Seniman Ondel-ondel Lawan Stigma Negatif
Jangan melihat ondel-ondel sekedar tampilan kami sebagai pengamen. Kami ingin ondel-ondel diterima sebagai pertunjukan seni dan budaya. Jika ondel-ondel hilang, kita kehilangan nilai keberagaman di tengah masyarakat.
Stigma negatif tak menyurutkan semangat Tatan (24) dan kawan-kawannya untuk terus melestarikan budaya Betawi. Mereka tidak ingin ondel-ondel hanya menjadi benda mati atau pajangan semata. Mereka akan tetap berjalan menyusuri setiap sudut kota di Jakarta.
Di trotoar tak jauh dari Markas Besar TNI di Cipayung, Jakarta Timur, Senin (10/2/2020) sekitar pukul 14.00, Tatan yang membawa gerobak musik, Yudi (18) membawa ember cat kecil berisi uang receh, dan Soleh (21) yang membopong boneka perempuan menghentikan langkah mereka untuk beristirahat sejenak. Tatan mematikan alunan musik rekaman gambang keromong berjudul ”Sirih Kuning” dan segera membantu Yudi mengangkat ondel-ondel yang dibopong Soleh. Keringat bercucuran di kening Soleh dan membuat bajunya basah.
Setelah hampir empat jam berjalan menyusur jalan, membuat ke tiga pria asal Pulo Gebang, Cakung, Jakarta Timur, itu lapar dan haus. Yudi lalu duduk jongkok menghitung uang. ”Lumayan nih dapat Rp 93.200. Gue ambil Rp 35.000 ya buat beli minum dan makan. Laper euy,” kata Yudi bergegas mencari warung tegal terdekat. Tak lama kemudian, pria bertubuh kurus itu datang membawa tiga bungkus makan berisi nasi telur sambal dan sayur labu serta satu botol air mineral dingin ukuran 1,5 liter.
Selain di Jakarta Timur, Tatan dan kawan-kawannya juga kerap menyusur jalan dan masuk ke sejumlah perkampungan di Jakarta Selatan. Untuk menghemat pengeluaran, mereka tidak setiap hari pulang ke rumah di Pulo Gebang. Biasanya setelah tiga hari atau bahkan empat hari menyusur jalan, mereka baru pulang. Oleh karena itu, mereka kerap membawa pakaian.
Baca juga: Betawi Tersisih, Jakarta Merugi
Bagi Tatan, tak memungkiri masalah ekonomi menjadi salah satu faktor ia bersama teman-temannya turun ke jalan menjadi pengamen ondel-ondel. Namun, ia keberatan jika mereka dianggap mencoreng budaya Betawi atau menyalahgunakan ondel-ondel hanya untuk mencari uang semata.
”Bukankah kehadiran ondel-ondel sejak dulu itu berbaur dengan kehidupan masyarakat? Kami memahami ada stigma negatif yang muncul. Itu sudah terjadi lama. Namun, kami tak mau terus terjebak. Ada yang lebih penting dari sekadar stigma negatif atau dari sisi permasalahan ekonomi, yaitu kami ingin melestarikan budaya Betawi. Kami ingin ondel-ondel terus ada di tengah masyarakat. Orang Betawi sudah tersisih dari kampungnya, kami tidak ingin ondel-ondel juga semakin tersisih,” kata pria yang sudah menjadi pengamen ondel-ondel sejak 2014.
Kesadaran Tatan untuk tetap menjadi pengamen ondel-ondel sangat kuat, karena pengaruh cerita dari almarhum kakeknya tentang budaya Betawi, salah satunya kesenian ondel-ondel. Kakek Tatan masih merasakan kehadiran ondel-ondel yang selalu disambut ketika masuk ke perkampungan warga di Jakarta.
Kegembiraan selalu hadir ketika sepasang ondel-ondel laki-laki dan perempuan bergoyang mengikuti irama musik pemain tanjidor. Kehadiran ondel-ondel tersebut dirayakan atas rasa syukur atau untuk keselamatan kampung dari hal-hal negatif atau tolak bala. Dengan sukarela, warga akan memberikan uang sebagai tanda terimakasih.
Dengan mengenal budaya Betawi melalui ondel-ondel dari sang kakek, kata Tatan, membuat dirinya memahami arti keberagaman dan berusaha untuk menghargai setiap individu yang berbeda.
”Ondel-ondel itu ada percampuran budaya China. Ada perbedaan budaya yang bersatu lalu menjadi satu budaya. Itu nilai yang engkong dan babe turunin ke gue, nilai untuk menerima, menghargai, dan menjaga nilai Betawi. Kite kagak boleh tuh ninggalin nilai-nilai itu, bisa berabe,” tutur Tatan meniru pesan dari engkongnya.
Tidak bisa dimungkiri, pertumbuhan dan perkembangan Jakarta menjadi kota megapolitan menggeser kampung Betawi sekaligus kebiasaan adat istiadatnya. Hal ini berdampak juga pada ondel-ondel yang tak lagi dimaknai sebagai sebuah rituali yang harus dirayakan secara bersama.
”Jangan melihat ondel-ondel sebagai benda mati yang berjalan saja atau dari tampilan kami sebagai pengamen. Kami ingin ondel-ondel diterima sebagai pertunjukan seni dan budaya. Jika ondel-ondel hilang, artinya kita kehilangan nilai keberagaman di tengah masyarakat. Kami tak ingin itu terjadi. Walau stigma negatif masih kuat melekat, kami tetap akan berusaha menjaganya dengan turun ke jalan dan masuk ke kampung-kampung,” tutur Tatan.
Kekhawatiran Tatan akan tersingkirnya ondel-ondel di tengah hirup pikuk Jakarta tak lepas dari wacana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merevisi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi. Pemprov menilai ondel-ondel saat ini tak selaras dengan peran ondel-ondel sebagai ikon dari kebudayaan Betawi karena kerap digunakan sebagai sarana mengamen.
Keresahan yang sama juga dirasakan oleh Andri (18). Perlakuan negatif dari masyarakat, seperti diusir dan dipandang sinis, menjadi makanannya sehari-hari. Ia sadar, pandangan negatif muncul dari masyarakat tak lepas dari tampilan dan cara mereka meminta-minta. Tak hanya itu saja, ondel-ondel kerap dijadikan alat untuk menakuti anak-anak.
Ia tidak bisa menyalahkan pandangan negatif tersebut dan menerima sebagai konsekuensi yang harus dijalani. Namun, bukan berarti pandangan negatif itu harus terus dipelihara.
Menurut dia, daripada Pemprov DKI Jakarta melarang keberadaan ondel-ondel sebagai obyek pengamen, lebih baik menyosialisasikan nilai-nilai Betawi, seperti kesenian ondel-ondel di ruang interaksi publik dan sekolah. Hal itu ia anggap penting agar ada kesepahaman terkait makna ondel-ondel. Selain itu, pemerintah juga harus memberi ruang kesenian bagi seniman ondel-ondel.
”Kami tak memainkan musik secara langsung. Namun, jika tak ada ondel-ondel di tengah masyarakat, orang akan semakin asing dengan budaya Betawi. Lagi dan lagi, Betawi tersisih di kotanya sendiri. Jangan jadikan ondel-ondel sebagai benda mati terpajang di depan pintu saja dan ondel-ondel jangan hanya ada pada saat acara besar saja,” kata pria yang ditemui tak jauh dari Stasiun Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (9/2/2020) malam.
Ruang kesenian, kata Andri, akan membuka interaksi dengan warga. Ini terbukti ketika mereka ikut dalam pesta atau acara kebudayaan, seperti peringatan ulang tahun Jakarta. Namun, stigma negatif akan muncul kembali ketika ia dan teman-temannya muncul lagi di jalanan.
Baca juga: Ondel-ondel, antara Pelestarian Budaya dan Sumber Penghidupan
Saya bangga bisa mengenalkan budaya Betawi melalui ondel-ondel dan lagu-lagunya meski sayang, ruang kesenian dan acara kebudayaan di Jakarta jarang dan masih ada pandangan negatif tentang kami,” kata Andri.
Rayakan keberagaman
Menurut budayawan Betawi dari Komunitas Bambu, JJ Rizal, ondel-ondel merupakan simbol keberagaman atau pluralisme. Ini karena budaya Tionghoa dan Bali menguatkan arti ondel-ondel.
”Ondel-ondel merupakan kebudayaan agraris Betawi. Ondel-ondel semakin kaya ketika kebudayaan Tionghoa datang. Orang Tionghoa mempunyai tradisi menaruh dua boneka besar bernama Yomas di depan pintu ketika salah satu anggota keluarga mereka meninggal. Boneka ini berpakaian warna cerah. Boneka Yomas memiliki konsep Yin dan Yang. Konsep keseimbangan antara baik dan buruk,” kata Rizal.
”Lalu ada unsur budaya Bali, yaitu ogoh-ogoh. Kedua budaya ini diadopsi sehingga semakin menguatkan arti ondel-ondel sebagai tolak bala di kampung-kampung Jakarta,” katanya.
Kehadiran ondel-ondel di kampung-kampung, kata Rizal, untuk menyambut musim baru dan mengusir roh-roh jahat. Sedari awal, ondel-ondel biasa digunakan untuk mengamen. Mereka dibayar secara sukarela oleh warga sebagai tanda terima kasih sudah menjaga kampung dari hal-hal jahat.
Baca juga: ”Anak Ondel”, Kisah yang Tersisa dari Pesta Pergantian Tahun
”Seperti ronda malam yang juga jual jasa keamanan, begitu pula dengan ondel-ondel, tetapi mereka jual jasa spiritual. Mereka mengusir hal-hal jahat. Jika ondel-ondel muncul orang bersyukur, ketika mereka datang artinya kampung warga akan aman selamat dan jauh dari marabahaya,” tutur Rizal.
Pada 1970-an, Ali Sadikin mengangkat ondel-ondel sebagai budaya Betawi dan ikon Jakarta. Ondel-ondel diletakkan di depan pintu-pintu kantor pemerintahan, mulai dari kantor kelurahan, kecamatan, hingga kantor gubernur. Hal ini dilakukan agar kantor-kantor tersebut terhindar dari hal-hal buruk dan melindungi para pegawai di dalamnya.
Memasuki tahun 1980-an, ondel-ondel semakin populer. Namun, ondel-ondel perlahan tidak lagi menjadi sebuah perayaan kebudayaan. Nilai ondel-ondel semakin tak dikenal dan jauh dari nilai pluralisme dan tolak bala.
Menurut Rizal, ondel-ondel menjadi benda mati semata dan kehilangan makna meski menjadi ikon budaya Betawi dan menjadi obyek pariwisata. Hal ini karena kurangnya pemahaman nilai budaya Betawi, kurangnya perhatian, dan pembinaan dari pemerintah. Padahal, ondel-ondel akan semakin berkembang dari gerakan masyarakat.
Akibat tidak adanya perhatian dan pembinaan, banyak hal yang tidak sesuai dengan nilai ondel-ondel. Salah satunya lagu-lagu tanjidor yang mencerminkan budaya Betawi justru diganti dengan lagu dangdut atau lagu populer lainnya. Stigma negatif pun akhirnya muncul dari masyarakat yang hanya menganggap ondel-ondel sebagai obyek musik jalanan semata.
Baca juga: Ondel-ondel ”Punye Cerite” di Tanah Betawi
”Pemerintah seharusnya lebih serius membina para seniman sehingga ondel-ondel mendapat respons baik. Pembinaan dan pengenalan konsep ondel-ondel perlu sejak dini. Jadikan ruang kebudayaan sebagai ruang pembelajaran. Pemerintah harus memasuki ruang itu, ruang akademis dan ruang masyarakat (komunitas),” kata Rizal.
Ia melanjutkan, jika ingin mengembalikan nilai-nilai keberagaman melalui ondel-ondel, masyarakat, terutama anak-anak, harus masuk ke dalam ruang kebudayaan Betawi. Pembinaan tidak hanya dari seni dan budaya ondel-ondel, tetapi lebih jauh tentang pesan di balik ondel-ondel. Kearifan lokal ini bisa digiring ke banyak hal, termasuk menjauhkan anak-anak jalan dari hal negatif.
”Jika pemprov membolehkan aktivitas dagang di ruang-ruang publik, kenapa aktivitas budaya tidak boleh. Jika ondel-ondel dilarang dan tidak ada ruang untuk hadir di publik, ruang kebudayaan Betawi hilang. Justru melalui ondel-ondel memupuk generasi muda untuk mencintai budayanya dan belajar dari kearifan lokalnya,” kata Rizal.
Akulturasi budaya pada ondel-ondel, kata Rizal, membentuk suatu nilai budaya yang kuat dan mengandung nilai pluralisme yang perlu dirayakan di tengah kritisnya nilai pluralisme di Jakarta.
”Jangan hanya menjadi pajangan. Budaya Betawi harus dirayakan, pluralisme perlu dirayakan, ondel-ondel perlu dirayakan,” kata Rizal.
Baca juga: Menyulap Limbah Jadi Berkah