Banjir dan posko pengungsian menjadi hal yang kini sering dijumpai Zakaria (29). Sejak awal Januari hingga Februari ini, Zakaria dan ibu-ibu lainnya penghuni Perumahan Garden City sudah empat kali diterjang banjir.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
Bencana banjir seolah enggan jauh-jauh dengan warga Perumahan Garden City, Kota Tangerang, Banten. Belum genap dua pekan menempati rumah yang baru dibersihkan karena banjir besar, mereka kini harus kembali mengungsi.
Zakaria (29), Selasa (25/2/2020), duduk bersama ibu-ibu lainnya di posko pengungsian yang tak jauh dari Perumahan Garden City. Sembari mengasuh sang anak, Zakaria berbincang dengan rekan-rekannya sesama pengungsi.
Banjir dan posko pengungsian menjadi hal yang kini sering dijumpai Zakaria. Sejak awal Januari 2020 hingga Februari 2020 atau kurang dari 60 hari, Zakaria dan ibu-ibu lainnya sesama penghuni Perumahan Garden City sudah empat kali merasakan bencana banjir. Banjir terparah terjadi pada 1-10 Februari 2020. Saat itu air bah naik hingga 2 meter dan merendam perumahan.
“Belum sempat saya berlama-lama menempati rumah, banjir lagi-lagi datang,” kata Zakaria.
Setiap kali banjir datang, itu artinya Zakaria harus siap-siap menjalani hidup di pengungsian. Hidup berpindah-pindah dari rumah ke pengungsian selama empat kali dalam waktu dua bulan baginya sangat melelahkan. Ketika banjir mulai surut, Zakaria bersama keluarganya akan menghabiskan waktu seharian untuk membersihkan rumah dari sampah dan lumpur.
“Bagi yang belum pernah merasakan banjir, mungkin aktivitas ini kelihatan mudah, tapi sebenarnya sangat melelahkan,” katanya.
Akibat banjir pula Zakaria harus berkali-kali kehilangan barang-barang di rumahnya. Ia mencontohkan, lemari pakaian, meja televisi, kasur, dan sejumlah pakaian terpaksa ditanggalkan karena sudah tak layak lagi digunakan. Setiap banjir, Zakaria merugi hingga Rp 6 juta.
Lain lagi dengan apa yang dialami Shihan (17). Siswa kelas 12 SMA N 15 Tangerang itu tidak bisa berkonsentrasi mempersiapkan diri mengikuti ujian nasional (UN) bulan depan. Bencana banjir dalam dua bulan terakhir cukup merepotkan dia dalam membantu orangtua membersihkan rumah dan mengurus adik-adiknya. Beberapa buku pelajarannya pun basah akibat banjir.
Padahal, Shihan membutuhkan suasana yang kondusif untuk belajar. Banjir lagi-lagi terpaksa membuatnya menepi sejenak dalam mempersiapkan diri menghadapi UN.
Potong gaji
Bencana banjir membuat Dewi (42) tidak bisa bekerja seperti biasa. Karyawati di sebuah pabrik di Kota Tangerang ini sesungguhnya ingin bekerja. Namun, bencana banjir membuat dia sangat sibuk dalam mengurus anak-anak dan rumahnya. Dewi khawatir jika kondisi ini berlarut-larut. Sebab, setiap kali ia tidak masuk kerja, perusahaan akan memotong gajinya. Dewi merupakan buruh biasa yang penghasilannya ditentukan berdasarkan kehadiran di pabrik setiap harinya.
“Saya diberi surat keterangan (korban banjir) dari Pak Lurah. Itu saya serahkan agar diberi waktu untuk libur mengurus rumah dan anak-anak. Tapi pihak perusahaan tidak menerima dan menganjurkan saya mengambil cuti,” ujarnya.
Setiap hari, Dewi diupah sebesar Rp 129 ribu. Dengan demikian, absen selama tiga hari akan membuatnya kehilangan penghasilan sebesar Rp 387 ribu. Bagi Dewi, jumlah itu sangat besar untuk menopang ekonomi keluarganya. Menghadapi kondisi itu, Dewi tidak bisa berbuat banyak.
Apa yang dialami Dewi dan warga Perumahan Galaxy City merupakan sedikit kisah dari ribuan pengungsi banjir di Jakarta dan sekitarnya. Betapapun sulitnya situasi yang dihadapi, mereka akan selalu mencoba berdamai dengan keadaan.