Sayup-sayup Suara Takut di Antara Jutaan Penumpang
Keamanan dan kenyamanan pengguna angkutan umum belum sepenuhnya terjamin karena berulangnya kasus pelecehan seksual. Ini pekerjaan rumah yang belum tuntas di tengah peningkatan jumlah penumpang.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany
·4 menit baca
Seorang perempuan, pekerja kantoran di Jakarta Pusat, hanya terdiam membisu, Kamis (13/2/2020), jelang tengah malam. Dirinya merasa terancam, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa. Badannya seolah mati rasa dan air mata bercucuran sesaat setelah turun dari bus Transjakarta.
Malam itu, dia menaiki Transjakarta rute 1N tujuan Blok M-Tanah Abang. Di dalam bus hanya ada segelintir penumpang yang sebagian besar memenuhi deretan bangku bagian depan. Karena itu, dia duduk di bagian belakang pada baris kiri dengan posisi menghadap pintu.
Berlawanan dengannya, duduk seorang pria dengan posisi menunduk di sepanjang perjalanan. Pria itu tampak seperti orang sakit. Sementara kedua tangannya masuk ke dalam celana. ”Pas turun, gue baru sadar dia melenguh ’ah ah’ sambil liatin gue,” ujar pekerja itu.
Lelaki itu memanfaatkan kesempatan saat bus dalam kondisi sepi. Dia melampiaskan hasrat seksualnya di depan pekerja perempuan itu. Lelaki itu semakin leluasa beraksi lantaran ketiadaan petugas di dalam bus setelah pemberlakuan sistem wayfinding. Sistem ini memindahkan petugas dari dalam bus ke halte untuk turun dan naik penumpang. Tujuannya melatih kemandirian penumpang dalam bertransportasi.
PT Transjakarta mencatat 80 kasus pelecehan seksual sepanjang 2018-2019. Mereka menyikapinya dengan sosialisasi prosedur 3M (menegur, memisahkan korban dan pelaku, dan melapor kepada petugas) apabila melihat pelecehan seksual.
Inisiatif lain ialah mengoperasikan bus berwarna pink khusus untuk perempuan, memisahkan tempat duduk penumpang (perempuan di bagian depan dan laki-laki di belakang), pemasangan kamera pemantau, dan menyiapkan pos pengaduan di halte.
Gunung es
Pelecehan seksual di angkutan umum, seperti Transjakarta dan kereta rel listrik, bukanlah hal baru dan layaknya fenomena gunung es. Sebab, tidak banyak korban yang mau berbicara atau menyuarakan apa yang dialaminya.
PT Kereta Commuter Indonesia mencatat 25 kasus pelecehan seksual di dalam KRL pada 2017 dan tidak ada kasus yang berlanjut ke kepolisian. Jumlah itu meningkat menjadi 34 kasus di tahun 2018. Sebanyak 20 kasus dilanjutkan ke kepolisian.
Hampir semua korbannya adalah perempuan berusia 19-30 tahun. Adapun para pelaku adalah laki-laki berusia 31-40 tahun.
Litbang Kompas melakukan survei untuk mencari tahu penyebab utama pelecehan seksual masih sering terjadi di angkutan umum. Survei berlangsung pada 4-5 Mei 2019 melalui sambungan telepon kepada 468 responden berusia minimal 17 tahun yang berdomisili di Jabodetabek.
Responden ditentukan secara proporsional di setiap kota dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan nirpencuplikan 4,5 persen.
Hasilnya hampir sepertiga responden mengaku pernah melihat kasus pelecehan seksual di dalam angkutan umum. Sebanyak 53 persen menyebutkan kasus pelecehan seksual terus terjadi karena adanya kesempatan. Misalnya padatnya penumpang di pagi ataupun sore hari.
Kemudian 13,5 persen responden menilai kasus ini terus terjadi karena keengganan korban untuk melaporkan pelecehan yang menimpa dirinya kepada petugas atau pihak yang berwajib.
Alasan tidak melapor bisa bermacam-macam, seperti korban takut dan malu jika kasus yang dialaminya akan diketahui banyak orang. Hal ini diungkapkan oleh empat dari lima responden dalam jajak pendapat ini.
Tidak efektif
Faktor lain penyebab berulangnya kasus pelecehan seksual adalah tidak efektifnya penegakan hukum. Banyak kasus berakhir damai sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Hal itu ditunjukkan dalam survei Litbang Kompas tentang keadilan bagi korban kekerasan seksual. Survei melalui telepon pada 22-23 Januari dengan 547 responden berusia minimal 17 tahun. Mereka dipilih secara acak bertingkat di 16 kota dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan nirpencuplikan 4,2 persen.
Sebanyak 67,8 persen responden mengaku tidak puas terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Dibutuhkan aparat penegak hukum yang berperspektif korban dan jender.
Penerapan hukum yang tegas dan adil menjadi kebutuhan bagi upaya melindungi perempuan dalam kasus kekerasan seksual. Hal ini juga ditegaskan oleh separuh lebih responden (66,7 persen) yang mengamini bahwa penerapan hukum yang lebih tegas akan mampu mengurangi kasus kekerasan seksual.
Hal itu dirasakan oleh salah satu pengguna angkutan umum, Bening (26). Pekerja lepas ini menilai aturan hukum di Indonesia belum berpihak pada korban pelecehan seksual, khususnya perempuan. ”Sama sekali gak ada melindungi. Bahkan, setelah jadi korban, masih dicari-cari celah kesalahannya,” kata Bening.
Pengguna angkutan umum tak tinggal diam melihat pelecehan seksual. Beragam cara dilakukan untuk melawan, seperti menegur langsung pelaku, memberi tahu korban untuk berpindah tempat, menarik perhatian dengan berteriak, hingga merekam kejahatan itu sebagai bukti.
Semua tindakan itu harus didasari keberanian. Menurut Bening, pengetahuan dan pemahaman tentang pelecehan seksual amat penting agar dapat bertindak melawan pelaku dengan tepat. Lantaran pelaku bisa berkilah dan memengaruhi orang sekitar.
”Jangan salah, pelecehan gak melulu perempuan, laki-laki juga jadi korban. Banyak yang diam karena bias jender yang terbentuk di masyarakat,” ujarnya.
Sementara Cut Syifa (22) memilih menghindar atau waspada ketika berada dalam situasi berdesak-desakan guna menghindari pelecehan seksual. ”Selama ini waspada dan menghindar saja kalau sudah ada (orang) yang mencurigakan,” ujar Cut, seorang mahasiswi pengguna angkutan umum.
Berkaca dari itu semua, pengembangan moda transportasi tidak serta-merta menjamin keamanan dan kenyamanan penggunanya. Harus ada peran semua pihak dalam menjamin layanan yang ramah kepada semua orang.