Sebagian Warga Menolak Intervensi Negara ke Dalam Urusan Rumah Tangga
Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga dianggap sebagian warga berlebihan. Menurut mereka, sejumlah aturan dalam RUU terlalu jauh mencampuri urusan pribadi yang menjadi kesepakatan antara suami dan istri.
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasangan suami dan istri tegas menolak wacana negara mengatur kewajiban rumah tangga sebagaimana tercantum dalam Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga. Urusan itu dianggap sebagai urusan pribadi. Mereka juga memiliki kesepakatan masing-masing dalam berumah tangga yang tidak bisa diseragamkan.
Setidaknya terdapat dua poin dari sekian banyak kontroversi dalam RUU Ketahanan Keluarga yang mengatur kewajiban suami dan istri. Pasal 25 Ayat 2a berbunyi kewajiban suami sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab menjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, serta bertanggung jawab atas legalitas kependudukan keluarga. Sementara Ayat 3a menyebutkan istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
Alhasil negara dinilai terlalu mencampuri ranah pribadi. Padahal, setiap pasangan suami-istri memiliki kesepakatan sendiri terkait tugas dan tanggung jawab dengan tidak membebani salah satu pihak.
Sri Lestari (43), misalnya, sejak menikah, suaminya lebih banyak mengurus rumah tangga, sedangkan dirinya bekerja penuh waktu. Hal itu terjadi karena ada kesepakatan di antara mereka dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.
Suaminya yang merupakan pekerja lepas memiliki waktu lebih longgar sehingga bisa mengurus sebagian besar pekerjaan rumah tangga. ”Tidak bisa (kewajiban suami-istri) diatur negara, setiap keluarga punya pertimbangan sendiri. Memangnya negara yang bantu pekerjaan rumah tangga?” ujar Sri, Kamis (20/2/2020).
Kendati demikian, Sri tidak lepas tangan dari urusan rumah tangga. Pekerjaan-pekerjaan itu dibagi ataupun dikerjakan bersama. Misalnya, sang suami lebih banyak mengurus anak-anak, mulai dari menyiapkan bekal, mengantar ke tempat les, menemani mengerjakan tugas sekolah, hingga mengantar ke dokter.
Sementara Sri akan memasak kalau masuk kerja pada siang hari. Kemudian, ia bertugas menyetrika baju, sedangkan suami mencuci dan menjemur. ”Tidak persoalkan siapa yang bekerja. Anak-anak dan orang terdekat tidak mempersoalkan. Siapa yang sempat, ya sudah kerjakan,” katanya.
Selain itu, mereka tetap mempunyai waktu sendiri-sendiri. Biasanya setiap akhir pekan, suaminya akan bepergian, sementara Sri menghabiskan waktu dengan anak-anak. Menurut dia, kondisi sekarang sudah berbeda sehingga suami dan istri dapat berbagi peran. Contoh sederhana, memenuhi biaya hidup dan membayar cicilan akan sulit kalau hanya salah satu yang bekerja.
Sama halnya dengan Maria Puspitasari (32). Dia dan suami sama-sama bekerja penuh waktu sehingga sepakat untuk berbagi tugas rumah tangga. Mulai dari mengurus anak hingga pekerjaan rumah tangga dilakukan secara bergantian. ”Kami yang atur dan tahu agar semua (kewajiban) terpenuhi,” kata Maria.
Biasanya, Maria bertugas membersihkan rumah dan memasak. Sementara sang suami antar-jemput anak ke sekolah dan membantu ketika mencuci dan menjemur baju.
Mereka tidak memungkiri bahwa pemenuhan kebutuhan sehari-hari membuat suami dan istri harus berbagi peran dan luwes dalam menjalankannya. Sebab, tanggung jawab tidak bisa hanya dipikul oleh satu orang.
Luwesnya peran suami dan istri juga disetujui oleh mereka yang belum menikah, salah satunya Bonni (27). ”Setuju berbagi tugas karena saat ini tidak bisa hanya mengandalkan satu pihak saja. Contohnya mengasuh anak dan keuangan yang lebih banyak diurus perempuan,” kata Bonni.
RUU Ketahanan Keluarga bak drama keluarga. Kehadirannya membuat warga kehabisan energi merespons persoalan bangsa. Menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, RUU tersebut digulirkan untuk menjaga polarisasi di masyarakat demi kepentingan politik, sekaligus agar topik utama kritik warga, yakni RUU Cipta Kerja, tidak dibahas.
Bahkan, pembentukannya mengabaikan prinsip dalam pembentukan undang-undang. ”Contohnya relasi suami dan istri. Bagaimana mungkin negara ikut campur hubungan suami dan istri terlalu jauh, bahkan menentukan harmonisasi keluarga atau tidak,” kata Feri.
Padahal, dalam ilmu perundang-undangan, nilai-nilai etika yang sudah diyakini masyarakat sebagai hukum tidak boleh diatur lebih jauh dalam undang-undang. Contohnya, suami dan istri yang sedang bertengkar punya mekanisme kekeluargaan untuk menyelesaikan pertengkaran.
Mekanisme ini termasuk kesepakatan bekerja dan tugas rumah tangga. ”Suami dan istri yang menentukan agar kebutuhan keluarga tercapai. Jadi RUU ini aneh dan unik,” ujarnya.
Feri meyakini RUU itu tidak bisa dilaksanakan. Dia justru sangsi pengusung RUU bertindak di luar kehendak fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat. RUU Ketahanan Keluarga semacam pentas untuk membuat masyarakat terpecah dalam merespons banyak permasalahan.