Praktik Aborsi Tak Berstandar Medis Tinggalkan Trauma
Suara ketika ia menjalani prosedurnya tidak bisa saya lupakan sampai sekarang. Saya cuma bisa tutup mata dan tutup telinga. Mau menangis juga takut.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·6 menit baca
Layanan pengguguran kandungan berstandar medis merupakan hal yang semestinya bisa diakses oleh setiap perempuan. Tidak hanya mereka yang memiliki kelainan janin, korban tindakan pemerkosaan, atau memiliki penyakit yang mengancam jiwa apabila kehamilannya diteruskan. Belum maksimalnya pelaksanaan program keluarga berencana, akses alat kontrasepsi, dan minimnya pendidikan kesehatan reproduksi di kalangan masyarakat masih menjadi penyebab kehamilan yang tidak diinginkan.
Bagi AR (35), mengakses layanan aborsi tak sesuai standar medis meninggalkan trauma mendalam pada dirinya. Ia mengenang kembali kejadian pada tahun 2003 ketika mengalami kehamilan yang tidak diinginkan oleh mantan pacar yang tidak mau bertanggung jawab. Takut, bingung, dan putus asa berkecamuk di benak AR.
”Saya mencari tahu mengenai tempat yang memberi layanan penghentian kehamilan yang aman. Akhirnya, dari salah seorang teman dapat alamat fasilitas kesehatan yang bagus,” tutur AR ketika dihubungi dari Jakarta, Senin (24/2/2020).
Seorang diri, ia pun pergi ke fasilitas kesehatan di Jakarta Pusat itu. Di sana ia bertemu dokter dan bidan yang menjelaskan bahwa prosedur penghentian kehamilan dengan standar medis hanya bisa dilakukan ketika usia kandungan paling tua 12 pekan. Setelah diperiksa, ternyata usia kandungan AR sudah 15 pekan dan para petugas kesehatan tidak mau mengambil risiko.
AR merasa putus asa. Ketika sedang termenung di teras fasilitas kesehatan, ia dihampiri seorang perempuan yang mengaku bisa membantu menyelesaikan masalahnya. Perempuan itu memberi AR secarik kertas berisi nomor telepon seluler. AR pun segera menelepon nomor tersebut yang dijawab oleh suara perempuan. Perempuan itu meminta AR pergi ke sebuah alamat dan datang sendirian.
Rumah kontrakan
Alamat tersebut ternyata sebuah rumah kontrakan. Di sana AR ditemui oleh perempuan yang mengaku bidan. Rupaya dialah yang menjawab telepon AR tadi. Bidan itu mengecek kondisi AR dan mengatakan masih dapat diambil tindakan dan bisa selesai dalam waktu 24 jam. Pada pertemuan itu pula AR dan bidan bernegosiasi harga dan sepakat di jumlah Rp 2,5 juta. Bagi AR yang masih mahasiswa tingkat pertama di sebuah perguruan tinggi negeri, jumlah itu tidak sedikit. Apalagi, ia merogoh tabungan sendiri tanpa dibantu siapa pun.
Bidan itu menyuruh AR menunggu di sebuah halte bus keesokan paginya dan AR pun menurut. Tak beberapa lama kemudian, sebuah mobil merapat dan menyuruh AR naik. Tidak hanya dia, ternyata ada tiga perempuan lagi yang diangkut dari halte itu. Begitu di atas mobil, pengemudi memberi para perempuan itu selembar kain untuk menutup mata.
”Pastinya saya takut. Takut banget, tapi waktu itu sudah tidak ada pilihan. Saya tutup mata dan berharap semuanya baik-baik saja,” ujar AR.
Ia mengingat berkendara selama sekitar satu jam. Setelah itu, ia mendengar suara pagar digeser dan mobil masuk ke garasi, tetapi tutup mata mereka belum boleh dibuka. Ada seseorang yang mengaku sebagai asisten dokter membantu para perempuan turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Ketika tutup mata dibuka, mereka berada di dalam kamar.
Menurut AR, kamar itu sederhana dan bersih. Ada empat dipan yang diletakkan di keempat pojok kamar, masing-masing beralaskan seprai kulit sintetis seperti yang kerap digunakan di klinik dan rumah sakit. Tidak ada sekat di antara dipan-dipan itu. Ia dan ketiga perempuan lainnya diminta oleh seorang dokter dan dua asisten berbaring di setiap dipan.
Sambil menunggu dokter dan asisten mengambil peralatan, AR sempat mengobrol dengan ketiga pasien lain. Dua dari mereka ternyata sudah menikah dan memiliki anak. Pasien pertama sudah memiliki dua anak, tetapi hubungan seksual tanpa kontrasepsi mengakibatkan ia hamil untuk ketiga kalinya. Ia dan suami sepakat untuk menghentikan kehamilan itu mumpung usianya belum mencapai dua bulan.
Keterbatasan ekonomi
Pasien kedua usia kandungannya lebih besar lagi, yakni lima bulan. Ia dan suami sudah memiliki tiga anak. Hidup dalam keterbatasan ekonomi membuat mereka tak mampu melahirkan satu anak lagi ke dunia. Oleh sebab itu, mereka mengumpulkan uang untuk menghentikan kehamilan meskipun usianya sudah tergolong besar dan risikonya tinggi. Adapun pasien ketiga ceritanya mirip dengan AR, yaitu kehamilan yang tidak diinginkan di luar pernikahan.
Setelah itu dokter dan para asisten masuk ke kamar. Setiap pasien disuntikkan infus. Pasien pertama segera mengalami pendarahan yang ditampung oleh baskom di bawah dipannya. Menurut salah satu asisten, kandungannya langsung bereaksi dengan obat peluruh yang diinfuskan. Ketika ditanya nama obat yang digunakan, AR tidak tahu.
”Saya tak sanggup buat nanya karena ketakutan melihat pasien-pasien lain diinfuskan obat. Saya bisa melihat semua prosesnya, termasuk kehamilan yang luruh. Apalagi pasien kedua yang sudah hamil lima bulan, tempat tidurnya pas di sebelah saya. Suara ketika ia menjalani prosedurnya tidak bisa saya lupakan sampai sekarang. Saya cuma bisa tutup mata dan tutup telinga. Mau menangis juga takut,” tutur AR.
AR mendapat giliran terakhir dipasangi infus. Dua jam setelah obat disuntikkan melalui infus, ia mulai mengalami pendarahan. Ia berusaha menenangkan diri agar tidak panik mengingat ia harus menginap di kamar itu hingga keesokan paginya.
”Kami berempat cuma bisa diam sepanjang malam. Kalau seandainya pendarahannya lepas kontrol, enggak tahu deh nasib kami seperti apa,” tuturnya.
Keesokan paginya, dokter dan kedua asisten datang lagi. AR dan ketiga pasien sebenarnya belum selesai pendarahannya, tetapi alat infus segera dicabut. Mereka lalu disuruh membersihkan diri di kamar mandi yang tersedia. Setelah itu setiap pasien diberi obat untuk menghentikan pendarahan.
Ditutup mata
Seusai beres-beres, keempat perempuan itu segera dipasangi tutup mata dan diboyong naik ke mobil. Mereka lalu diturunkan di halte yang sama tempat mereka dijemput kemarin. AR mengingat bahwa hari masih pagi ketika itu, udara masih sejuk. Setelah itu, mereka berempat segera berpisah dan pulang ke rumah masing-masing.
”Trauma sampai sekarang adalah ketika kami digiring ke dalam kamar dan diperlakukan tidak seperti pasien. Kami cuma dipasangi infus, setelah itu ditinggal mengalami pendarahan,” ujarnya.
Kasus kehamilan yang tidak diinginkan tidak selamanya terjadi pada pasangan yang belum menikah. Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan, prevalensi 15 persen kehamilan yang terjadi pada pasangan suami istri adalah tidak diinginkan. Kehamilan ini terjadi karena kegagalan alat kontrasepsi atau tidak maksimalnya penerapan program keluarga berencana.
Permasalahannya, penghentian kehamilan yang tidak diinginkan terbentur oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2016 yang hanya melegalkan aborsi karena tiga alasan, yaitu akibat pemerkosaan, mengancam keselamatan ibu, dan kelainan janin. Akibatnya, perempuan dengan kehamilan yang tidak diinginkan terpaksa mencari alternatif pengguguran kandungan yang kerap tak sesuai prosedur medis.
Pada tahun 2016 Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Pusat melakukan survei terhadap 4.857 perempuan yang mengakses layanan aborsi berstandar medis. Terungkap bahwa 76 persen di antaranya sudah menikah dan memiliki anak. Keputusan menghentikan kehamilan dilakukan melalui kesepakatan suami dengan istri karena tidak sanggup lagi mengasuh anak. Mayoritas menghentikan kehamilan di usia kandungan enam pekan.
”Akan tetapi, klien yang disurvei oleh PKBI umumnya datang meminta layanan berstandar medis setelah mencoba-coba sendiri menghentikan kehamilan. Bisa dengan minum obat yang dibeli secara daring, minum jamu, atau dipijat. Tidak jarang pula yang datang ke PKBI ketika sudah mengalami pendarahan,” kata Koordinator Nasional Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi PKBI Pusat Heny Widyaningrum.
Menurut dia, pendidikan kesehatan reproduksi dan pemastian pasangan menikah mengikuti program keluarga berencana dengan tuntas berdampak signifikan kepada penurunan kehamilan tidak diinginkan. Meskipun begitu, penyediaan layanan penghentian kehamilan berstandar medis juga harus diperjelas oleh negara dengan menunjuk fasilitas kesehatan sebagai pengampunya.