Pengelolaan Sampah Lebih Efektif daripada Insinerator
Larangan pemakaian plastik sekali pakai patut diapresiasi. Hal itu perlu diperkuat dengan kewajiban kepada produsen untuk tidak lagi membuat dan menjual barang dengan kemasan sekali pakai.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengelolaan sampah dari hulu ke hilir merupakan jawaban atas permasalahan penumpukan sampah di kota-kota besar. DKI Jakarta semestinya kian menggalakkan kesadaran masyarakat, baik di akar rumput, perkantoran dan unit usaha, maupun produsen barang-barang konsumsi, agar mulai menghitung kebutuhan pemakaian benda sehingga bisa mengantisipasi menghasilkan sampah dalam jumlah banyak.
”Kita jangan fokus hanya pada sampah yang sudah ada di tempat pembuangan akhir (TPA). Masalahnya ada di hulu,” kata Manajer Kampanye Urban dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Dwi Sawung dalam diskusi mengenai penolakan pembangunan Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter di Jakarta, Jumat (21/2/2020).
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membangun insinerator sampah yang juga berfungsi sebagai pembangkit listrik tenaga sampah. Salah satunya di Sunter yang diperkirakan dapat mengelola 2.200 ton sampah setiap hari. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, setiap hari rata-rata Ibu Kota menghasilkan 7.600 ton sampah. Ketika banjir, jumlah ini bisa mencapai 11.000 ton per hari.
Walhi menilai pembangunan ITF Sunter justru memunculkan masalah baru, yaitu pencemaran udara. Apalagi, hingga kini tidak ada kejelasan jenis sampah yang menurut rencana dibakar di insinerator. Menurut mereka, ada metode lain yang lebih efektif dibandingkan dengan membangun insinerator.
”Sistem pengelolaan sampah harus berubah. Jangan hanya angkut dan buang seperti yang selama ini terjadi. Galakkan sistem pilih, daur ulang, dan buang adalah kuncinya. Kalau semua sampah sudah dipilih dan dimanfaatkan, nanti tidak akan perlu lagi membakar sampah,” kata Dwi.
Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran Lingkungan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Fajri Fadhilah menuturkan, peraturan daerah DKI Jakarta mengenai larangan pemakaian plastik sekali pakai patut diapresiasi. Namun, itu perlu diperkuat dengan kewajiban kepada produsen untuk tidak lagi membuat dan menjual barang dengan kemasan sekali pakai. Pemerintah memiliki kekuatan untuk menetapkan aturan ini.
”Komitmen pemerintah pusat dan daerah mengamalkan Undang-Undang No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah yang harus dipastikan, bukan membangun fasilitas pembakaran sampah,” ujarnya.
Program Samtama
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ketika merayakan Hari Peduli Sampah Nasional meluncurkan program Sampah Tanggung Jawab Bersama (Samtama) di Cempaka Putih Timur. Wilayah ini dipilih karena masyarakatnya sejak 2008 sudah proaktif memilah dan mengolah sampah masing-masing agar tidak mencemari lingkungan serta memberikan nilai ekonomi.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih menuturkan, kampanye dilakukan dengan menempatkan pendamping pengelolaan sampah di setiap RW di Jakarta. Mereka bersama masyarakat membangun sistem mengurangi pemakaian produk, memilah residu pemakaian, dan mengolah sampah yang bisa dimanfaatkan menjadi kompos ataupun dijual kepada pihak-pihak yang membutuhkan.
”Program ini juga mengajarkan setiap rumah tangga perencanaan konsumsi. Jadi, dari belanja harian, mingguan, dan bulanan sudah dipikirkan agar tidak menghasilkan banyak residu,” katanya.
Menurut dia, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta berencana menerapkan sistem penjemputan sampah terjadwal. Misalmya, Senin petugas hanya mengambil sampah plastik, Selasa untuk logam dan beling, demikian seterusnya. Penjadwalan ini diharapkan bisa menjaga sampah yang sudah dipilah warga tidak akan tercampur lagi ketika dalam proses pengangkutan dan penampungan di depo ataupun TPA.
”Kami melatih warga agar sampah yang benar-benar berakhir dibuang harus yang sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi. Sampah yang bisa dimanfaatkan seperti botol plastik ataupun pupuk dari limbah dapur justru bisa kami bantu carikan mitra usaha mikro, kecil, dan menengah yang mau bekerja sama dengan warga,” tutur Andono.
Pelopor Samtama RW 003 Cempaka Putih Timur, Adian Sudiana, mengatakan, di wilayah tersebut setiap RW sudah memiliki bank sampah. Setiap hari mereka mengukur sampah yang dihasilkan. Botol plastik yang sudah dibersihkan, misalnya, diberi harga Rp 40.000 per kilogram.
Uangnya bisa dimasukkan ke rekening warga atau disimpan di kas bank sampah untuk dipakai membiayai kegiatan publik. ”Kami juga membuat budidaya belatung dan komposter sendiri untuk pertanian urban,” katanya.