Tanah Lunak di Jakarta, Ongkos Membangun Lebih Tinggi
Penurunan muka tanah di Jakarta tidak terhindarkan. Investasi teknologi dibutuhkan dalam pembangunan.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penurunan muka tanah, terutama di bagian utara daratan Jakarta, tidak terhindarkan mengingat lahannya masih berupa tanah lunak hasil sedimentasi material sungai. Masyarakat punya alternatif solusi memanfaatkan lahan tanah lunak, antara lain berinvestasi pada teknologi agar bangunan tidak mudah rusak akibat tanah terus turun.
Melihat karakteristik tanahnya, pakar geoteknik dari Universitas Tarumanagara, Prof Chaidir Anwar Makarim berpendapat, risiko penurunan tanah yang diikuti masuknya air laut terdapat di Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan sebagian Jakarta Pusat. Risiko serupa di wilayah Jakarta lainnya kecil, karena elevasinya tinggi.
“Penurunan muka tanah ini terjadi karena volume dan kedalaman tanah lunak yang memang ada di sana,” ucap Chaidir, Rabu (26/2/2020) di Jakarta, usai berbicara dalam diskusi kelompok terfokus seri 3 Land Subsidence: Observation and Prevention.
Bangunan di tanah lunak wajib menggunakan tiang pancang sebagai pondasi yang panjangnya harus sampai bertumpu pada tanah keras.
Acara dihelat Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Turut berbicara, dosen teknik geodesi dan geomatika Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas, peneliti Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Taufiq Wirabuana, dan Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia Hendricus Andy Simarmata.
Chaidir menuturkan, tanah lunak terbentuk dari lemparan sedimen 16 sungai yang bermuara ke Jakarta Utara. Tanah ini dalam dunia teknik kerap diistilahkan sebagai air kental dan bakal terus turun selama kandungan air di dalamnya belum selesai terperas. “Penurunan itu minimal sepuluh persen. Jika kedalaman 10 meter berarti turun satu meter,” ujarnya.
Heri Andreas mengatakan, hasil penelitiannya bersama tim menunjukkan, tanah yang mengalami penurunan lajunya bervariasi, secara umum 1-20 sentimeter per tahun. Namun, ada juga yang melebihi angka tersebut, seperti di Muara Baru Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, yang lajunya sekitar 26 cm per tahun.
Masyarakat tetap bisa mendirikan bangunan di lahan tanah lunak sebelum penurunan muka tanah berhenti. Syaratnya, berinvestasi lebih besar dibanding memanfaatkan lahan yang bukan tanah lunak, salah satunya untuk membuat pondasi.
Chaidir menyebut, bangunan di tanah lunak wajib menggunakan tiang pancang sebagai pondasi yang panjangnya harus dibuat sampai bertumpu pada tanah keras. Ia mencontohkan, ada pemilik rumah mewah berlantai dua di Pantai Mutiara, Penjaringan, Jakarta Utara, yang membangun tiang panjang hingga sepanjang 17 meter sebagai pondasi. Mangga Dua Square di Pademangan Jakarta Utara menggunakan pondasi tiang pancang sepanjang 24 meter.
Andy Simarmata mengatakan, berdasar pemodelan untuk 50 tahun ke depan dengan mempertimbangkan risiko penurunan tanah, kenaikan muka laut, dan banjir rob, terdapat daerah-daerah di daratan utara Jakarta yang diperkirakan tergenang. Salah satunya area Muara Karang di Kecamatan Penjaringan.
Namun, jika area yang diperkirakan bakal tergenang tetap ingin dijadikan tempat beraktivitas, termasuk lokasi bermukim, Andy merekomendasikan warga menjalankan adaptasi dengan konsep berdamai dengan air. Contohnya, penghuni tidak meletakkan barang-barang berharga serta peranti elektronik di lantai dasar. “Jika rumah belum berlantai dua, langit-langit diatur untuk menaruh barang,” katanya.
Selain itu, warga juga mesti siap dengan dana cadangan jika banjir membuat mereka tidak masuk kerja selama berhari-hari. Pemerintah menyiapkan tempat aman dengan suplai logistik yang terjamin.