, masih banyak orang menyukai kental manis sebagai minuman susu. Konsumsi berlebih kental manis berpotensi menimbulkan penyakit seperti diabetes dalam jangka panjang.
Oleh
Fajar Ramadhan
·4 menit baca
Menjadikan kental manis sebagai minuman susu masih sulit dihindari oleh sebagian orang. Meski kandungannya didominasi glukosa, tak sedikit yang menganggap kental manis bagaikan ”sahabat” mereka sejak kanak-kanak hingga dewasa.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor HK.06.5.51.511.05.18.2000 Tahun 2018 tentang Label dan Iklan pada Produk Susu Kental dan Analognya (Kategori Pangan 01.3). Di dalamnya, BPOM melarang penayangan visualisasi produk susu kental manis setara dengan susu sebagai pelengkap zat gizi.
BPOM menilai, susu kental manis mengandung kadar lemak susu dan protein yang berbeda dengan susu pada umumnya. Kandungan kadar lemak susu pada susu kental manis jumlahnya tidak kurang dari 8 persen. Adapun kandungan proteinnya berada di bawah 6,5 persen.
Renita Chandra Dewi, karyawan swasta di salah satu perusahaan telekomunikasi di Jakarta Pusat, sudah mengetahui bahwa susu kental manis bukanlah susu, melainkan pemanis untuk makanan. Meski begitu, hingga kini ia masih mengonsumsinya dalam bentuk minuman susu.
”Alasannya karena enak. Apalagi kalau lagi pengen yang manis-manis gitu,” katanya di Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Renita mengonsumsi kental manis sejak kanak-kanak. Belum lama ini, setelah membaca berita daring, ia baru mengetahui bahwa kental manis lebih banyak mengandung gula ketimbang kalori.
Hal yang sama dirasakan Nun Fatimarahim, mahasiswi semester 8 Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret. Meskipun sudah jarang, ia masih mengolah kental manis menjadi minuman susu.
”Sekarang, seringnya saya jadikan bahan campuran seperti kopi susu atau teh susu. Biasanya juga dibuat sebagai pemanis roti,” ujarnya.
Bagi Nun, kental manis sudah menjadi bahan yang selalu tersedia di dapur rumahnya sejak ia kecil sampai sekarang. Tak hanya diolah menjadi minuman susu, ia juga sering mendapati adiknya langsung mengonsumsi kental manis tersebut menggunakan sendok makan.
Ibu dan neneknya masih menyediakan kental manis di dapur lantaran harganya yang relatif murah. Bagi keluarga yang masuk kategori menengah ke bawah, kental manis ini lebih terjangkau ketimbang jenis susu bubuk atau susu cair.
”Susu kental manis dengan takaran dua atau tiga sendok makan saja sudah bisa jadi segelas susu,” ujarnya.
Bagi Nun, kental manis sudah menjadi bahan yang selalu tersedia di dapur rumahnya sejak ia kecil sampai sekarang.
Di sejumlah minimarket kawasan Jakarta Barat, harga susu kental manis berukuran 400-500 gram berkisar Rp 8.000 hingga Rp 14.000. Produk berukuran 400 gram bisa dijadikan sekitar 10 gelas minuman berukuran 250 mililiter. Jadi, dengan mengeluarkan uang Rp 14.000 saja, pembeli bisa mendapatkan total 2,5 liter minuman dari kental manis. Harga itu jauh lebih murah dibandingkan dengan susu cair yang harganya berkisar Rp 18.000 hingga Rp 25.000 per liter.
Batuk
Siti Listyawati (55), warga RT 004 RW 007, Kelurahan Karet Tengsin, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, menyadari dominasi gula pada kental manis setelah anak tetangganya mengalami batuk cukup lama. Setelah diperiksa dokter, ternyata hal itu dipicu konsumsi kental manis yang terlalu banyak.
Sejak itu, Siti yang berprofesi sebagai penjual makanan mulai membatasi konsumsi kental manis bagi keluarganya. Ia tak habis-habisnya menceramahi kedua anaknya yang sudah menjadi orangtua lantaran kerap memberikan susu dari olahan kental manis kepada anak mereka.
”Setiap cucu saya yang berusia 5 tahun minta susu itu, langsung saya buatkan susu bubuk atau susu cair,” katanya.
Ia mengakui, masalah ekonomi masih menjadi alasan bagi keluarganya untuk mengonsumsi kental manis tersebut. Terlebih, produknya juga mudah dijumpai di toko-toko kelontong ketimbang susu cair atau susu bubuk.
Imas Hasanah (40), warga RT 004 RW 009, Kelurahan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, masih menganggap kental manis sebagai susu. Meski begitu, ia mengaku jarang mengonsumsinya atau memberikan kepada anak dan suaminya. ”Keluarga jarang minum susu. Suami juga lebih suka minum kopi,” ucapnya.
Sebelumnya, Ketua Majelis Kesehatan Pengurus Pusat (PP) Aisyiyah Chairunnisa mengatakan, kandungan terbesar dari kental manis adalah glukosa atau gula. Anak yang mengonsumsi gula berlebihan bisa mengalami pengurangan nafsu makan. Dengan begitu, pemenuhan gizi seimbang amat sulit terwujud.
Saat dewasa, si anak juga berpotensi mengalami obesitas, sekaligus memicu munculnya penyakit-penyakit degeneratif. ”Bisa diabetes, jantung koroner, hingga stroke. Dampaknya tidak terlihat saat balita, tapi saat dewasa,” ujarnya.
PP Aisyiyah bersama Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) juga telah melakukan survei di Aceh, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Utara pada 2019 mengenai konsumsi kental manis. Hasilnya, dari 2.096 responden, sebanyak 37 persen masih beranggapan bahwa kental manis adalah susu, bukan pemanis makanan.
Survei tersebut menggunakan metode random sampling representative. Adapun responden yang dipilih adalah ibu yang memiliki anak pada rentang usia 0-59 bulan atau 0-5 tahun. Komposisinya, 22,1 persen responden berusia kurang dari 25 tahun dan 77,9 persen lebih atau sama dengan 25 tahun.