Hasan juga rajin berkeliling wilayah tempat tinggalnya untuk mencari lokasi galian pipa dan kabel. Berbekal karung, ia mengambil tanah-tanah galian untuk dijadikan medium bercocok tanam.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
Kesadaran mengonsumsi sayuran yang sehat dan tidak menggunakan obat-obatan kimiawi sintetis menghasilkan geliat masyarakat untuk melakukan pertanian urban dengan memanfaatkan sudut-sudut kosong di rumah masing-masing. Para petani urban ini mulai menikmati hasil panen yang sehat, hemat biaya, dan pada beberapa orang juga mulai bisa dijual.
”Dulu awalnya karena membeli cabai di pasar seharga Rp 5.000. Dapatnya sebungkus plastik penuh. Waktu sudah memasak ternyata masih sisa lebih dari setengah bungkus. Daripada busuk, mending ditanam,” kata Zakiah, pengusaha dodol betawi dari Pasar Minggu, Jakarta Selatan, ketika mengikuti lokakarya berkebun urban di acara Naturale Market, Jakarta, Minggu (23/2/2020).
Tak lama setelah itu, ia juga menanam sisa jahe, lengkuas, dan kunyit di pot-pot kosong di rumahnya. Dalam tiga pekan, tanaman-tanaman itu siap dipanen. Zakiah hanya mengambil secukupnya untuk kebutuhan masak sehari-hari. Menurut dia, hal ini bisa menghemat uang belanja hingga Rp 150.000 setiap bulan karena ia tak perlu lagi membeli bumbu.
Bercocok tanam di balkon dan teras juga dilakukan Hasan, warga Jalan Tebet Barat X. Awalnya ia merasa terganggu dengan limbah pasar yang menumpuk di tempat pembuangan sampah yang hanya berjarak beberapa meter dari rumahnya.
Hasan kemudian mendapat ide bahwa sampah tersebut bisa diolah sebagai pupuk. Ia pun membawa gerobak dan mengisinya dengan sampah makanan basi dan bonggol sayur.
Limbah itu busuk, berair, dan selalu dikerumuni lalat. Hasan kemudian mendapat ide bahwa sampah tersebut bisa diolah sebagai pupuk. Ia pun membawa gerobak dan mengisinya dengan sampah makanan basi dan bonggol sayur.
”Baunya busuk sekali. Namun, begitu sampai di rumah, langsung saya aduk dengan tanah di pekarangan dan baunya hilang. Campuran itu untuk jadi pupuk tanaman bunga,” kata Hasan.
Wadah pembibitan
Lama-kelamaan Hasan menambah koleksi tanamannya dengan berbagai jenis sayur dan tanaman bumbu. Semua karena ia gerah melihat begitu banyak sampah yang menumpuk di tempat pembuangan sampah. Botol-botol plastik ia jadikan wadah pembibitan. Kaleng cat dan baskom bekas menjadi pot tanaman.
Hasan juga rajin berkeliling wilayah tempat tinggalnya untuk mencari lokasi galian pipa dan kabel. Berbekal karung, ia mengambil tanah-tanah galian untuk dijadikan medium bercocok tanam. Tanah itu dicampur dengan sampah pasar yang membusuk. Menurut Hasan, kualitas pupuk yang dihasilkan lebih baik daripada pupuk kimia maupun pupuk kandang.
”Sekali mendayung, dua pulau terlewati. Saya memecahkan masalah sampah sekaligus menanam sayur untuk dimakan keluarga. Sayur yang ditanam di teras depan dan teras atas di sebelah jemuran ternyata cukup untuk memberi makan saya, istri, dan tiga anak,” tuturnya.
Ketahanan pangan
Wakil Ketua Petani Perkotaan DKI Jakarta Adian Sudiana mengatakan, anggota aktif komunitas itu ada 273 orang. Namun, mereka yang kerap mengikuti kegiatan pertanian perkotaan tanpa mendaftar menjadi anggota jumlahnya sudah mencapai ribuan individu. Mayoritas masih melakukannya untuk menyalurkan hobi.
Sebagian besar anggota komunitas melakukannya dengan cara mengubah gang-gang rumah mereka sebagai tempat bercocok tanam. Ada yang sekadar menyusun pot, ada pula komunitas warga yang membangun sistem berkebun hidroponik.
”Dari semua anggota Pertanian Perkotaan DKI Jakarta, ada 50 orang yang sudah bisa menjadikannya bisnis kecil-kecilan. Hasil panen dijual ke tetangga sekitar rumah,” ujar Adian.
Kepala Seksi Pengolahan Hasil Pertanian Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian DKI Jakarta Eti Rohaeti mengungkapkan, pertanian urban merupakan salah satu program kerja pemerintah karena di dalamnya mencakup pemenuhan gizi keluarga serta pemberdayaan ekonomi. Kebutuhan asupan sayuran setidaknya bisa dipenuhi secara mandiri oleh rumah tangga.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyediakan bibit, medium tanaman, dan pupuk yang bisa diakses gratis oleh warga. Sekolah dan komunitas warga juga diperbolehkan mengambil bibit dalam jumlah besar dengan syarat menulis surat pengantar.