Hari Peduli Sampah Nasional masih ”sekadar” perayaan semata. Belum tampak keseriusan dalam pengelolaan sampah.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany/Aditya Diveranta
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persoalan sampah harus dilihat secara menyeluruh. Sebab, setiap orang bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkannya. Lima belas tahun berlalu sejak insiden longsornya sampah di Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, 21 Februari. Sebanyak 157 warga tewas akibat longsoran sampah. Semenjak itu, pada tanggal yang sama ditetapkan sebagai Hari Peduli Sampah Nasional.
”Lima belas tahun berlalu sejak insiden itu, tapi belum ada perbaikan serius. (Pengelolaan sampah) belum jadi prioritas. Layaknya bom waktu, masih banyak TPA (tempat pembuangan akhir) rawan longsor,” kata Presiden Indonesia Solid Waste Association Sri Bebassari di Jakarta, Jumat (21/2/2020).
TPA yang rawan longsor itu pengelolaannya masih open dumping atau dibuang begitu saja hingga sampah menggunung dan rawan longsor. Padahal seharusnya beralih ke sanitary landfill atau dengan cara membuang sampah di area cekung, lalu dipadatkan dan ditimbun.
Pengelolaan sampah terdiri dari lima aspek, yakni hukum atau peraturan, kelembagaan, pendanaan, sosial budaya, dan teknologi. Kelima aspek ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Contohnya dalam aspek hukum. Meskipun sudah ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, dalam praktiknya belum semua pasal terlaksana.
Di Jakarta misalnya. Hasan Basri (52), warga RT 008 RW 006 Kedoya Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, mengeluhkan selalu ada warga dari luar wilayah yang kerap menumpang membuang sampah di pekarangannya. Hal tersebut kerap sulit dicegah lantaran warga itu bersepeda motor.
”Jadi, mereka kerap lewat jalan ini dengan bersepeda motor. Masing-masing, mereka membawa sekitar dua sampai tiga plastik sampah dan langsung dilempar begitu saja di pekarangan saya,” ucap Hasan.
Padahal dalam Pasal 29 UU No 18/2008 diatur sejumlah larangan, antara lain setiap orang dilarang membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan dan disediakan. Kemudian membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan. Terkait membakar sampah, banyak keluhan warga yang dapat dilihat di kanal aduan cepat respons masyarakat DKI Jakarta.
Selanjutnya aspek pendanaan. Operasional pengelolaan sampah seharusnya dihitung rupiah per ton sampah, bukan rupiah per tahun. ”Orang mikirnya ratusan juta, miliaran rupiah per tahun sudah besar. Padahal biaya pengelolaan sampah tidak murah,” ujar Sri Bebassari.
Contohnya masih ada pengelolaan sampah Rp 7.000-Rp 10.000 per ton sampah. Padahal seharusnya Rp 100.000-Rp 300.000 per ton sampah. Sri Bebassari mengibaratkan pendanaan pengelolaan sampah layaknya sebuah rumah. Ruang tamunya bagus, tetapi tempat pembuangannya berupa kakus di kebun.
Kakus membutuhkan biaya lebih mahal karena perlu teknologi, sedangkan ruang tamu tidak masalah dengan beralaskan tikar. Sementara aspek teknologi pengelolaan sampah seharusnya menyesuaikan atau cocok dengan kebutuhan. Misalnya, Jakarta yang membutuhkan tempat pengelolaan sampah berskala ribuan ton.
Selain itu, pengelolaan sampah sejak pengangkutan harus diperbaiki. Truk sampah tertutup dan tanpa ada air yang menetes. Sebab, truk sampah bukan truk pasir bak terbuka. ”Kota modern, berarti TPA juga modern, dan pengangkutan sampahnya bagus,” katanya.
Kebersihan adalah investasi, sampah bukanlah berkah. Demikianlah seharusnya prinsip pengelolaan sampah oleh warga. Lihat saja banyak orang mencari keuntungan dari sampah plastik tanpa memperhatikan lingkungan. Mulai dari warga, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), hingga pelaku usaha skala besar mulai berupaya mengatasi persoalan ini.
Beberapa upaya itu di antaranya gerakan bank sampah, koperasi, dan usaha daur ulang. Khusus untuk UMKM dapat berperan mengatasi masalah sampah dengan mengubah model usaha dari jual beli sampah atau barang bekas menjadi jasa pengelolaan sampah.
Misalnya jasa mengelola sampah menjadi kompos dan daur ulang barang bekas. Salah satu lokasi pengelolaan sampah menjadi kompos ada di Tempat Pengelolaan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) Rawasari, Jakarta Pusat.
UMKM dapat memanfaatkan peluang mengelola sampah dari kawasan tertentu, seperti apartemen dan pusat perbelanjaan. Caranya beragam, bisa dengan menjalin kerja sama atau mengajukan proposal untuk menjadi petugas kebersihan kawasan itu.
Sri Bebassari meyakini jasa pengelolaan lebih menguntungkan daripada jual beli sampah karena mendapat bayaran untuk setiap sampah dari warga. Bukan sebaliknya, membeli sampah dari warga dan menjualnya lagi.
Kendati demikian, tidak mudah mewujudkan jasa pengelolaan sampah. Sebab, membutuhkan pemahaman warga bahwa mereka harus membayar untuk setiap sampah yang dibuang dan dikelola.
Yanto (33), warga asal Purwodadi, Jawa Tengah. Dia memulung dan bekerja untuk seorang pengepul. Menurut dia, menjual sampah hasil pulungan lebih menuntungkan karena cepat mendatangkan uang. Sementara untuk jasa pengelolaan sampah harus ada keterampilan dan pelatihan khusus.
Persoalan lain, selama ini sampah dianggap sebagai bahan baku yang diperjualbelikan. Hal itu berimbas pada pencemaran lingkungan dari industri daur ulang yang tidak terdaftar ataupun impor limbah.
Kebiasaan untuk tertib mengelola sampah pun masih jauh panggang dari api. Untuk itu tidak bisa hanya saling menyalahkan. Partisipasi atau kebiasaan bisa direkayasa dengan sistem.
Contohnya, warga Indonesia yang pergi ke Singapura menjadi disiplin karena sistem di sana sudah terbentuk dan ketat. Membuang sampah sembarangan dikenai denda yang besar. Kemudian ketika berkunjung ke hotel bintang lima, otomatis tidak berani membuang sampah sembarangan. Sementara di tempat umum terjadi pelanggaran karena penegakan hukum masih lemah.
Artinya, aturan harus dijalankan sehingga timbul efek jera. Memang tidak serta merta akan mengubah. Akan tetapi, diperlukan langkah nyata. DKI Jakarta, misalnya, menerapkan peta jalan pengelolaan sampah yang mengacu pada kebijakan strategis daerah dalam pengelolaan sampah dan rumah tangga. Targetnya yaitu pengurangan sampah sampai dengan 30 persen per kelurahan.
Saat ini sampah rumah tangga mencapai 61 persen. Secara keseluruhan sampah DKI Jakarta sebanyak 7.600 ton per hari. ”Implementasinya dengan melibatkan warga untuk melakukan upaya mulai dari mengurangi dan memilah sampah,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Andono Warih.