Ajang Formula E yang akan digelar pada 6 Juni 2020 tengah menuai polemik. Untuk apa sebenarnya gelaran acara ini?
Oleh
Aditya Diveranta/Fransiskus Wisnu Wardhana Dhany
·4 menit baca
Sejak akhir tahun 2019, publik ramai membincangkan ajang balapan mobil bertenaga listrik atau Formula E. Program ini sebelumnya sempat dibicarakan sebagai salah satu program prioritas Gubernur DKI Jakarta, tetapi tidak termasuk program kegiatan strategis daerah.
Usulan anggaran sebesar Rp 1,16 triliun itu menuai polemik di tengah sejumlah alokasi anggaran yang bersinggungan dengan kepentingan rakyat terpotong. Salah satunya, yakni subsidi transportasi yang dipotong dari angka Rp 6,6 triliun menjadi Rp 5,7 triliun.
Selain soal anggaran, Formula E juga menuai polemik lantaran penentuan lokasi sirkuit di kawasan Medan Merdeka. Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Provinsi DKI Jakarta Mundardjito, Rabu (12/2/2020), mengatakan, kawasan tersebut tidak cocok sebagai lokasi sirkuit karena kemungkinan akan merusak sistus cagar budaya. Ia pun mempermasalahkan penggunaan sirkuit di Medan Merdeka yang sempat mendapat izin dari Kementerian Sekretariat Negara.
Terlepas dari polemik yang berlangsung kini, publik telanjur menilai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ”ngoyo” terhadap program Formula E. Hal itu diungkapkan sebagian warga Jakarta, Kamis (13/2). Mereka menilai, ajang ini lebih pada prestise kota semata.
Agus (56), warga yang berkantor di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, misalnya, menilai Formula E terlalu memaksakan diri. Padahal, banyak masalah di Jakarta yang membutuhkan alokasi anggaran lebih banyak. Penanganan banjir merupakan salah satunya.
Aris (32), warga yang berkantor di Jalan Medan Merdeka Barat, berpendapat serupa. Ia meragukan penyelenggaraan Formula E di tengah anggaran daerah yang kabarnya serba terbatas.
”Sepengalaman saya di Malaysia, jenis balapan formula itu, kan, kecepatannya kencang sekali. Saya penasaran aspal seperti di seputar Medan Merdeka itu apa bisa buat balapan? Pasti butuh dana lagi untuk perbaikan jalan, kan,” tutur Aris.
Pendapat sebagian warga pun menimbulkan tanya, apakah Formula E hanya untuk mencari prestise semata?
Berbeda dengan cara pandang Aris, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada September 2019 mengatakan, kegiatan ini diprediksi dapat menggerakkan perekonomian hingga Rp 1,2 triliun. Keuntungan tersebut baru akan terasa secara jangka panjang.
Meski begitu, belum ada bukti yang membenarkan keuntungan secara jangka panjang apabila melihat rekam jejak ajang Formula E. Dalam sebuah artikel yang dipublikasi Forbes, November 2019, perusahaan Formula E Operations (FEO) yang menggagas ajang ini masih rugi sekitar 155 juta dollar AS selama enam tahun terakhir.
CEO Formula E Alejandro Agag mengatakan kepada Reuters pada 2017, kerugian tersebut lantaran perusahaan masih menggenjot dari sisi promosi dan pemasaran ajang Formula E. Ia mengaku perusahaan dapat segera menutup kerugian sejak 2017, tetapi dirinya merasa ajang Formula E masih perlu banyak publikasi dan penambahan kegiatan lomba di beberapa tempat.
Dalam laporan keuangan terbaru FEO, dilaporkan bahwa pada 31 Juli 2018 mereka mendapat pemasukan sebesar 143,5 juta dollar AS, tetapi masih merugi sebanyak 28,4 juta dollar AS. Meski angka pendapatan mereka terus meningkat setiap tahun, pola kerugian serupa terus terulang selama enam tahun ajang terselenggara.
Kendati terus tumbuh, Formula E juga tidak jarang dilanda kontroversi. Di Montreal, Kanada, ajang tersebut sempat diprotes oleh sekitar 70 persen pelaku usaha di sana lantaran mengalami kerugian, 28,6 persen dari mereka mengaku tidak mendapat keuntungan, sementara hanya 1,4 persen yang mengaku mendapat laba.
Hal itu terungkap dalam survei organisasi bernama The Formule Citoyenne. Dalam survei tersebut, 49 dari 70 pelaku usaha mengaku rugi akibat pelaksanaan Formula E di Montreal.
FEO, melalui keterangan tertulis, saat itu mengakui faktor untung rugi sangat bergantung pada kota penyelenggara. Mereka berkilah, penyelenggaraan balapan di pusat kota membawa tantangan tersendiri dan menarik sebagian peminat. Pada kasus Montreal, pelaku usaha mengaku rugi sekitar 500-18.000 dollar AS selama akhir pekan.
Berkaca pada sejumlah hal di atas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berarti kini sedang mempertaruhkan dana miliaran untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang. Apalagi, dana penyelenggaran untuk tahun ini sebagian besar dikucurkan dari APBD.
Pengamat olahraga Aswin Regawa menilai, penyelenggaraan Formula E dengan dana APBD adalah langkah yang berisiko. Sebab, belum ada yang dapat menjamin bahwa Formula E akan mendatangkan keuntungan.
Meski begitu, pelaku usaha tetap berharap setidaknya Formula E dapat mendatangkan keuntungan. Paling tidak, ajang tersebut meningkatkan kunjungan wisata.
”Kalau pameran mobil, biasanya publik gila-gilaan, kan. Acara otomotif termasuk menarik dan digemari di mana pun. Saya optimistis Formula E memiliki potensi mendatangkan wisatawan ke Jakarta. Masalahnya, orang enggak percaya dengan Gubernur DKI Jakarta. Coba gubernurnya bagus, pasti enggak ada masalah,” kata Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Haryadi Sukamdani.
Di tengah ketidakpastian keuntungan, Aswin menyarankan agar Pemprov DKI Jakarta segera menyiapkan skema pendanaan dari pihak swasta. ”Di Berlin, New York, Paris, dan Monaco, yang saya tahu mayoritas pembiayaan didanai oleh swasta. Jadi, pembiayaan dibebankan ke event organizer-nya,” ujarnya. Jika tidak begitu, sulit bagi Jakarta meraup keuntungan dari Formula E.