Ketidaktahuan hingga Keraguan Warga pada Ajang Formula E
Tidak semua warga Jakarta mengenal balapan Formula E. Sebagian meragukan perhelatan itu bisa berdampak pada perekonomian warga.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany/Aditya Diveranta
·4 menit baca
Kamis (13/2/2020) sore, kawasan Monumen Nasional, Jakarta Pusat, ramai oleh berbagai aktivitas warga. Ada yang berwisata, berswafoto, bercengkerama, hingga berolahraga. Semuanya larut dalam kesibukan masing-masing.
Mereka seakan tidak tahu ada polemik lokasi perhelatan balap Formula E. Ajang balapan yang mensyaratkan penggunaan mobil bertenaga elektrik sehingga pebalap harus sangat cermat agar baterai mobil listriknya tidak habis sebelum menyelesaikan balapan.
Noer Hafiez (34) misalnya. Warga Kalibata, Jakarta Selatan, ini tidak tahu tentang Formula E sehingga ragu-ragu ketika menjawab. Bahkan, menurut dia, itu ajang balap amatiran sehingga tidak tertarik untuk mencari tahu. ”Enggak tahu mobil (balapan) apa. Saya tahunya Formula 1,” ujarnya.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengumumkan Jakarta sebagai tuan rumah ajang balap itu bersama perwakilan Formula E di Monas, Jakarta, Jumat (20/9/2019).
Dua trek alternatif yang disiapkan Pemerintah Provinsi DKI masing-masing memiliki panjang sekitar 3,2 kilometer. Lintasan pilihan pertama dimulai dari Monas (Silang Monas Tenggara), Jalan MI Ridwan Rais, Tugu Tani, Jalan MI Ridwan Rais, Jalan Merdeka Selatan, Wisma Antara, lalu berputar ke Kedutaan Besar AS dan kembali ke Monas.
Sementara lintasan pilihan kedua dimulai dari Silang Monas Selatan, belakang Stasiun Gambir, Jalan MI Ridwan Rais, Jalan Merdeka Selatan, Bundaran Air Mancur, lalu kembali ke Silang Monas Selatan.
Hafiez menilai, Monas tidak cocok untuk sirkuit balap karena balapan membutuhkan lintasan yang panjang serta jalur yang steril. Untuk itu, balapan lebih cocok digelar di Sentul. ”Monas lebih cocok untuk kegiatan warga, seperti pesta rakyat. Kalau balapan, pasti ada bagian kawasan yang rusak,” katanya.
Total anggaran untuk Formula E dalam rancangan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) Jakarta 2020 mencapai Rp 1,16 triliun. Anggaran itu terdiri dari biaya penyertaan modal daerah untuk PT Jakarta Propertindo sebesar Rp 767 miliar dan commitment fee (biaya komitmen) penyelenggaraan Formula E senilai Rp 396 miliar.
Sebagai catatan, usulan anggaran Rp 1,16 triliun itu belum termasuk anggaran pendukung (pra-acara Formula E) yang dianggarkan Dinas Perhubungan (Rp 37 miliar), Dinas Pariwisata (Rp 15 miliar), dan Dinas Sumber Daya Energi (Rp 937 juta). ”Anggaran sebanyak itu bisa dikurangi kalau balapan di lokasi yang sudah ada lintasan, seperti Sentul. Sisanya bisa untuk perbaiki jalan-jalan rusak dan berlubang di Jakarta,” ujarnya.
Siti (40) sependapat dengan Hafiez. Pedagang makanan di area kuliner Monas itu tidak tahu apa-apa tentang Formula E. Bahkan, dia ragu pedagang kecil akan mendapat keuntungan dari ajang balap tersebut. Sebab, hematnya, hotel dan restoran paling banyak mendapat keuntungan dari wisatawan asing. ”Paling, hotel dan restoran yang paling banyak dapat untung. Kalau banyak warga lokal nonton, baru kami bisa dapat pemasukan lebih,” ujar Siti.
Ragu
Sebagian warga lain juga meragukan adanya dampak positif apabila balap Formula E digelar di kawasan Medan Merdeka. Mereka mengungkapkan berbagai alasan, mulai dari faktor gangguan mobilitas warga di pusat kota, terutama karena acara dilakukan saat akhir pekan.
Aris (32), warga yang berkantor di Jalan Sudirman, mengatakan, jalur Formula E yang direncanakan di sekitar Medan Merdeka akan mengganggu sebagian rute bus Transjakarta. Akses jalan menuju Medan Merdeka yang ditutup juga pasti akan menimbulkan kemacetan.
”Pengalaman saya di Malaysia, jenis balapan formula itu, kan, kecepatannya kencang sekali. Enggak mungkin kalau jalan tidak ditutup. Lagi pula, saya penasaran, aspal seperti di seputar Medan Merdeka itu apa bisa buat balapan?” kata Aris.
Agus (56), warga yang berkantor di Jalan Medan Merdeka Barat, juga berpendapat, balapan di kawasan Medan Merdeka pada akhir pekan akan mengganggu kegiatan warga saat hari bebas kendaraan bermotor. ”Formula E hanya tunjukkan gengsi,” ujarnya.
Medan Merdeka sebagai kawasan situs cagar budaya kurang etis untuk dijadikan lokasi balapan. Pertimbangan tersebut didasarkan pada Pasal 10 Undang-Undang Cagar Budaya. Pasal itu menyebutkan, suatu kawasan disebut sebagai cagar budaya apabila ada sedikitnya dua situs berdekatan, berumur lebih dari 50 tahun, dan memperlihatkan fungsi ruang di masa lalu.
Melihat nilai penting kawasan Medan Merdeka, Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) DKI Jakarta keberatan kawasan tersebut dijadikan lokasi balapan. Sebab, pemanfaatan kawasan Medan Merdeka berbeda dengan sejumlah negara yang dijadikan percontohan lokasi balapan, seperti Perancis dan Singapura.
Apabila membandingkan dengan Menara Eiffel di Perancis, tentu berbeda karena menara tersebut adalah lambang wisata. Sementara Monas yang berdekatan dengan Museum Nasional, Balai Kota, dan Istana Merdeka adalah lambang negara yang bersejarah.
Untuk itu, Ketua TACB DKI Jakarta Mundardjito menyarankan Jakarta punya lokasi lain yang menjadi ikon olahraga, yaitu Senayan. Saat ini persiapan lintasan di kawasan Monas masih berlanjut. Sesuai surat persetujuan dari Kementerian Sekretariat Negara, kawasan bisa dipergunakan asalkan mematuhi UU Cagar Budaya.
Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho memastikan pelaksana pembangunan sirkuit tetap mengakomodasi hal itu. Sirkuit mulai dikerjakan pekan depan. Lintasan yang melewati kawasan cawan Tugu Monas nantinya akan dilapisi aspal. ”Batu-batu permukaan di kawasan Monas (cobblestone) akan dilapisi aspal (hotmix),” ujarnya.
Pilihan diaspal karena cobblestone tidak termasuk cagar budaya. Yang termasuk cagar budaya antara lain Tugu Monas dan cawan. Pekerjaan ditargetkan selesai April 2020.