Warga Dukung Kebijakan Jalan Berbayar di Jakarta asal...
Kebijakan jalan berbayar (ERP) yang digadang-gadang sebagai solusi kemacetan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta turut didukung sebagian warga kota. Kebijakan ini dinilai baik selama mengarah pada kepentingan publik.
Oleh
Aditya Diveranta
·5 menit baca
Ruas Jalan Jenderal Sudirman mulai padat dengan kendaraan roda empat saat menjelang jam istirahat kantor, Senin (9/3/2020) siang. Saat-saat seperti itu justru dihindari warga karena turut menghambat rutinitas bepergian. Sebagian warga menghindari hal tersebut dengan memanfaatkan moda bus dek rendah transjakarta.
Lucky (58), salah satu pengguna bus di kawasan Karet Sudirman, mengeluhkan laju bus yang turut tertahan kemacetan saat istirahat siang perkantoran. Padahal, pengguna setia transportasi umum ini punya janji dengan seorang teman di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, sebelum pukul 13.00.
”Bus low deck metrotrans itu, kan, pakai ruas jalan yang sama dengan kendaraan lainnya. Kalau semua orang yang keluar dari kantor naik mobil, transportasi publik jadinya enggak kebagian ruang,” kata pensiunan yang tinggal di Cibubur, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur, ini.
Bukan sekali Lucky kecewa dengan kemacetan di ruas jalan itu. Dulu, saat masih berkantor di kawasan Sudirman, ia kerap melalui rutinitas berangkat subuh agar menghindari kemacetan. Menjelang sore, dirinya harus memilih antara pulang cepat saat sore hari atau pulang larut setelah pukul 20.00. Kedua waktu tersebut dipilih karena kemacetan relatif lengang saat sore atau malam ke arah Cibubur.
Kekesalan terhadap kemacetan di Jakarta bukan milik Lucky seorang. Apabila melihat sejumlah ruas jalan di Jakarta saat pagi serta menjelang malam, hampir sebagian besar rute menuju pusat kota dan kawasan perkantoran dipadati kendaraan pribadi.
Sri Multya (30), warga Grogol Petamburan, Jakarta Barat, juga mengeluhkan kemacetan di sekitar Halte Transjakarta Grogol 2 setiap pagi. Kemacetan kerap berdampak pada bus yang terhalang saat masuk ke jalur busway. Akibatnya, bus mengantre dan menyebabkan keterlambatan.
Sri yang berprofesi pegawai restoran ini berharap kepadatan kendaraan di sejumlah ruas jalan semestinya bisa dibatasi melalui kebijakan tertentu. ”Kalau yang saya lihat, dominasi mobil di sejumlah ruas jalan semestinya dibatasi. Kalau tidak, kasihan dengan orang-orang yang sudah rela naik transportasi umum, tetapi tetap terjebak macet,” katanya.
Untuk mengatasi kemacetan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak dua tahun terakhir telah menggiatkan regulasi pembatasan kendaraan dengan pelat nomor ganjil-genap, tetapi hasilnya belum cukup signifikan menekan kemacetan. Selain sistem ganjil-genap, Pemprov DKI juga berencana menerapkan kebijakan jalan berbayar (ERP) yang digagas sejak 2004.
Kebijakan ini mengatur sistem pembatasan dengan mengenakan sejumlah tarif pada kendaraan secara otomatis. Pembayaran tarif bisa melalui kartu yang telah diisi saldo uang atau jika saldo habis, akan menerima tagihan yang dikirim ke alamat pemilik kendaraan. Setiap kendaraan bermotor pun wajib memasang alat pemantau.
Mendengar kebijakan ERP, Lucky setuju agar rencana ini segera terealisasi. Sebab, ia menilai orang-orang yang memiliki mobil pasti memiliki kecukupan finansial. Dari situ, semestinya orang-orang ini turut menyumbangkan uang mereka saat melalui sejumlah jalan di kota.
”Sebenarnya ERP bisa jadi kebijakan yang bagus selama arah retribusi itu ditujukan untuk perbaikan layanan kepada publik. Saya berharap transportasi massal bisa lebih masif lagi, bahkan sampai ke rumah saya di Cibubur,” ucap Lucky yang asli Manado, Sulawesi Utara, ini.
Hal serupa juga diungkapkan Sri. Dia berpendapat, ERP semestinya bisa memaksa sebagian orang tidak pakai kendaraan pribadi. ”Saya harap sih, jadinya orang berpikir dua kali kalau mau pakai mobil. Jadi, mereka sadar kalau naik mobil pun butuh pengeluaran lebih untuk ERP, parkir, dan sebagainya,” kata Sri.
Begitupun dengan Adipura Atmadja (26). Mahasiswa di wilayah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, ini menyampaikan, penerapan kebijakan ERP juga harus diiringi dengan kesempurnaan integrasi moda. Terutama moda kereta, menurut dia, punya keunggulan dalam menyiasati kemacetan di sejumlah ruas jalan.
Rencana ERP terus mengalami tarik ulur dari sisi pengkajian. Setelah beberapa tahun sejak 2004, ERP baru secara resmi dibahas dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI tahun 2030. Kendati demikian, regulasi terus bermasalah hingga akhirnya terbit Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi tahun 2018-2029.
Dalam peraturan presiden, disebutkan bahwa kebijakan jalan berbayar akan dilaksanakan mulai 2019 sebagai kelanjutan dari pembatasan ganjil-genap. Namun, setelah diamanatkan dalam peraturan presiden pun, penerapan jalan berbayar masih tersandung masalah.
Pada Agustus 2018, Kejaksaan Agung meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melelang ulang proyek jalan berbayar yang sudah berjalan pada 2019. Hal tersebut lantaran proses lelang dianggap tidak berjalan sesuai dengan disiplin yang ada. Kejaksaan Agung berpendapat hal tersebut riskan menyebabkan hasil lelang dituntut peserta lelang.
Ditemui saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor, Minggu (8/3/2020), Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo menyatakan optimistis akan mulai menguji coba tahap pertama ERP pada Juni 2020. Implementasi awal akan dimulai di ruas Jalan Sisingamangaraja, Jalan Jenderal Sudirman, dan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.
Syafrin pun menyampaikan, proses lelang ulang proyek ERP yang berlangsung Maret ini tidak akan menghalangi pelaksanaan uji coba. ”Target kami sebelumnya pada Juni memang sudah ada pemenang lelang. Setelah itu implementasi, dan kami harap juga akhir tahun bisa mulai berjalan,” ungkapnya.
Menurut rencana sebelumnya, ERP akan diterapkan di 3 ring. Ketiga kawasan itu meliputi Ring 1 Sudirman-Thamrin, Ring 2 di luar Sudirman-Thamrin, yakni Jalan Rasuna Said dan Jalan Gatot Subroto, dan Ring 3 di jalan nasional atau jalan provinsi di luar DKI Jakarta, misalnya di Jalan Margonda Raya Depok, Jalan Raya Bekasi, dan Jalan Kalideres ke arah Tangerang.
Kepala Humas Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Budi Rahardjo menambahkan, penerapan kebijakan ERP mendesak dilakukan karena pergerakan manusia di wilayah Jabodetabek terus meningkat. Pada 2015, pergerakan manusia di sana tercatat masih sekitar 47,5 juta per hari hari. Pergerakan itu kemudian meningkat drastis pada 2018 menjadi 88 juta per hari. Dari jumlah total, hanya sekitar 8 persen yang menggunakan angkutan umum.
”Hasil retribusi dari penerapan ERP masuk dalam pendapatan negara bukan pajak. Pendapatan itu dipakai untuk meningkatkan fasilitas angkutan massal, termasuk subsidi agar tarif angkutan umum makin murah. ERP ini berpihak kepada kepentingan warga dan dengan prinsip berkeadilan,” ujar Budi, akhir 2019.
Di tengah tarik ulurnya kebijakan, warga terus menunggu penerapan ERP. Prinsip berkeadilan menjadi hal yang paling tunggu, terutama perbaikan terhadap moda transportasi publik.