Cara Pekerja Bergaji Medioker Menyiasati Hidup di Jakarta
Pekerja di Jakarta dengan penghasilan tak jauh dari upah minimum provinsi memiliki berbagai cara untuk mengatur keuangan. Mereka berusaha menyisihkan pendapatan di tengah gaji yang pas-pasan
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Pekerja di Jakarta dengan penghasilan tak jauh dari upah minimum provinsi memiliki berbagai cara untuk mengatur keuangan. Mereka berusaha menyisihkan pendapatan di tengah gaji yang pas-pasan. Mereka dituntut mendisiplinkan diri dalam menggunakan uang.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan upah minimum provinsi tahun 2020 sebesar Rp 4,26 juta. Robby Sutrisna (25), karyawan di salah satu mal di Jakarta Pusat, lebih kurang menerima Rp 5 juta per bulan. Pada Sabtu (29/2/2020), Robby sedang makan siang di belakang tempat kerjanya, yang berada di Jalan Kebon Kacang Raya, Jakarta Pusat.
Robby memesan satu porsi pecal lele, ditambah segelas teh panas, dan sebatang rokok keretek. ”Saya biasa beli rokoknya eceran, biar hemat,” katanya.
Tahun 2017 akhir, Robby menikah. Istrinya juga bekerja di salah satu bioskop di Jakarta. Jika ditotal, keluarga muda ini berpenghasilan sekitar Rp 10 juta.
Ada beberapa biaya rutin yang harus dikeluarkan, antara lain sewa rumah Rp 1,5 juta, cicilan sepeda motor Rp 1,9 juta, serta biaya listrik dan air sekitar Rp 500.000. Pengeluaran rutin ini hampir menghabiskan separuh total pendapatan mereka.
Untuk itu, Robby dan istri punya strategi. Setiap hari, masing-masing tidak boleh menghabiskan lebih dari Rp 50.000. Artinya, biaya sehari-hari berkisar Rp 3 juta per bulan. Langkah ini dipilih agar mereka bisa menyimpan uang Rp 1 juta-Rp 2 juta tiap bulan.
”Istriku lagi ngisi (hamil). Tabungan itu ya buat persiapan ketika anak kami lahir. Rencananya juga bakal menyewa si mba (pengasuh anak),” katanya.
Ada masanya jatah Rp 50.000 per hari itu habis menjelang pulang kerja. Sementara di saat bersamaan, perut butuh diisi. ”Solusinya, ya, mi instan. Kami selalu nyetok mi di rumah,” katanya tertawa.
Menyiasati keuangan agar tidak jebol tak hanya dilakukan pekerja yang sudah berumah tangga. Hendrik manurung (27) pun melakukan hal serupa. Hendrik bekerja sebagai tenaga penjualan (sales) kartu kredit di salah satu bank swasta di Jakarta.
Ia mendapat sekitar Rp 5 juta per bulan. Saat ini, ia tinggal bersama orangtua di Jakarta Barat. Untuk keperluan makan, rokok, dan transportasi, ia menghabiskan Rp 100.000 per hari.
Masa-masa sulit mulai datang ketika memasuki tanggal 20-an. Di saat itu, Hendrik mengurangi intensitas makan di luar. Jika kebetulan aktivitasnya berada tak jauh dari rumah, ia akan mampir dulu untuk makan siang di rumah. ”Kalau sudah masuk bulan tua, rokok juga aku beli separuh, tidak per bungkus lagi,” katanya.
Itu semua agar dia bisa menyisihkan pendapatan. Setiap bulan, ia mengirim Rp 500.000 ke rekening mamanya untuk ditabung. ”Kalau aku taruh di rekening sendiri, bisa kandas semuanya,” katanya.
Kondisi Hendrik sedikit lebih aman jika dibandingkan Ikhwani Sophia (26). Karyawan di salah satu bank swasta di Jakarta ini tinggal di kos. Setiap bulan, ia merogoh kocek Rp 850.000 untuk biaya tempat tinggal. Untuk membeli perlengkapan pribadi, seperti sabun, parfum dan kosmetik, biayanya mencapai Rp 400.000 per bulan.
Ditambah lagi biaya makan dan transportasi yang mencapai Rp 75.000 per hari. ”Belum lagi agenda nongkrong sama teman-teman. Sekali nongkrong maksimal habis Rp 100.000. Sebulan dua kali dan itu rutin,” katanya.
Belakangan, pekerja dengan pendapatan Rp 5 juta per bulan ini juga mengurangi intensitas makan di luar. Dia memasak nasi dan sambal di kos. ”Dalam seminggu kerja, aku paling hanya dua hari saja makan di luar. Selain itu, aku masak sendiri,” katanya.
Ia bisa mengirim uang kepada orangtuanya di kampung Rp 1 juta setiap gajian. Separuh dari anggaran yang dikirim itu diberikan untuk belanja orangtua. Separuhnya lagi ditabung untuk membeli emas. Bekerja sejak 2018, Sophia sudah mengumpulkan 10 gram yang dititipkan kepada orangtuanya. ”Kalau lagi kere banget, aku cuma ngirim Rp 500.000 saja, yang buat belanja ibuku,” katanya.
Perencana keuangan Tatadana Consulting, Tejasari Asad, menjelaskan, komposisi standar pengelolaan keuangan adalah 10 persen untuk menabung, 30 persen untuk cicilan produktif, dan sisanya untuk pengeluaran rutin. Khusus untuk pekerja yang masih lajang, sangat dianjurkan untuk memperbanyak persentase tabungan.
Dia menyarankan agar pekerja tidak terjebak pada cicilan-cicilan yang tidak produktif. Belakangan, banyak sekali barang-barang yang bisa diangsur dengan bunga nol persen. Jika barang tersebut belum benar-benar diperlukan, lebih baik uangnya digunakan untuk memperbanyak tabungan.
”Tabungan itu kan untuk persiapan di hari depan. Jangan sampai kerja lima tahun, sepuluh tahun, tetapi tidak punya apa-apa,” katanya.
Di tatanan global, dunia sedang mengalami ketidakpastian ekonomi. Risiko pemutusan hubungan kerja pun mulai meningkat di tengah gejolak ekonomi global. Menurut Bloomberg, sekitar 75.000 karyawan bank dirumahkan dalam setahun terakhir.
Di tengah suasana yang tak menentu itu, mengatur keuangan secermat mungkin, terutama bagi pekerja bergaji medioker, tentu tak berlebihan, kan?