Manajemen risiko kebencanaan bisa dilakukan dengan keterlibatan publik. Tidak bisa sepenuhnya mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Jakarta sebesar Rp 87 triliun setiap tahun.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsep manajemen risiko bencana dari aspek keamanan finansial perlu disosialisasikan kepada masyarakat. Paradigma ini tidak hanya membangun kesadaran untuk mitigasi bencana dari segi infrastruktur, tetapi juga memastikan kerugian individual dan profesional bisa ditekan seminimal mungkin.
”Tantangannya adalah masyarakat Indonesia, termasuk di Jakarta, belum memiliki kebiasaan investasi ataupun asuransi kebencanaan,” kata peneliti ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan, ketika memaparkan hasil kajian kemitraan publik, pemerintah, dan swasta untuk manajemen risiko bencana, di Jakarta, Kamis (13/2/2020).
Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, ibu kota Indonesia memiliki risiko bencana antara lain banjir, kebakaran, kekeringan, konflik sosial, dan mati listrik yang melumpuhkan operasionalisasi publik.
Deni menjabarkan, pemerintah bisa mengambil pilihan berupa kampung tanggap bencana yang tidak hanya melakukan pelatihan masyarakat untuk kesiagaan menghadapi bencana secara fisik, seperti memastikan saluran air bebas dari sampah dan memindahkan perabotan ke atas rumah. Kampung tanggap bencana juga hendaknya memberikan pengetahuan keamanan finansial. Bentuknya bisa berupa asuransi pinjaman lunak ataupun asuransi mikro usaha kecil dan menengah.
”Masalahnya, pemerintah belum memiliki gambaran mengenai peta risiko kebencanaan yang sudah lama maupun jenis bencana baru dari dampak pembangunan wilayah. Akibatnya, metode mitigasi komprehensif belum terbentuk sehingga kebijakan mengenai asuransi kebencanaan belum ada. Baru perusahaan-perusahaan asuransi swasta yang memberi layanan ini dengan premi tinggi,” tutur Deni.
Padahal, jika asuransi kebencanaan dilakukan lewat konsorsium asuransi, tidak hanya melalui badan usaha milik negara dan daerah, premi yang ditagih bisa lebih rendah. Selain itu, konsorsium dapat memastikan persaingan sehat antar-perusahaan asuransi sembari memenuhi standar pelayanan dari pemerintah.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Nasruddin Djoko Surjono mengatakan, manajemen risiko kebencanaan bisa dilakukakan dengan keterlibatan publik. Tidak bisa sepenuhnya mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Jakarta sebesar Rp 87 triliun setiap tahun. Ibu kota memperoleh Rp 2.500 triliun per tahun dari produk domestik regional bruto (PDRB).
Kebutuhan biaya
Apabila pendapatan PDRB diserap oleh pemerintah provinsi, hal itu berdampak buruk terhadap sektor usaha masyarakat. Justru pada tahun 2021 Pemprov DKI Jakarta berencana menjual obligasi sebagai salah satu langkah memenuhi kebutuhan biaya pembangunan yang diperkirakan mencapai Rp 279,02 triliun untuk lima tahun ke depan.
”Perputaran uang masyarakat dari zakat dan infak, misalnya, tidak perlu melalui pemerintah. Dana ini bisa dipakai untuk membangun sistem manajemen risiko kebencanaan,” ucap Nasruddin.
Hal serupa diutarakan oleh Sekretaris BPBD DKI Jakarta Anthon Rante Parura. Lembaga pemerintah ini hanya memiliki pegawai sebanyak 67 orang yang tidak akan bisa turun ke lapangan menangani manajemen risiko setiap wilayah. Apalagi, BPBD Jakarta masih sebatas fungsi koordinasi, belum berfungsi untuk komando dan pelaksanaan. Butuh keaktifan publik untuk membantu menyebarluaskan informasi.
Ia mengungkapkan, tindakan mitigasi sudah dilakukan. Contohnya, pada banjir awal tahun 2020, pemprov sudah membersihkan saluran air dan mengeruk sungai. BPBD Jakarta memperkirakan akan ada 25 kelurahan dan 82 rukun warga (RW) yang akan terlena banjir.
”Kami tak menduga dampak perubahan iklim. Ketika Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mengumumkan curah hujan mencapai 377 milimeter per hari, perkiraan mitigasi meleset semua,” ujar Anthon.
Pemprov menyiapkan dampak untuk curah hujan 270 milimeter per hari seperti tahun-tahun sebelumnya. Ketika Jakarta dihajar hujan berfrekuensi tinggi, 130 kelurahan dan 340 RW terkena banjir.
Untuk manajemen risiko kebencanaan, ia berpendapat, pendekatan yang paling mudah dilakukan melalui lembaga-lembaga terstruktur, seperti sekolah, perguruan, tinggi, dan perusahaan, dengan cara memperkenalkan konsep tersebut kepada pegawainya. Hal ini sudah dilakukan Asosiasi Pengusaha Indonesia.
”Kalau langsung ke akar rumput, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Lembaga-lembaga ini harus ikut serta membantu mengadvokasi,” katanya.