Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak bisa lepas tangan dengan alasan letak PLTU ada di Jawa Barat dan Banten. Pencemaran udara juga dirasakan oleh warga Ibu Kota.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterbukaan data emisi yang dilepaskan oleh kendaraan bermotor, industri, dan pembangkit listrik di DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya adalah hak masyarakat. Selain merusak lingkungan, pencemaran udara juga mengancam kesehatan manusia. Masyarakat, terutama warga yang bermukim di area sumber emisi, sudah semestinya dilibatkan dalam menentukan kadar emisi yang ditoleransi untuk dilepaskan ke udara.
”Hak warga mengetahui jenis bahan bakar dan kandungan di dalamnya. Dari sana pemerintah harus terbuka memberi tahu kadar emisi yang dihasilkan,” kata Kepala Divisi Pengendalian Polusi International Centre for Environmental Law (ICEL) Fajri Fadhillah dalam diskusi ”DKI, Mana Informasi Emisi? Pemerintah DKI Gagal Penuhi Kewajiban kepada Publik” di Jakarta, Selasa (10/3/2020).
Ia menjelaskan, hal ini adalah pendidikan masyarakat mengenai risiko kesehatan yang mengancam mereka. Etika yang benar, ketika hendak membangun pabrik maupun pembangkit listrik, warga diajak dalam pengambilan kebijakan dan keputusan. Emisi merupakan masalah yang sangat serius karena polusi sifatnya lintas wilayah.
Sejauh ini, data mengenai polusi udara di Jakarta dikeluarkan oleh IQAir, perusahaan asal Swiss yang bergerak di bidang teknologi pengurangan pencemaran udara. Dalam daftar World Air Quality Report, Jakarta dinobatkan sebagai kota nomor lima dengan udara paling tercemar sedunia pada tahun 2019.
Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta memiliki stasiun pemantau udara di Hang Lekir, Jakarta Selatan, dan Gambir, Jakarta Pusat. Pada tahun 2019 hasil perhitungan kedua stasiun tersebut menunjukkan konsentrasi partikulat (PM) berukuran 2,5 mikrometer yang tak kasatmata rata-rata di ibu kota negara ini mencapai 30 mikrogram per meter kubik. Padahal, standar maksimum yang ideal untuk menjaga kesehatan manusia ialah 15 mikrogram per meter kubik.
”Pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum mengeluarkan informasi apa pun terkait emisi,” kata Fajri.
Meningkatnya pencemaran udara
Oleh sebab itu, sebanyak 15 organisasi masyarakat sipil, termasuk Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), bersatu dalam Koalisi Ibu Kota. Mereka meminta Pemprov DKI Jakarta membuka data emisi. Apalagi, sebentar lagi akan masuk bulan kemarau yang berarti meningkatnya angka pencemaran udara. Keterbukaan data memungkinkan adanya pengawalan data oleh publik terkait tindakan yang diambil pemerintah seperti dalam pengaturan transportasi dan industri.
Manajer Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Hindun Mulaika menjelaskan, salah satu faktor penyebab tingginya pencemaran udara di Jakarta adalah keberadaan berbagai pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dalam radius 100 kilometer dari kota. PLTU berbahan bakar batubara mengakibatkan selain PM 2,5 juga kandungan belerang dioksida (SO2) dan nitrogen oksida (NOx).
Ada enam PLTU yang sudah beroperasi di Jawa Barat serta Banten dan ada lima PLTU baru yang belum beroperasi. Lokasinya antara lain di Palabuhanratu, Labuan, Suralaya, dan Babelan. Greenpeace menghitung, apabila lima PLTU baru itu mulai bekerja, emisi yang dihasilkan setara dengan 1 juta mobil.
Penyebabnya, setiap PLTU yang berada di luar Jakarta ini menghasilkan emisi dengan kandungan SO2 dan NOx di atas 700 mikrogram per meter. Idealnya, setiap PLTU menghasilkan SO2, NOx, dan PM dengan perbandingan 100:100:10 mikrogram per meter.
”Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak bisa lepas tangan dengan alasan letak PLTU ada di Jawa Barat dan Banten. Pencemaran udara juga dirasakan oleh warga Ibu Kota. Justru, pemerintah dan masyarakat ketiga provinsi bermodalkan keterbukaan data ini bisa bersatu meminta komitmen pemerintah pusat, Perusahaan Listrik Negara (PLN), dan PLTU agar menurunkan emisi dengan cara menggunakan teknologi yang lebih efisien,” papar Hindun. Ia mengungkapkan, investasi semestinya diberikan untuk membangun teknologi penghasil listrik rendah emisi di PLTU.
Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah Adhitya Putri menambahkan, investasi pusat dan daerah ke pembangkit listrik dengan energi terbarukan (EBT) juga harus dipertimbangkan. Selama ini, EBT seperti tenaga matahari, panas bumi, ombak, dan angin belum mencukupi kebutuhan listrik nasional sebesar 56.000 megawatt untuk sepuluh tahun ke depan. EBT baru bisa menghasilkan 19.700 megawatt.
Menurut Adhitya, hal ini karena EBT tidak pernah diberi ruang untuk berkembang dan menyuplai listrik ke wilayah-wilayah industri. Contohnya, pembangkit listrik tenaga angin yang ada di Sidrap, Sulawesi Selatan, menyalurkan listrik ke rumah-rumah penduduk yang konsumsi listriknya rendah. Rata-rata penduduk Indonesia hanya memakai 900 kilowatt.
”Jika listrik dari EBT dipakai untuk daerah industri seperti Pulogadung, Cikarang, dan Karawang, permintaannya akan meningkat. PLTU bisa tandem dengan EBT guna menurunkan emisi,” ujarnya.