Kementerian PUPR Menyoroti Kondisi Saluran Pembuangan Air DKI Jakarta
Selain curah hujan tinggi, penyebab banjir karena penyempitan dan pendangkalan 13 sungai di Jakarta, kualitas kinerja drainase tak maksimal, perkembangan kota yang cepat, serta daerah resapan atau aliran air berubah.
Oleh
Aguido Adri/Stefanus Ato/Pradipta Pandu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Curah hujan tinggi sepanjang Januari hingga Februari 2020 membuat sejumlah wilayah DKI Jakarta banjir. Hal ini diperparah sistem pembuangan air yang tidak berfungsi dengan baik. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai tidak mengantisipasi banjir yang kerap terulang.
Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Bidang Sumber Daya Air Firdaus Ali di Jakarta, Senin (24/2/2020), mengatakan, selain faktor hujan ekstrem, sempitnya ruang terbuka hijau dan biru juga menjadi penyebab banjir di Jakarta terus terulang dan dinilai semakin parah saat ini. Pembangunan di Jakarta tidak sejalan dengan pembangunan drainase.
Menurut dia, saluran penghubung air mencapai 1.500 kilometer yang sebagian besar dibangun sekitar 40 tahun lalu. Pada saat itu ruang terbuka hijau masih sekitar 80 persen. Namun, ruang terbuka hijau saat ini hanya 9,98 persen dari ketentuan minimum 30 persen. Ruang terbuka hijau sangat minim dengan luas Jakarta mencapai 662 kilometer persegi.
”Artinya, ketika ruang terbuka hijau semakin sempit dan tidak ada penambahan serta pembesaran saluran penghubung air, Jakarta banjir. Sementara ruang terbuka biru seperti waduk dan bendungan hanya 0,42 persen dari minimum 5 persen. Jakarta juga harus menampung limpasan air dari 13 sungai. Belum lagi permasalahan penurunan permukaan tanah,” tutur Firdaus.
Menurut Firdaus, selama Januari-Februari 2020, DKI Jakarta sudah mengalami sedikitnya tujuh kali banjir dan beberapa wilayah yang sebelumnya aman pun kini terdampak. Hal ini terjadi karena sistem pembuangan air tidak efektif atau berfungsi dengan baik. Karena itu, revitalisasi drainase harus dilakukan.
Bukan peristiwa baru
Ia mempertanyakan kinerja Pemprov DKI Jakarta yang tidak mengantisipasi banjir sehingga terus saja terulang. ”Padahal, musim hujan ini sudah diprediksi. Ini bukan peristiwa baru. Sistem drainase tidak berfungsi efektif ketika hujan. Pemprov DKI Jakarta tidak fokus dalam penanganan jaringan mikro, jaringan penghubung, dan jaringan makro drainase. Banyak sedimen dan material lainnya di drainase. Seharusnya diantisipasi sebelum musim hujan dan terus dipantau dan dicek. Jangan sudah musim hujan baru dibersihkan. Begitu pula dengan kesiapan pompa air,” kata Firdaus.
Hal senada disampaikan Elkana Catur H dari Dewan Pakar Ikatan Ahli Perencanaan DKI Jakarta. Ia mengatakan, selain curah hujan tinggi, penyebab banjir karena faktor penyempitan dan pendangkalan 13 sungai di Jakarta, kualitas kinerja drainase tak maksimal, perkembangan kota yang begitu cepat, serta daerah resapan atau aliran air berubah menjadi bangunan rumah dan perkantoran.
”Jika genangan lebih dari 30 sentimeter dan durasi lebih dari dua jam belum surut genangannya, ada yang salah dari drainase. Ini seharusnya menjadi perhatian Pemprov DKI dan revitalisasi harus dilakukan,” ujar Elkana.
Penurunan tanah
Menurut ahli geoforensik dari Universitas Tarumanagara, Jakarta, Chaidir Anwar Makarim, tidak semua wilayah Jakarta mengalami penurunan tanah sehingga menyebabkan Jakarta terendam banjir. Secara geoteknik, penurunan tanah terjadi hanya di Jakarta Utara, sebagian Jakarta Barat, dan sebagian Jakarta Pusat.
Menurut Chaidar, kondisi tanah di Jakarta Utara sangat jelek. Daerah Jakarta Barat dan Jakarta Pusat juga memiliki kondisi tanah yang kurang baik. Jakarta Selatan dan Jakarta Timur memiliki kondisi tanah yang baik.
”Secara geoteknik, penurunan tanah karena tiga wilayah tersebut, khususnya Jakarta Utara, merupakan tanah lunak. Elevasinya juga lebih rendah dari laut. Tidak usah ada pembangunan pun tanah itu akan turun, karena itu lumpur atau air kental atau tanah lunak. Itu bisa menjadi tanah, tetapi airnya perlu dibuang dengan cara turun secara alami. Tanah itu wajib turun 2 meter, mau tahun sekarang atau 10 tahun atau berapa tahun lagi. Kalau dia turun, pasti akan semakin di bawah muka air laut,” tuturnya.
Penurunan tersebut, menurut Chaidar, merupakan deformasi vertikal yang umumnya disebabkan oleh pembebanan atau proses pemadatan tanah itu sendiri yang sedang berjalan secara alami akibat berbagai faktor internal (under consolidated) maupun faktor eksternal (tekanan, cuaca, dan lainnya). Tanah yang memadat akan turun.
Ia melanjutkan, ekspansi pembangunan permukiman sejak tahun 1972 hingga 2005 terlihat di Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Padahal, kawasan tersebut termasuk 40 persen dari kawasan Jakarta yang elevasinya berada di bawah tinggi muka air laut pasang. ”Itu terlihat ketika terjadi banjir besar di Jakarta tahun 2002 dan 2007 ada konsentrasi genangan yang menonjol di Jakarta Utara, Barat, dan Pusat,” ujarnya.