Banjir Tak Kunjung Usai di Tangerang
Banjir di Tangerang selalu menjadi cerita yang berulang tiap tahun. Topografi wilayahnya yang datar, dialiri sejumlah sungai besar, dan dikelilingi beberapa situ membuatnya menjadi daerah rawan banjir.
Penyalahgunaan tata ruang di Tangerang juga memperparah banjir di wilayah barat Jakarta tersebut. Awal 2020, bersamaan dengan banjir besar Jakarta, sebagian wilayah Kota Tangerang Selatan serta Kota dan Kabupaten Tangerang juga tergenang.
Luput dari perhatian publik, kondisinya lebih parah dibandingkan dengan Jakarta. Tercatat di laman Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ada wilayah yang ketinggian banjirnya hingga 3,5 meter dan membutuhkan waktu lebih dari satu hari untuk surut.
Penduduk terdampaknya pun lebih banyak daripada Jakarta. Catatan BNPB, hingga 29 Januari 2020, ada 27.764 penduduk Jakarta yang terdampak. Di kawasan Tangerang, ada hingga 65.001 orang di Tangerang Selatan, 53.931 orang di Kota Tangerang, serta 3.163 orang di Kabupaten Tangerang yang terdampak.
Wilayah terdampaknya pun cukup banyak. Sebagai gambaran, di Tangerang Selatan, dari 7 kecamatan, terdapat 6 kecamatan yang beberapa wilayahnya kebanjiran. Kemudian di Kota Tangerang, dari 13 kecamatan yang ada, 9 kecamatan tergenang. Banjir besar pada Januari tersebut masih terjadi lagi pada awal Februari, khususnya di Perumahan Total Persada dan Periuk Damai, Kota Tangerang. Banjir besar itu, mengutip dari laman Kompas.com, mengakibatkan kerugian hingga Rp 1,5 triliun.
Menengok ke belakang, banjir di kawasan Tangerang Raya ini terjadi sudah sejak 1930-an. Dalam buku Gagalnya Sistem Kanal disebutkan, pada 29 Desember 1931, hujan besar mengakibatkan banjir di daerah Tangerang hingga Batavia. Setahun berikutnya, banjir terjadi kembali. Akibat luapan Sungai Cisadane, kampung, sawah dan tegalan yang baru ditanami kebanjiran.
Saat itu belum banyak warga yang terdampak karena sebagian besar kawasan Tangerang merupakan daerah pertanian dan perkebunan. Karakteristik fisik kawasan Tangerang merupakan dataran rendah dengan ketinggian 10 hingga 18 meter di atas permukaan laut (dpl). Bagian utara berketinggian 10-14,8 meter dpl, kemudian di sisi selatan ketinggian datarannya mencapai 14,8-17,8 meter dpl.
Kemiringan di tiga wilayah administratif rata-rata 0-3 persen, khususnya wilayah di sisi utara. Hanya ada beberapa wilayah yang mempunyai kemiringan 3-8 persen, seperti Kecamatan Ciledug dan Larangan di Kota Tangerang serta Kecamatan Pondok Aren dan Setu di Kota Tangerang Selatan.
Topografi yang datar tersebut membuat seluruh daerah Tangerang rawan banjir. Selain bentuk lahan yang datar, menurut artikel ilmiah ”Kerentanan Banjir di DAS Cisadane” (Endang dkk, 2016), bentuk daerah aliran sungai (DAS) yang menyempit pada ujungnya menyebabkan aliran sungai melambat di hilir dan mengakibatkan banjir.
Tambang pasir
Topografi Tangerang yang datar serta tanahnya yang subur dimanfaatkan oleh pemerintah untuk membangun daerah pertanian. Jaringan irigasi dari saluran tersier, sekunder, dan primer sudah dibangun sejak zaman Belanda. Saluran irigasi tersebut kemudian diperbaiki oleh Pemerintah Indonesia melalui dana Bank Dunia.
Namun, tak semua areal pertanian yang subur itu dimanfaatkan maksimal. Masyarakat lebih suka menambang pasir. Di Desa Kedaung Wetan, misalnya, ada dua konsesi besar yang merusak tanggul pengaman banjir. Tambang pasir ini membuat tanggul Sungai Cisadane bobol pada Desember 1982. Daerah Kabupaten Tangerang yang sebelumnya tidak kebanjiran kini menjadi tergenang.
Wilayah yang paling parah adalah Kedaung Wetan, Selapajang, dan beberapa desa di Kecamatan Kampung Melayu. Namun, sebelumnya, tercatat dalam pemberitaan Kompas periode 1960-1980, telah enam kali terjadi banjir. Banjir terbesar terjadi pada Februari 1979 yang melanda 12 kecamatan, merendam 6.205 rumah, dan 4.665,2 hektar sawah serta ladang. Banjir terjadi karena luapan Kali Cimandiri, Cidurian, dan Cimuncang, yang muaranya sudah dangkal.
Alih fungsi sawah
Pada periode berikutnya, banjir di kawasan Tangerang lebih diakibatkan oleh alih fungsi lahan pertanian (sawah, kebun, tegalan/ladang) menjadi lahan permukiman dan fasilitas pendukungnya. Peningkatan lahan permukiman di kawasan Tangerang terjadi akibat pengaruh perluasan wilayah perkotaan Jakarta.
Migrasi penduduk menuju Jakarta tidak didukung dengan ketersediaan lahan permukiman yang terjangkau oleh masyarakat. Akibatnya, penduduk mencari lahan permukiman di wilayah pinggiran Jakarta, Bodetabek. Kawasan Tangerang Raya menjadi salah satu sasaran.
Lahan sawah dan kebun berubah menjadi permukiman. Langkah awal dimulai dengan kehadiran kawasan properti Bumi Serpong Damai yang pada 1984 mengklaim sebagai kota mandiri pertama di Indonesia. Kawasan BSD di Tangerang Selatan ini mengubah perkebunan karet menjadi permukiman.
Selanjutnya pada 1985, dimulailah era alih fungsi sawah menjadi permukiman. Perumahan Ciledug Indah dan Pinang Griya Permai di Kelurahan Pinang, Kota Tangerang, dibangun di atas sawah. Dua kompleks baru ini berada dekat dengan aliran Kali Angke.
Pada 2005-2008, luas areal kebun menurun hingga 95,3 persen, dari 391,21 hektar pada 2005 menjadi 18,41 hektar di tahun 2008.
Baru setahun dihuni, dua kompleks ini kebanjiran. Diberitakan oleh Kompas, 10 Juni 1985, ketinggian air berkisar dari 45 sentimeter hingga 3 meter. Setelah itu, kedua kompleks menjadi langganan banjir hingga sekarang. Pengalaman banjir di kompleks perumahan yang menguruk sawah tidak menjadi bahan pelajaran bagi pengembang perumahan. Mereka tetap membangun kompleks perumahan dengan menimbun sawah yang dianggap tidak produktif.
Tahun 1990-an mulailah berkembang kompleks Pinang Ria, Puri Kartika, Tajur, Pondok Kacang Prima, Taman Mangu, Pondok Maharta yang semuanya berada di kawasan Ciledug. Mayoritas lokasi perumahan tersebut berdiri di atas site plan yang miring atau berada di dekat sungai.
Tentu saja, banjir tak terhindarkan terjadi. Hampir setiap tahun sebagian kompleks perumahan tersebut kebanjiran. Bahkan, pada Februari 1989, warga Ciledug sempat mengadu ke DPRD setempat. Mereka menggugat janji developer saat promosi, yang menyebutkan bahwa rumah bebas banjir.
Alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman terpotret terjadi cukup masif. Berdasarkan penelitian ”Pengaruh Perubahan Tutupan Lahan DAS Cisadane Hilir terhadap Kualitas Air Sungai Cisadane Hilir Kabupaten Tangerang” (Haryati, 2010), pada 2005-2008, luas areal kebun menurun hingga 95,3 persen, dari 391,21 hektar pada 2005 menjadi 18,41 hektar di tahun 2008. Adapun sawah menurun 8,75 persen. Di sisi lain, lahan permukiman justru meningkat 23,22 persen.
Situ diuruk
Penyebab banjir di kawasan Tangerang tak hanya alih fungsi lahan sawah. Sejumlah situ yang seharusnya menjadi daerah resapan dan kawasan parkir air justru ditimbun dan dijadikan lahan permukiman. Catatan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, jumlah situ di kawasan Tangerang terus menurun selama sepuluh tahun terakhir.
Awalnya masih ada 47 situ, sedangkan pada 2018 menurun menjadi 36 Dari berita Kompas, 15 Mei 1992, Danau Ciledug di Kecamatan Pamulang ditimbun PT RJ untuk perluasan real estat. Danau seluas 24 hektar yang selama ini berfungsi sebagai resapan air bagi Ibu Kota ini ditimbun guna pembangunan kawasan Villa Bukit Pamulang.
Pada akhirnya, tidak semua areal Situ Ciledug tersebut menjadi perumahan. Hingga sekarang Situ Ciledug tersisa 19,394 hektar. Situ yang dulunya merupakan situ terluas tersebut sekarang diimpit oleh pusat perbelanjaan Pamulang Square dan Perumahan Reni Jaya. Kondisinya pun memprihatinkan. Dari foto Kompas, 5 Oktober 2019, eceng gondok menutupi sebagian besar permukaan Situ Ciledug.
Cerita lain pengurukan adalah Situ Rawa Gelam, Desa Kutajaya, Tangerang. Pada pemberitaan Kompas, 17 Juli 1993, disebutkan, hektaran rawa di Kampung Gelam tersebut diuruk untuk pembangunan Perumahan Villa Tangerang Regency. Kondisi saat ini, dari luas 18 hektar, tinggal 11,7 hektar karena mengalami pendangkalan dan sebagian menjadi perumahan.
Hingga sekarang, beberapa situ di kawasan Tangerang masih dipertahankan, tetapi kondisinya memprihatinkan karena sedimentasi, ditumbuhi eceng gondok, serta menjadi tempat penampungan limbah rumah tangga. Beberapa situ pun terkepung kompleks perumahan yang lama-kelamaan terancam keberadaannya.
Contohnya, Situ Rompong di Rempoa, Kecamatan Ciputat Timur, Tangerang Selatan, yang luasnya menurun hingga 60 persen akibat dari pendangkalan dan dikepung rumah-rumah liar. Selain itu, ada Situ Cipondoh di Kota Tangerang yang luasannya tinggal 126,17 hektar dengan ketinggian air 3 meter. Dari Kabupaten Tangerang, ada Situ Kelapa Dua yang luasnya menurun hingga 60 persen karena sedimentasi dan ditumbuhi eceng gondok.
Pemerintah daerah di Tangerang tidak berdiam diri untuk mengatasi banjir. Berbagai upaya fisik, seperti normalisasi sungai dan drainase, revitalisasi situ, penurapan kawasan rawan banjir, hingga pembuatan tandon air dan kolam resapan, telah dilakukan. Namun, langkah itu belum cukup. Upaya yang paling penting adalah mengembalikan fungsi kawasan lindung, seperti situ dan sempadan sungai.
Aturan tata ruang juga tetap harus ditegakkan supaya tetap bisa menjaga kawasan lindung yang tersisa di kawasan Tangerang. Kerja sama dengan wilayah administratif kawasan hulu juga harus dilakukan mengingat luapan banjir yang terjadi merupakan kiriman dari hulu.
Mungkin banjir di kawasan di Tangerang tidak akan pernah hilang. Namun, intensitasnya bisa dikurangi untuk mencegah banyaknya korban dan kerugian materi. (Litbang Kompas)