Kisah Lama Prostitusi Anak di Ibu Kota
Dari penelusuran arsip berita di ”Kompas”, prostitusi anak di Jakarta sudah tercatat ada sejak 1967. Industri ini terus eksis karena permintaan dan penawaran selalu ada dengan anak-anak yang selalu jadi korban.
Prostitusi anak di Jakarta bukanlah cerita baru. Kegiatan jasa ini ada sejak ada permintaan menggunakan anak sebagai obyek pemuas seksual. Kemiskinan bukan pendorong utama, melainkan ada faktor lain, seperti ketidakharmonisan keluarga, gaya hidup konsumtif, mitos dan tradisi, serta jaringan kriminal industri seks anak.
Kisah prostitusi hadir dalam sejarah di Indonesia sejak zaman kerajaan dulu kala. Para raja memiliki sejumlah selir yang jumlahnya banyak. Para selir tersebut mendapatkan imbalan dari raja berupa uang sampai kehidupan yang nyaman di dalam kerajaan. Praktik pelacuran ini terus berkembang hingga sekarang dan tidak berhenti sesuai permintaan ”pasar”.
Aktor praktik pelacuran ini tidak hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak di bawah umur 17 tahun. Unicef dalam dokumen A/50/456 mendefinisikan pelacuran anak sebagai perbuatan dengan menggunakan atau menawarkan jasa seksual anak untuk melakukan kegiatan seksual demi uang atau pertimbangan lainnya dengan seseorang atau beberapa orang.
Berdasarkan penelusuran pemberitaan Kompas, berita mengenai prostitusi anak sudah terjadi sejak 1967. Diberitakan pada tanggal 28/06/1967, sejumlah pelajar perempuan dan laki-laki menjadi pemuas seks pria dan wanita dewasa. Caranya, memakai perantara pria dan wanita dewasa yang bisa membujuk dan memberikan berbagai hadiah kepada anak, seperti buku sekolah, uang, barang berharga, dan mengajak ke acara dansa di hotel internasional.
Pada era itu, tercatat di Jakarta, dari 20.000 orang, 1.600 orang di antaranya sudah menjadi wanita ”P” sebelum umur 15 tahun (Kompas, 21/08/1970). Jumlah ini terus meningkat. Dalam lingkup Indonesia, dari berita Kompas (24/07/1998), tahun 1998, prevalensi pelacur anak di Indonesia antara 140.000 dan 200.000. Jumlah ini 30 persen dari jumlah pelacur dari berbagai usia yang mencapai 650.000 orang.
Kemudian tahun 2000, Unicef Indonesia memperkirakan 40.000-70.000 anak, terutama anak perempuan, dieksploitasi secara seksual dan terikat dalam jaringan prostitusi anak (Kompas, 1/12/2000). Terakhir, International Programme on the Elimination of Child Labour-International Labour Organization (ILO-IPEC) pada 2011 pernah melakukan penelitian tentang pelacuran anak di beberapa kota di Indonesia dan menemukan fakta ada sekitar 24.000 anak yang dilacurkan.
Kemiskinan
Faktor kekurangan ekonomi selalu menjadi alasan terjadi prostitusi anak. Ada anggapan anak merupakan properti keluarga yang bisa ”dijual” saat keluarga membutuhkan uang. Penjualan ini biasanya banyak terjadi pada anak perempuan.
Orangtua kandungnya tega menyerahkan anaknya krpada mucikari untuk dijadikan pekerja seksual. Orangtua akan mendapatkan imbalan untuk membayar utang atau memenuhi kebutuhan sehari-hari. Alasan inilah yang umum terjawab sebagai faktor pendorong munculnya prostitusi anak.
Sebut saja kasus anak di Jember tahun 1992. Seorang ibu tega menjual anak perempuannya kepada mucikari untuk menjadi WTS di Bontang, Kalimantan Timur, guna mendapatkan tambahan uang. Kemudian kisah beberapa anak di sejumlah lokalisasi di Jakarta yang terpantau oleh Kompas pada 1995 lalu. Juga terkuaknya kasus prostitusi online yang marak terjadi akhir-akhir ini di Apartemen Kelapa Gading dan Kalibata.
Namun, faktor kemiskinan ini tidak berdiri sendiri. Ada sejumlah faktor pendorong dan penarik lainnya yang melatarbelakangi terjadi prostitusi anak.
Mitos
Penggunaan anak-anak ini terkait dengan sejumlah mitos yang berkembang di masyarakat. Dikutip dari Kompas, 10/07/1997, berkembang kepercayaan, keperawanan para gadis bisa membuat orang awet muda dan makin jantan. Bahkan, ada juga yang menyebut kesaktian seseorang hanya bisa dipertahankan dengan merampas keperawanan anak gadis.
Ada juga tradisi yang meyakini bahwa adanya laki-laki yang menghendaki seks dari anak mereka sebagai kehormatan dari keluarga tersebut. Tradisi ini juga berkembang di barat daya India, para pemeluk Devadasi memersembahkan anak-anak gadisnya untuk menjadi pelacur demi tujuan religius.
Mitos ini semakin berkembang saat ada persepsi bahwa bermain seks dengan anak kecil masih bersih dan tidak mempunyai kemungkinan menularkan virus HIV atau penyakit menular seksual lain kepada pelanggan. Namun, mereka tidak menyadari bahwa justru orang dewasalah yang menularkan berbagai bibit penyakit kepada anak-anak.
Industri jasa
Berkembangnya mitos dan persepsi serta tuntutan kebutuhan hidup melahirkan hukum permintaan dan penawaran. Jika dulu anak bisa dijual langsung pada orang dewasa, kini melalui perantara yang biasa disebut muncikari. Jaringan muncikari yang ingin mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya membangun industri jasa seks anak. Mulailah muncikari mencari korban anak untuk dijadikan pekerja seksual.
Rata-rata anak korban prostitusi selain karena faktor kebutuhan hidup, juga terjerumus karena berbagai iming-iming dari muncikari. Dari berbagai kasus dalam berita Kompas, korban anak-anak, baik laki maupun perempuan, dijanjikan akan menjadi pelayan restoran/kafe. Padahal, setelah itu, mereka dipaksa untuk melayani tamu dengan bayaran nilai tertentu setiap jamnya.
Seperti pada kasus di Rawa Bebek, Penjaringan, Jakarta Utara. Enam tersangka berperan sebagai muncikari, perekrut, serta tukang kebersihan di kafe yang memperkerjakan anak. Anak-anak direkrut dari sejumlah lokasi di luar Jakarta dan ditawari gaji Rp 5 juta-6 juta per bulan. Korban anak tergiur dan tidak menyangka akan dipekerjakan di bisnis prostitusi.
Setelah itu, para muncikari memaksa anak-anak tersebut menemani tamu kafe dan lanjut melayani hubungan seksual dengan bayaran Rp 150.000 per konsumen. Namun, si anak hanya menerima Rp 60.000 per layanan, sisanya untuk pemasukan muncikari.
Pola kasus yang sama terjadi di beberapa tempat di Jakarta, seperti yang terbongkar belakangan ini (Aparteman Kalibata City dan Kelapa Gading). Para muncikari untuk menawarkan anak-anak ini tidak hanya sekadar menunggu konsumen yang datang ke kafe, tetapi juga memanfaatkan internet untuk memasarkannya.
Baca juga: Sembilan Anak Jadi Korban Perdagangan Manusia di Jakarta Utara
Baca juga: Sepuluh Anak Korban Prostitusi Terinfeksi Radang Serviks
Prostitusi online tercatat dalam berita Kompas mulai muncul tahun 2012. Saat itu muncikari MYS yang masih berusia 19 tahun ”menjajakan” korbannya melalui akun Facebook. Kemudian tahun 2013, HFIH (24), mahasiswa, diduga menjadi otak prostitusi online di Kota Bogor. Mahasiswa dari Bogor tersebut menawarkan delapan gadis berusia 15-18 tahun melalui laman www.bogorcantik.blogspot.com. Hingga akhirnya terus berkembang saat ini.
Faktor intern
Selain itu, menurut paper ”Melawan Praktik Prostitusi Anak di Indonesia dan Tantangannya” (The Institute for Criminal Justice Reform/ICJR, 2017), praktik prostitusi anak juga bisa saja terjadi karena faktor intern dari anak itu sendiri meski tidak banyak kasus terjadi karena faktor ini.
Pertama, soal gaya hidup konsumtif pada anak. Pengaruh budaya konsumtif yang menampilkan kemewahan membuat para remaja tergoda untuk ingin memiliki dan menikmatinya. Jika orangtuanya mampu, hal tersebut akan terpenuhi. Namun, banyak juga yang berasal dari kalangan bawah sehingga beberapa dari mereka terjebak dalam aktivitas prostitusi.
Beberapa di antaranya melakukannya dengan sadar. Namun, beberapa tidak sengaja, seperti pada kasus pekerja seks anak yang direkrut muncikari dengan iming-iming bayaran tinggi.
Ketidakharmonisan keluarga juga menjadi faktor pendorong. Beberapa dari mereka memilih dari rumah saat orangtuanya bercerai hingga akhirnya masuk ke dalam lingkaran prostitusi seksual. Ada juga yang sebelumnya telah mengalami kekerasan seksual dari orang terdekatnya hingga akhirnya memilih untuk menceburkan diri dalam prostitusi.
Ke depan, bisa jadi kasus prostitusi anak akan semakin banyak seiring dengan tuntutan kebutuhan hidup dan perkembangan zaman. Hal ini menuntut peran semua pihak untuk menghentikannya supaya hukum permintaan dan penawaran untuk prostitusi anak tidak lagi berjalan.
Baca juga: Anak Indonesia ”Gagal” Dilindungi